Saturday, June 15, 2013

Kalah di hadapan kesederhanaan



“Kelihatannya upaya akuisisi Block City di Beijing akan mengalami kegagalan. Bukan itu saja, kalau benar gagal ini akan jadi skandal“, kata lawyer-ku dengan suara lambat di musim dingin tahun 2008. Minggu lalu aku dapat konfirmasi dari kantor di Beijing bahwa Fund Confirmation yang dikirim Fund Manager melalui first class bank di Eropa di-suspect  oleh otoritas China. Dengan demikian financial closing jadi terhenti prosesnya. 

Aku membayangkan lebih dari USD 10 miliar uang yang dilibatkan dalam akuisisi ini terancam di-freeze dan selanjutnya akan jadi mega skandal. Semua tim profesional kehilangan solusi hebat mengatasi ancaman ini.  Direktur Holding juga tidak bisa berbuat banyak, karenanya aku harus ambilalih masalah ini dan menyelesaikannya. Apapun taruhannya ini harus aku hadapi.

“Apakah ada solusi lain?“, tanyaku. 
“Semua jalur tertutup untuk sebuah solusi.”  Kata lawyerku
“Mengapa?” 
“Karena penentu soal ini hanya satu orang.” 
“Siapa?” 
“Pejabat Bidang Pengawasan Lalu Lintas Devisa China” 
“Apa tidak ada cara meyakinkan dia bahwa apa yang kita lakukan sudah mengikuti aturan hukum yang ada?“ 
“Ini China, Bung. Apapun menurut kita benar sesuai aturan, tapi diskresi pejabat adalah hukum itu sendiri, bahkan lebih tinggi. Ini negara kekuasaan. Ingat itu. Tidak ada cara yang bisa meyakinkannya”. 
“Mengapa?” 
“Dia seorang wanita yang tergabung dalam elite penentu kebijakan moneter China. Tak banyak popularitas, dan jarang sekali muncul di TV. Tapi…. setiap banker kalau ditelponnya, pasti demam setelah itu.” 
“Mungkin kita bisa dekati keluarganya atau suaminya?” 
“Dia wanita yang tidak pernah menikah seumur hidupnya. Keluarganya juga tidak jelas. Latar belakang wanita itu gelap. Seakan disembunyikan rapat.” 
“OK lah... Berapa lama waktu yang kita punya untuk menyelesaikan ini?” 
“Sepuluh hari lagi, kalau kita tidak bisa melakukan financial closing dengan seller, mereka akan cairkan performance bond sebesar 5%. Dan mereka juga akan laporkan ke Polisi. Ini akan jadi skandal.” 

