Anda bisa bayangkan. Kita itu salah satu produsen LNG terbesar dunia. Tetapi PLN terpaksa impor LNG. Pertamina juga impor LNG. Apa pasal. Mari saya uraikan secara sederhana.
Pertama. Sifat Gas itu mudah terbakar. Kalau tidak diubah jadi cair, Gas itu terus terbakar dan terbuang ke udara. Karenanya perlu terminal untuk mengubahnya menjadi cair ( liquid) sehingga mudah diangkut dan perlu kapal khusus untuk angkutnya. Makanya setiap Block Gas yang beroperasi pasti sudah ada offatake buyer nya. Hampir sebagian besar offtaker buyer itu adalah asing seperti Jepang, China, Korea dan tentu Singapore. Mereka di drive oleh trader yang datangkan uang untuk bangun terminal dan kapal angkut. Kita kalau perlu gas, ya impor dari mereka.
Kedua. Saat block Gas ditemukan. Kita perlu operator. Operator perlu uang dari investor. Maklum investasi di explorasi gas itu beresiko. Bank tidak berani biayai saat explorasi. Kecuali sudah produksi. Makanya bisnis gas itu digerakan oleh TNP ( Trader non pipa) yang punya akses ke pemain hedge fund. Mereka ini sudah seperti diktator menentukan kebijakan perusahaan dan negara.
Ketiga. Mengapa pemerintah tidak berdaya? karena memang lack knowledge. Bisnis gas itu memang sophisticated. Engga mudah bagi orang awam. Misal anda tahu kan kasus LPA antara Pertamina dengan Cheniere Energy Inc. Direksi Pertamina engga paham formula harga HH x 1.15. HH adalah publikasi harga gas Henry Hub yang merupakan basis harga gas yang digunakan di Amerika. Dikira murah ternyata kemahalan. Karena harga itu belum termasuk biaya liquefaction sebesar USD. 3,50/mmbtu. Padahal tanda tangan MSPA di hadapan Jokowi di AS.
Contoh lagi, kerjasama dengan Gunvor Ltd Singapore yang PGN gagal delivery LNG ke Singapore. PPGN dan Pertamina engga punya kompetensi sebagai trader LNG kelas dunia. Deal dengan Gunvor Ltd yang world class, ya dipecundangi. Mereka tanda tangani MSPA dengan Gunvor sementara sumber daya LNG gak ada. Belakangan diketahui ternyata sumber daya LNG itu berasal dari Woodside Ltd Australi. Itupun sumber daya punya Pertamina, bukan PGN. Kalau pakai kontrak pengadaan LNG dengan Woodside Ltd. Kemahalan. Tekor jual ke Gunvor. Ya kenapa Pertamina dan PNG engga koordinasi lebih dulu sebelum tanda tangani deal dengan Gunvor? Pertamina juga kena trap atas kontrak dengan Woodside. Ya salah menganalisa future trading. Saat harga LNG naik terus, ya jebol dah.
Keempat. Kebutuhan Gas dalam negeri itu sangat besar. Pemerintah dipaksa harus penuhi pasar domestik. Sementara sumber daya Gas dalam negeri kena trap ekspor oleh offtaker buyer. Mau impor kena trap trader. Kanan kiri kita tekor habesss.. Itu karena lack knowledge sehingga mudah dipecundangi oleh mafia gas yang bersenggama dengan elite politik
***
Walau belum ada larangan resmi namun sudah ada himbaun dari pemerintah kepada produsen gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) untuk tidak memperpanjang kontrak ekspor dengan perusahaan negara lain seperti ke China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura hingga Meksiko. Indonesia mengekspor dengan total volume 459,55 juta MMBTU pada tahun 2021. Ini tentu beralasan. Karena data neraca gas nasional Kementerian ESDM menunjukkan pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri akan mulai mengalami defisit sehingga bergantung pada impor pada 2026.
Faktanya sampai sekarang masih impor Gas. Menurut data BPS, sepanjang 2022 Indonesia impor gas bumi sekitar 6,8 juta ton. Volume itu meningkat sekitar 5,5% dibanding 2021, sekaligus menjadi impor gas terbesar dalam lima tahun terakhir. Pada 2022 Indonesia paling banyak mengimpor gas dari Amerika Serikat, dengan volume sekitar 2,8 juta ton. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemasok terbesar nomor dua, dengan volume sekitar 1,9 juta ton. Di urutan selanjutnya ada Qatar, Arab Saudi, Bahrain, Australia, Angola, Kuwait, dan Singapura.
Larangan ekspor Gas ini tidak semudah larangan Ekspor Mineral. Karena Gas alam adalah campuran metana dengan gas hidrokarbon lainnya. Itu mudah terbakar dan seperti namanya itu terjadi secara alami di situs bawah tanah, sering kali berdekatan dengan minyak bumi. Perlu terminal untuk mengubah gas alam menjadi cairan. Hal ini dilakukan untuk menghemat ruang, karena 610 kaki kubik gas alam dapat diubah menjadi 1 kaki kubik LNG. Mengkonversi gas alam menjadi LNG memudahkan logistik. Gas alam cair ini harus ditempatkan di storage kalau pipa tidak tersedia.
Membangun infrastruktur Gas itu sangat padat modal dan beresiko. Makanya, karena alasan tersebut, setiap lapangan gas itu sudah terikat dengan off take market. Artinya sudah tterikat kontrak jangka panjang dengan pihak buyer. Sehingga produksi LNG bisa dikapalkan langsung dan mengurangi kebutuhan akan storage. Saat sekarang investasi lapangan gas hanya dengan skema backed long term purchase agreement dan counter trader. Tanpa skema itu tidak ada lembaga keuangan mau keluar uang.
Jadi kalau pemerintah akan melarang ekspor Gas, maka yang harus dipikirkan adalah infrastruktur terminal gas dan storage, pipa gas ke Industri dan rumah tangga. Karena kita negara kepulauan maka kita juga harus bangun Floating Storage and Regasification Unit/FSRU). Untuk jangka panjang, FSRU mahal, karena menyewa kapal tanker menyimpan tanki regas. Belum lagi biaya pembangunan pipa gas di Jakarta jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan membangun pipa gas di Tokyo, Jepang. Karena begitu banyak galian tumpang tindih. Maklum tataruang kota kita benang kusut.
Terus, dari mana duitnya untuk bangun itu semua ? Apa dari APBN? Bisa bisa kena dikorup lagi. Nah usulan saya, gunakan rencana larangan ekspor gas ini dengan memberikan peluang kepada anak negeri untuk berpartisipasi sebagai outsourcing infrastruktur Gas. Jadi biarkan saja proses B2B. Jangan seperti bangun FSRU untuk PLN saja sebagian besar kontrak dipegang oleh pengusaha yang dekat dengan elite. Apalagi entar untuk umum seperti rumah tangga dan industri downstream Gas. Bisa bisa rente lagi. Tolong lakukan secara terbuka.
Saya berharap kebijakan ini bisa unggul terhadap mafia Gas. Maklum ada para pemburu rente yang senang bila Indonesia terus bergantung pada impor LPG. Akibatnya, jika program larangan ekspor LNG dilakukan, tentunya akan mengganggu bisnis mereka. Ya, rente impor LPG juga tidak mau diganggu, ada yang menikmati 80% LPG kita impor. Akibatnya terjadi pertempuran konflik kepentingan, ya antara importir ingin tetap status quo, dengan BUMN yang punya kepentingan masing-masing karena ditekan oleh politik.