Saya bertemu dengan Direksi saya. Saya sampaikan peluang bisnis membangun pabrik cangkir. Ini berawal dari relasi saya di China memberi saya order sebanyak 2,5 juta unit Cangkir dengan kontrak jangka panjang. Setelah saya lakukan riset kapasitas produksi dalam negeri, ternyata di samping tidak bisa memenuhi order tersebut karena semua full order dan juga kualitas yang mereka buat semua kualitas Eropa. Jadi engga bisa masuk pasar China yang harganya relatif murah. Makanya saya putuskan untuk membangun sendiri pabrik di Indonesia karena bahan baku tersedia.
Produk dari pabrik ini adalah cangkir dengan type stoneware. Kapasitas produksi setahun 2,5 juta unit yang semuanya di ekspor ke China, Korea dan Eropa. Bahan baku beruba bahan mineral galian. Kemudian saya sampaikan strategi membangunnya. Lengkap dengan skema pembiayaan. Bisnis process serta data networking yang saya miliki. Yuni dapat memahami semua paparan saya mengenai peluang itu. Untuk bangun pabrik perlu mesin dengan kapasitas sebesar 3 juta unit. Ini pasti mesin canggih. Perusahaan perlu bahan baku untuk memenuhi kapasitas sebesar itu. Harus membuat bangunan pabrik beserta fasilitas pendukung. Harus menyediakan modal kerja untuk mengamankan biaya operasional selama hasil penjualan belum masuk kas perusahaan.
Tidak lebih 1 tahun. Pabrik sudah berdiri. Dua bulan kemudian produksi perdana. Total investasi mencapai Rp. 200 miliar. Namun perusahaan cash out hanya Rp. 150 juta. Tidak ada hutang bank. Bagaimana bisa? Baik saya jelaskan. Bagaimana bisa ?
Bagaimana Perusahaan dapatkan uang untuk beli mesin? Mesin dibeli dari CHina. Untuk bayarnya perusahaan ajukan kredit ekspor ke Bank di China dengan skema jual beli melalui agent di China. Sehingga perusahaan bisa bayar nyicil selama 3 tahun. Jadi ini sama dengan leasing tapi yang melakukan agent di china dan Perusahaan membeli dari agent secara angsuran. Loh apa jaminannya? Jaminannya dari off taker market. Mesin selesai diatasi.
Bagaimana dengan modal kerja ? Atas dasar kontrak jangka panjang ini , Perusahaan tunjuk perusahaan di China sebagai agent. Artinya agent di china dapat kontrak dari Perusahaan di Indonesia sebagai buyer dengan skema back to back dengan kontrak kepada pembeli sebenarnya di China. Dengan adanya kontrak ini, agent dapat pinjaman dari bank di china dengan LTV 30% dari nilai kontrak. 30% ini dikirim semua ke Jakarta. Modal kerja teratasi.
Bagaimana dengan bangunan pabrik berserta fasilitas pendukung? Perusahaan ajak mitra lokal yang sudah lama dikenal. Kontrak selama 30 tahun. Pembayaran tetap setiap tahun. Atas dasar kontrak itu, mitra lokal pinjam uang ke bank dengan sumber pembayaran dari uang sewa kepada pabrik. Dalam 10 tahun utang lunas. Tentu menarik bagi bank. Apalagi ada sumber pendapatan tetap dari sewa bangunan. Bangun dan tanah dijadikan collateral ke bank. Bangun selesai di atasi.
Pabrik selesai dibangun senilai investasi hampir Rp. 200 miliar dengan uang cash yang keluar dari kas perusahaan hanya seharga avanza..Jadi siapa bilang berproduksi harus pakai modal di tangan? Yang penting adalah kerja keras dan kesediaan bermitra dengan siapapun dan niat berbuat baik serta mau terus belajar dengan sikap rendah hati. Dalam hal ini Yuni jagonya. Itu harus saya akui.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.