Jam 4 sore pesawatku mendarat di Bandara Beijing. Ketika itu suhu 7% derajat Celsius. Dengan kendaraan Audi yang disiapkan kantor, aku meluncur ke Marriot Hotel West Beijing. Setelah check in, tak lebih dari 10 menit telpon selularku bergetar. 
“Saya sudah di lobby“, terdengar suara seorang wanita. 
“Apakah Anda tidak keberatan datang ke kamar saya?“, kataku dengan menyebutkan nomor kamar. 
“OK. Saya segera ke kamar Anda.” 
Di hadapanku nampak wanita usia sekitar 40 tahun. Berpakaian blazer warna biru dengan kemeja putih berkerah tinggi seakan menutupi lehernya yang jenjang. 
“Saya sudah membaca profil perusahaan Anda. Saya tertarik untuk menggunakan jasa perusahaan Anda”, kataku langsung ke pokok persoalan. 
“Terimakasih. Jadi informasi tentang siapa yang Anda butuhkan?” 
Aku memperlihatkan koran yang memuat berita tentang seseorang. Tidak ada photo pada berita itu. “Nama ini yang Anda maksud?”, katanya menunjuk headline koran. 
“Ya“ 
Wanita itu menatapku dengan wajah bertanya-tanya. ”Mengapa?”
“Itu tidak penting”, kataku cepat.
 “OK lah. Tapi fee kami sangat mahal“, kata wanita itu. 
“Berapa?” 
“USD 50,000“. 
“OK. Kapan saya bisa dapatkan informasi tentang orang itu? Saya butuh semua informasi seperti kebiasaannya, minuman kegemarannya, makanan kesukaannya, tempat dia biasa bersantai, dan lain sebagainya.” 
“Minggu depan” 
“Kalau Anda bisa dapatkan informasi itu besok pagi, saya akan bayar double”, kataku dengan dingin. 
Wanita itu terdiam, tapi matanya tidak lepas dari mataku. ”Baiklah. Besok pagi Anda sudah bisa mendapatkan informasinya“. 
“Terimakasih”.  
Wanita itu berlalu. 
***
“Apakah saya bisa dapatkan akses ke Club?”, tanyaku kepada petugas Business Center hotel sambil menyebutkan nama club yang aku maksud. 
“Tentu, tapi Anda harus jadi member terlebih dahulu. Syaratnya deposit USD 300,000.” 
“Berapa lama proses pendaftarannya?”.
“Paling cepat seminggu” 
“Apa bisa hari ini selesai?” 
“Saya akan usahakan. Kebetulan Manager Club-nya teman pria saya. Tapi sebaiknya Anda tinggal di hotel di mana club itu berada. Itu akan memudahkan saya untuk membujuknya. Apalagi kalau Anda pesan kamar penthouse“. 
“OK. Bantu saya pesan kamar dan sekaligus pendaftaran keanggotaan di club  itu”, kataku. 
Dengan tersenyum wanita itu mengangguk. “Baiknya kita ke sana,“ katanya. 
Kami berangkat dengan taksi ke hotel di mana club itu berada. Posisinya di sebelah Hyatt Beijing. Tidak lebih satu jam proses booking kamar dan pendaftaran member club selesai. Aku menyerahkan cash card untuk membayar deposit member club dan booking kamar penthouse
Wanita itu berjanji akan mengatur check out kamarku di Marriot, juga mengantar tas ke kamarku. Ketika berpisah aku menyalaminya sambil menyerahkan amplop sebagai tip dia telah membantuku. Dengan wajah merona dia melirik uang di dalam amplop. “Anda terlalu baik. Terimakasih“, katanya. 
“Apakah suatu saat saya bisa undang Anda makan malam?”
“Tentu, tentu, saya senang sekali. Ini telpon saya“, kata wanita itu seraya menyerahkan kartu namanya. 

***
Hari Senin. 
Jam 7 malam aku sudah berada di Club. Benarlah bahwa club ini hanya diperuntukkan untuk kalangan terbatas. Suasana club yang berkelas diiringi oleh dentingan suara piano dengan lembut, memang membuat orang malu untuk bicara keras-keras. Orang lebih suka berbicara lambat, bahkan terkesan berbisik. Aku mengambil posisi di table yang membelakangi dinding sehingga aku bebas melihat ke arah semua pojok ruangan dan orang yang masuk ke club

Jam 8 sesuai informasi yang aku dapat dari agen, wanita yang menjadi targetku datang seorang diri. Dia memilih table tidak jauh dari pemain piano. Tak berapa lama pelayan club menghampirinya. Selang beberapa menit pelayan club membawa botol minuman dan menuangkannya ke gelas wanita itu. Semua aku perhatikan. Aku tahu persis minuman kegemarannya, tapi juga tahu apa yang paling dia tidak sukai. 

Jam 9 aku memanggil pelayan club. “Apakah saya bisa pesan yellow wine?“, kataku sambil menyebut merek yellow wine
“Bisa, Tuan“ 
Tak lebih dari 5 menit pelayan itu sudah kembali ke table-ku. “Silahkan tanda-tangani ini”, katanya menyerahkan secarik kertas ukuran kecil. Itu bill untuk yellow wine dengan harga 18.000 Yuan atau Rp. 32 juta Rupiah. Setelah aku tanda-tangani, kuselipkan uang 100 Yuan ke pelayan itu 
“Tolong antar wine ini kepada wanita itu“, kataku  sambil menunjuk ke arah wanita yang sedang duduk di table itu seorang diri. 
Pelayan itu tersenyum penuh arti dan melangkah ke arah table yang aku maksud. Dari kejauhan aku lihat wanita yang menjadi targetku hanya mengangguk dan menatap sekilas ke arah wine yang diletakkan di table-nya. 
Jam 11 malam wanita itu berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar. Tanpa melirik ke arahku. Padahal aku baru saja menghadiahinya wine seharga 18.000 Yuan. 

