Dengan British Airways saya bersama Dannil terbang ke Tripoli dari London. Di dalam Pesawat saya perhatikan kebanyakan penumpang adalah pekerja dan pengusaha minyak. Bandara di Tripoli tidak begitu besar atau tidak sehebat bandara di Bali. Menurut saya sangat kecil. Bandara tidak terkesan sibuk. Libya adalah rumah bagi hampir 6 ½ juta orang dan merupakan salah satu negara terkaya di dunia, karena cadangan minyaknya yang sangat besar. Hampir 99% dari Libya adalah gurun pasir yang kering, yang merupakan bagian dari Gurun Sahara yang terkenal di Afrika. Libya memiliki sejarah panjang sejak ribuan tahun lalu di bawah kekuasaan Romawi dan Yunani, Ottoman, Italia, Jerman dan akhirnya Inggris menjelang akhir perang 1. Makanya kalau menurut saya potensi libia bukan hanya SDA minyak tetapi juga Wisata. Karena artefak bangsa rumawi ,seperti Leptis Magna sangat luar biasa untuk dikunjungi.
Ketika kami mengunjungi Tripoli, Kolonel Gaddafi masih berkuasa. Di setiap sudut jalan terlihat billboard ukuran besar yang menampilkan wajah Gaddafi dengan senyum khasnya. Tetapi semakin jauh dari Tripoli, semakin sedikit propaganda Gaddafi yang di tampilkan. Karena ia tidak terlalu populer di sebelah timur Libya, khususnya di Benghazi yang merupakan pusat oposisi Gaddafi.
Malam pertama kami di Tripoli, kami keluar dari hotel menuju downtown untuk makan malam. Keliatan hampir tidak ada sama sekali pengaruh Barat di Libya. Tidak ada reklame tulisan barat. Tidak ada restoran fast food. Tidak ada jaringan retail international. Kami kesulitan menemukan tempat untuk makan. Akhirnya terperangkap di restoran lokal yang semua menu berbahasa arab termasuk komunikasi. Terpaksa memesan makanan dengan cara menunjuk menu yang ada di meja orang lain.
Kunjungan kami di tahun 2008 ke Tripoli dalam rangka akuisisi Blok Minyak. Kebetulan relasi saya di London yang juga punya hubungan kerabat dengan keluarga Raja Arab berminat untuk membeli. Dari kontak bisnis saya, baik pihak swasta maupun pejabat di Tripoli, sebetulnya saya sudah membaca keadaan akan jatuhnya Gaddafi hanya masalah waktu. Kalau belakangan AS terlibat langsung menyerang Libia dengan alasan membela HAM atas tindakan brutal tentara Gaddafi menyerang kelompok oposisi di Benghazi, sebetulnya bukan atas dasar kebijakan geopolitik AS secara resmi. Itu lebih kepada tindakan inteligent yang digerakan oleh kelompok yang punya dendam pribadi dengan Kolonel Gaddafi. Mengapa ? karena Gaddafi punya target menjatuhkan kerajaan Arab Saudi dan pernah terlibat di belakang upaya pembunuhan raja Arab.
Kita bisa lihat situasi di Libia paska kejatuhan Kolonel Gaddafi. Bendera Al Qaeda dan HT berkibar di Benghazi. Semua tahu walau Al Qaeda secara resmi musuh bagi AS namun secara tidak resmi dipiara dan didukung oleh inteligent AS untuk tujuan geostrategis bagi kepentingan TNC dan pemimpin yang mendapat proteksi dari AS. Terbukti setelah Gaddafi jatuh, AS langsung keluar dan meninggalkan persoalan besar bagi Libia. Apa itu ? hancurnya persatuan dan kesatuan di kalangan rakyat. Belum lagi Al Qaeda tahu benar bagaimana mendapatkan uang billon dollar dari kekacauan itu. Emosi agama bergaung tiada henti saling fitnah satu sama lain sehingga kekacauan terus terjadi. Semua kebanggaan sebagai bangsa, kemakmuran yang dicapai berpuluh tahun era Gaddafi, kini tinggal masa lalu.
Kini Libia dianggap sebagai negara gagal. Namun pundi pundi uang Al Qaeda semakin banyak dan mereka elitnya menikmati kemelimpahan hidup di Dubai dengan setiap malam pesta bersama wanita wanita cantik dan wine mahal. Sementara rakyat Libia kelaparan. Ya Agama hanyalah cover politik dan alat menipu rakyat yang bego. Itulah pelajaran mahal dari keadaan Libia. Narasi agama di tangan petualang , tidak bisa membedakan Iman dan Politik. Tidak bisa membedakan srigala dan kelinci..KIta harus senantiasa waspada. Jangan sampai nasip negeri ini sama dengan Libia hancur karena kebegoaan dan ulah segelintir orang yang rakus.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.