Aku duduk di ruang tunggu menjelang boarding di Bandara Soekarno-Hatta ketika waktu hampir melewati tengah malam. Tiba-tiba saja aku menyesali kenapa terlalu cepat tiba di situ. Seharusnya aku buang waktu dulu di koridor sambil melongok apa saja yang bisa kulihat. Ketika kuingat tak satu pun toko-toko di situ yang masih buka ketika aku lewat tadi, aku merasa benar sudah duduk di situ. Ya, tengah malam, banyak orang yang sudah terlelap. Akhirnya kutelan juga kegelisahan sambil melahap berita malam di pesawat TV, siapa tahu ada berita yang menjelaskan apa yang terjadi.
Aku sebenarnya tak menangkap benar apa yang diberitakan meski mataku terpaku ke layar kaca. Yang kulihat adalah acara TVone, wajah tua dan suara serak serak basah Pak Karni. Kadang aku tersenyum mendengar perdebatan omong kosong itu. Pak Karni memang sengaja merancang acara untuk ajang debat omong kosong, dan tentu menarik bagi orang yang otaknya sebesar kacang mede. Tetapi setidaknya dari acara TVone itu, aku bisa tahu betapa menyedihkan pemikiran kaum intoleran karena pengaruh fundamentalis agama. Mengapa aku bilang menyedihkan. Karena di zaman di mana orang berbaur tanpa disekat SARA, eh ini ada orang terbelenggu kebebasannya berpikir karena dokrin politisasi agama. Tidak ada kemerdekaan yang asasi kecuali kebebasan berpikir. Mereka yang terbelenggu pemikirannya itu, mereka belum merdeka dalam arti sesungguhnya.
Tiba-tiba seorang ibu melintas di hadapanku. Ia membungkuk sedikit untuk meminta izin lewat di hadapanku karena kakiku yang selonjor menghalangi jalan. Ia duduk terhalang satu kursi di samping kiri tempat dudukku. Aku meliriknya: seorang wanita etnis Tionghoa. Walau usianya bukan muda lagi, tetapi, kencantikannya memang oke punya. Tubuhnya langsing, indah. Tak kuteruskan mereka-reka bagaimana masa remajanya.
Sesudah itu segerombolan orang tiba. Mereka begitu membeludak bak air bah, seolah-olah mereka tadi tertahan di pintu gerbang, lalu barusan seorang petugas memberi jalan. Berbagai bahasa terdengar tak kupahami. Hanya aku dan beberapa orang saja yang orang Indonesia. Kebanyakan orang china yang mau pulang kampung. Mereka menyebar dan mencari tempat duduk. Memang tujuanku adalah Beijing.
Seorang balita mendadak berlari ke depan dan melintas di hadapanku. Lalu mengamati apa saja yang dia suka. Ibunya membiarkannya. Ia tak terlalu sipit. China. Laki-laki. Si wanita di sampingku meliriknya. Ia tampak gemas kepada anak itu. Aku menangkap senyum wanita itu. Ia mencari sesuatu di tasnya, mengeluarkan handphone-nya, lalu memencet serangkaian nomor.
“Anita, Ibu membangunkanmu, ya?” Bahasa Indonesianya membuat aku meliriknya. “Ibu meneleponmu karena ingat Ivan. Dia sudah tidur?” Terdiam sebentar. Aku yakin ia sedang mendengar sahutan dari seberang.
“Di sini ada anak sebesar Ivan, besarnya sama dan mirip banget wajahnya. Dia di hadapan Ibu sekarang. Makanya Ibu jadi ingat Ivan,” katanya lagi.
Ia mendengar sahutan lagi dari seberang.
“Ibu lagi di ruang tunggu, sebentar lagi boarding. Sudah, ya!”
Ia mengemasi telepon selulernya. Aku melihat dengan sudut mata ia memasukkan handphone-nya ke dalam tas tangan. Wanita ini tak membawa tas besar. Aku yakin bawaannya sudah masuk bagasi pesawat.
Aku pindah duduk ke samping kiri hingga tepat berada di sebelah kanannya.
“Saya pikir ibu orang China. Maaf tadi saya menguping.”
Aku tak menyangka kalau dia tak terkejut.
“Saya bicara dengan anak saya. Melihat anak itu jadi ingat cucu,” ujarnya dengan tata bahasa yang bagus sambil menunjuk anak kecil dengan lirikan matanya. Senyumnya mengalir tulus.
“Usia berapa?”
“Sebesar itu, dua tahun.”
“Sedang lucu-lucunya.”
“Ya.”
“Tinggal di mana ?”
“Jakarta. Bilangan PIK”
“Kapan terakhir ke Beijing?”
“Sudah lama sekali. Saya sudah sulit membayangkannya. Terakhir waktu bulan madu kedua pernikahan kami."
“ Ada apa ke Beijing ?
“ Lihat anak saya yang bungsu kuliah di sana. Tadi papanya yang sering liat, tetapi sejak tahun lalu, papanya meninggal. Saya harus menjenguknya kalau kangen. Anda ?” Katanya.