Hari Selasa. 
Seperti biasa jam 7 malam di Club, wanita itu sudah di table-nya duduk seorang diri. Tapi kali ini dia nampak murung. Kadang nampak tegang. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku memanggil pelayan club untuk memesan yellow wine berkategori royal. Setelah aku sebut nama yellow wine itu, pelayan itu berkerut kening. Dia seakan tidak percaya yang aku pesan.  
“Baik, saya segera kembali”, katanya. 
Selang beberapa menit pelayan itu datang bersama managernya. “Silahkan nikmati wine-nya“, kata manager itu sambil menyerahkan bill. Tertera harganya 200.000 Yuan atau Rp. 350 juta. Kembali aku minta pelayan itu mengantar ke table wanita itu. 
Dari kejauhan aku melihat wanita itu hanya melirik sekilas ke arahku dan mengangguk kepada pelayan itu. Tandanya dia suka dengan hadiahku. 

Jam 11 malam, wanita itu berdiri dan melangkah ke luar. Tidak menyapaku dan tidak juga melirik. Pergi tanpa kesan. 

Hari Rabu. 
Aku  agak terlambat datang ke club karena makan malam bersama relasi di restoran yang ada di puncak hotel. Jam 8.30 aku masuk ke club. Aku perhatikan dia menoleh ke arahku, tapi segera mengalihkan pandangan ke tempat lain. Aku tersenyum.  Dalam hati aku berkata, “Selalu wanita merasa kehilangan bila ada pria yang memperhatikannya tidak ada di hadapannya.” Walau informasi yang aku peroleh wanita ini sangat sulit didekati, tapi aku tahu kalau semua wanita suka diperhatikan. Aku kembali memesan wine
“Apakah wine ini juga untuk wanita itu?”, kata pelayan melirik ke arah table wanita itu. 
“Ya” 
Pelayan itu segera berlalu dan kembali dengan membawa pesananku. Dia menyerahkan bill sebesar 300.000 Yuan atau Rp. 550 juta untuk aku tanda-tangani. 
Ketika pelayan menyerahkan wine itu, wanita itu melirik ke arahku. Dan… ia berdiri melangkah ke arahku sambil menenteng botol yellow wine itu. 
“Mengapa Anda terlalu baik kepada saya? Selalu memberi hadiah minuman mahal“, katanya dengan wajah bingung.
“Karena...”, tenggorokanku tersekat. 
“Apa?”, wajahnya menghujam ke arahku. Tak ada kesan emosi di wajahnya.
“Anda cantik. Maaf…”, kataku seketika. Berharap ini bukan jawaban konyol yang bisa merusak rencanaku. 
Wanita itu tersenyum dengan wajah merona. Dia menoleh ke samping seakan berusaha berpikir apa yang harus dia katakan lagi kepadaku. “OK lah. Saya punya usul”, katanya. 
“Silahkan“. 
“Bagaimana kalau minuman ini kita habiskan bersama?“ 
“OK, di meja Anda atau … ?” 
“Di meja Anda. Saya gabung dengan Anda”, katanya. Dan sekarang dia tersenyum manis. 
“Apakah cara ini kebiasaan Anda untuk menaklukkan wanita?”, katanya.
 “Apakah saya nampak sebagai penakluk wanita?”. Dia terdiam sebentar sambil menatapku. “Tidak. Anda bukan tipe pria penakluk wanita. Dan lagi Anda tidak pernah menyapa saya walau telah memberikan hadiah banyak. Wajah dan sikap Anda seperti biasa saja untuk seorang pria yang telah berkorban banyak uang“, katanya dengan bahasa Inggris sempurna. 
Aku hanya tersenyum tanpa ada kesan tersanjung dengan kata-katanya. 
“Tentu Anda sangat kaya“, katanya lagi. 
“Tidak, saya tidak sekaya yang Anda bayangkan. Tapi memang uang tidak begitu penting bagi saya, apalagi kalau saya bisa memberi kepada orang yang tepat, seperti Anda.” 
