Perempuan yang sering dilihat Udin ketika usai sholat subuh di Masjid, tidak ada yang menarik. Bibirnya mencong. Cacat. Tapi dari pandangan mata perempuan itu, Udin tahu bahwa perempuan itu menyukainya. “ Pilih wanita karena kecantikannya, hartanya dan agamanya.” Demikian keyakinan Udin bila hendak memilih wanita yang akan dijadikan istri. Namun siapa wanita yang cantik, kaya yang seiman menyukai Udin, bila jangankan menghindupi orang lain, menghidupi diri sendiri saja susah.
Namun Udin tidak peduli. Tuhan mengkayakannya ketika dia semakin banyak berzikir dan semakin dekat ke masjid. Waktu berlalu dan tak terasa usia menua, hanya perempuan berbibir mencong itu yang menyukainya. Perempuan itu memang tidak kaya namun dari perkejaan sehari harinya sebagai tukang jahit sudah bisa membeli sepasang kambing untuk diternak. Perempuan itu menawarkan kerjasama kepada Udin untuk mengelola sepasang kambing itu untuk dikembangkan, menghasilkan uang dimasa depan.
Udin menganggap tawaran itu bukan hal yang buruk. Apalagi kemitraan itu tidak akan membuat dia jatuh cinta kepada wanita itu. Karena libido nya tak pernah bangkit apabila melihat wajah buruk rupa wanita itu. Namun berlalunya waktu, dia mulai menaruh hati. Kebaikan demi kebaikan hati wanita itu menghilangkan keburukan wajahnya. Akhirnya mereka menikah. Usaha ternak berkembang. Sementara usaha jahit pakaian wanita itu telah berkembang menjadi usaha konveksi. Hidup mereka berubah. Mereka mulai menumpuk hartanya dengan membeli tanah. Belakangan tanah itu mengandung tambang. Seorang teman dari kota datang membawa rencana bisnis, mengajaknya bermitra. Udin senang. Karena dia tidak menjual tanahnya tapi hanya disewa yang dibayar sesuai yang nilai tambang yang berhasil dijual.
Semakin lama, Udin semakin kaya. Istrinya minta dioperasi bibirnya. Setelah itu, wajah istrinya nampak cantik. Namun tidak terlalu sempurna. Udin membahwa istrinya ke luar negeri untuk di operasi plastik. Hasilnya membuat istrinya semakin cantik. Wajah cantik , juga membuat pikirannya cantik dan dia berubah tentunya karena itu. Istrinya tahu memanjakan diri, menikmati uang. Udin pun tahu melaksanakan sunnah rasul untuk menikah lagi. Poligami yang hanya patut bagi yang berlebih harta, pikirnya. Poligami jadi polemik dan membuat istri yang tadinya nrimo berontak. Tahu arti keadilan yang harus dilawan di hadapan pendusta yang yakin imannya mampu berlaku adil. Perceraian tak bisa dihindari. Saat itu Udin sadar bahwa dia tidak terlalu kuat di hadapan orang lemah yang cerdas. Udin tak bisa menuntut banyak karena memang semua harta atas nama istrinya. Harta gono gini hanya cukup membuat Udin melanjutkan hidupnya
Seorang ustad menasehatinya untuk bersabar. Caranya. Gunakan uang gono gini itu untuk sedekah agar berlipat ganda. Janji Tuhan pasti bahwa orang bersedekah akan mendapatkan balasan berlipat ganda. Udin percaya. Semua uang habis dan janji Tuhan tidak kunjung datang. Istri keduanya minta cerai karena tidak tahan hidup menumpang di rumah orang tuanya. Temannya yang bermitra dengan tanahnya , tidak ingin menegurnya, apalagi membantunya. Karena mitranya itu telah menjadi suami dari mantan istrinya “ Kemitraan lahir batin. Istrinya punya lahan dan mitranya punya modal”
Di tengah kesedihan dan kemiskinan itu, Guru spiritual menasehatinya agar bersabar. Hidup sekarang dicengkram oleh kerakusan kapitalisme. Kehidupan kapitalisme, yang hanya mementingkan modal dan laba. Membuat manusia hanya diukur dari berapa yang didapat dan di bagi, Tidak ada belas kasih yang mengharapkan balasan dari langit. Dia semakin dipahamkan bahwa hidup ini tak akan pernah ada keadilan bila tidak kembali kepada kemurnian ajaran agama. Tidak akan pernah hilang kemaksiatan, bila tidak ada fundamentalisme.
Udin membenci semua orang kaya yang kafir. Dia membenci sistem pemerintahan yang tidak kaffah sesuai agama yang diyakininya. Menyalahkan kemaksiatan ada karena pemerintah brengsek. Kalau tadi hanya membenci orang tidak seiman, tapi sekarang juga marah kepada orang yang seiman yang mendukung orang kafir, mendukung sistem kafir.
Dalam kelelahan , Udin bertemu kembali dengan mantan istrinya “ Saya sarankan kamu untuk bertobat. Kamu telah jauh menyimpang dari ajaran agama. Hidup di dunia ini hanya sementara dan yang kekal itu kampung akhirat.”
“ Kamu minta orang bertobat dengan pemahaman agamamu yang terbatas. Sebetulnya kamu membenci kehidupan hanya karena kamu gagal bersaing dan tak mampu memenuhi keinginan kamu. Dan lebih buruknya lagi kamu tidak menyadari kelemahanmu, kelemahan manusia yang memang tidak ada yang sempurna. Kamu berlindung dari keimananmu dengan menyalahkan semua. Siapapun hidup bersamamu, sadar dia harus menyingkir. Karena akal sehat tak bisa akrap dengan orang yang selalu berpikir utopis tapi tak bisa merubah apapun, bahkan tak mampu merubah diri sendiri agar bisa berguna bagi orang lain." Uci tak menyebut Udin munafik , hanya dia meyakinkan dirinya masih waras atau punya akal sehat.
Udin hidup dalam paranoia karena kemiskinannnya. Tetapi dia lupa guru spiritual yang memprovokasinya untuk membenci kapitalisme, hidupnya bergelimang harta karena business communication menjual magic word atas nama dali agama yang murni. Semua orang penjual dan semua orang adalah pedagang. Yang unggul adalah yang smart. Seperti mantan istrinya. Hidup itu harus berakal agar mati beriman. Dan udin jadi laler ijo. Kemana saja mengeluh dan mengumpat. Udin lupa, benar Tuhan menjamin semua rezeki tetapi Tuhan tidak mengirim makanan ke sarang burung. Udin percaya kepada Tuhan tetapi tidak percaya kepada hukum ketetapan Tuhan.