“Hanya bisnis trip. ”
“Hanya ke Beiing?”
“Tidak. Dari Beijing langsung ke Hong Kong. “
“ Oh. Saya lagi bingung.”
“ Kenapa ?
“ Saya tidak mungkin tinggal di apartemen anak saya yang berukuran kecil dan bersama dengan temannya. Sementara saya belum ada hotel. Saya sudah mencoba registrasi melalui internet. Tak satu pun berhasil. Semua penuh. Rupanya acara Olipiade Beijing mendatangkan berkah bagi bisnis wisata. Tetapi kerinduan kepada anak membuat saya nekat juga. Moga anak saya bisa dapatkan kamar hotel untuk saya.”
“Anda bisa tinggal di Paninsula Hotel Beijing.” kataku menawarkan.
“Terlalu mahal dan apa mungkin masih ada kamar ?
“ Pakai kamar saya. Saya punya time share di hotel itu. Jadi ibu bisa tinggal disana sesuka ibu“
“ Tapi anda?
“ Saya tidak nginap. Saya pakai kamar hotel hanya untuk madi. Setelah itu rapat, dan malamnya terus ke Hong Kong. “
“ Anda pengusaha?
“ Ya. “
“ Tentu tidak mudah menjadi istri pengusaha. “
Pembicaraan kami terpotong oleh suara petugas yang mengumumkan penumpang agar segera masuk pesawat.
“Mengapa ibu bertanya seperti itu?” Aku memberanikan diri bertanya balik.
Ia tersenyum. “Itu pengalaman yang tak mungkin saya lupakan ketika suami saya belum meninggal. Waktu kebersamaan yang kurang dan kadang paranoia tidak pernah bisa hilang. Berat sekali melawan sepi dan paranoia. Kalau ingat saya marah marah kedia. Padahal dia baru sampai dari business trip yang melelahkan. Tetapi suami saya sangat sabar dengan sikap saya. Setelah dia meninggal, rasa bersalah tidak pernah hilang. Kini, doa saya kepada almarhum suami tidak pernah putus. ” katanya, lalu bangkit.
Para penumpang masuk ke koridor yang menghubungkan ruang tunggu dengan pintu pesawat. Dimulai dari keluarga si balita. Aku tak sempat mengikuti ibu tadi. Tak tahu juga namanya. Sayang, harapanku untuk bisa duduk berdampingan di pesawat juga tak kesampaian. Aku di cabin business class dan dia economy class.
Sampai di Beijing Capital International Airport, kami turun. Keluar dari gate imigrasi, aku berusaha mencari ibu itu tadi. Tak berapa lama nampak dia melambaikan tangan.
“ Ibu di jemput ?
“ Ya. Anak yang jemput”
“ Kalau begitu, nanti ajak anaknya ke hotel paninsula. Ini kartu nama saya. Tinggal berikan kartu nama saya, petugas reservasi akan memberikan kunci kamar ke ibu”
***
Sampai di hotel jam 11 pagi. Aku mandi dan ganti pakaian. Turun ke lobi sudah ada staf kantor menantiku. Kami pergi ke tempat meeting. Meeting berlangsung sampai sore hari. Usai meeting aku diantar ke Bandara lagi untuk ke Hong Kong. Aku baru menyadari ternyata aku belum makan siang. Ada niat mau makan di Bandara tetapi waktu boarding sudah mepet sekali. Aku putuskan langsung boarding. Waktu itu aku merasa asam lambungku mulai bergolak. Kepalaku agak pusing. Tetapi aku berusaha menenangkan diri dengan membaca. Di dalam pesawat, pramugari memberi aku minuman welcome drik. Wine. Saat itulah kepalaku semakin pusing.
Ketika pesawat take off, aku merasa dunia berputar dan pandanganku mulai kabur. Setelah itu aku tidak sadarkan diri. Ketika aku sadar di sampingku ada wanita . Dia tersenyum. “ Syukurlah anda sudah siuman.” katanya seraya memanggil pramugari.
“ Tadi anda sempat tidak sadarkan diri. Tetapi untunglah di samping anda ada wanita itu. Dia dokter. Dia menuntun kami memberikan pertolongan kepada anda. Menurutnya anda akan baik baik saja. “Kata pramugari.
“ Terimakasih” kataku melirik wanita itu.
“ Anda terlalu lelah dan perut anda kosong. Dengan memberikan air panas dan sedikit garam, itu bisa membuat perut anda nyaman, dan aliran darah kembali normal seperti biasa. “ Katanya.
Wanita di samping aku duduk ini, usianya sama dengan wanita yang tadi aku temui di Bandara Soeta. Tapi dia orang Korea. Kebaikan spontan yang kita beri ternyata selalu berbalas kebaikan spontan juga. Memberi dengan ikhlas selalu berbalas, tak penting etnis atau agamanya. Bukankah kemanusiaan menjebol batas etnis dan agama. Semua karena Tuhan dan kembali kepada Tuhan, tentunya