“Mengapa? Apa yang luar biasa dari saya?“ 
“Saya tidak bisa jelaskan. Tapi saya terkesan ketika kali pertama melihat Anda masuk club ini.”
“Itu saja?” 
“Ya” 
“Bagaimana kalau saya tidak peduli?“ 
“Itu juga tidak ada masalah. Karena memberi bagi seorang pria adalah kehormatan. Dengan Anda menerima hadiah saya, Anda telah memberi rasa hormat kepada saya. Itu sudah cukup.” 
Wanita itu mengangguk-angguk. ”Dulu peperangan dan penaklukan satu wilayah dengan wilayah lain biasanya hanya bentuk lain dari para pria yang ingin mendapatkan rasa hormat dari wanita“. 
“Perang memang pekerjaan para pria” 
“Ya, pria dilahirkan untuk menjadi petarung” Kataku cepat.
“Tapi dulu revolusi kebudayaan diprakarsai oleh Madam Mao, bukan pria kan? Jutaan pria mati terbunuh.“ 
“Justru Mao membiarkan revolusi kebudayaan dimotori istrinya karena hanya itu yang bisa memanjakan istrinya. Untuk seorang wanita, Mao menghadang resiko dari semua lawan politiknya, dan...” Kataku tangkas
“Karena itu dia mendapatkan rasa hormat dari istrinya”, kataku melanjutkan ceritanya dan juga menyimpulkan. 
“Tepat sekali”, jawabnya dan tertawa. Sekarang dia tidak nampak seperti wanita besi. Seakan mencair oleh suasana kebersamaan kami. 
Aku menuangkan wine ke gelasnya. Dia menyambut dengan kedua tangannya. Jari lentik dan hiasan warna kuku yang konservatif. Nampak jelas bahwa dia wanita yang bersikap sederhana dan praktis. 
For lady from Beijing, wonderful lady”, kataku  mengajak toast. 
For a nice guy“, jawabnya. 
Entah kenapa kami terdiam ketika terdengar lagu yang dilantunkan, 
You ask me if I love you 
And I choke on my reply 
I'd rather hurt you honestly 
Than mislead you with a lie 
And who am I to judge you 
In what you say or do 
I'm only just beginning 
To see the real you

Dia tersenyum melirikku. Aku mengangguk seakan ikut larut dengan lagu itu. 

And sometimes when we touch 
The honesty's too much 
And I have to close my eyes and hide 
I want to hold you till I die 
Till we both break down and cry 
I want to hold you till the fear in me subsides 

Romance and all its strategy 
Leaves me battling with my pride 
But through all the insecurity 
Some tenderness survives 
I'm just another writer 
Still trapped within my truth 
A hesitant prize fighter 
Still trapped within my youth 

And sometimes when we touch 
The honesty's too much 
And I have to close my eyes and hide 
I want to hold you till I die 
Till we both break down and cry 
I want to hold you till the fear in me subsides 
At times I'd like to break you 
And drive you to your knees 
At times I'd like to break through 
And hold you endlessly 
At times I understand you 
And I know how hard you try 
At times I think we're drifters 
Still searching for a friend 
A brother or a sister 
But then the passion flares again

Kembali dia melirikku dengan tersenyum

And sometimes when we touch 
The honesty's too much 
And I have to close my eyes and hide 
I want to hold ya till I die 
Till we both break down and cry 
I want to hold you till the fear in me subsides  

Usai lagu itu dia memberikan applaus kepada penyanyi dan pemain piano itu. Dia melirik ke jam tangannya. “Saya harus kembali. Senang bertemu dengan Anda“, katanya tanpa ada kesan untuk berdiri.  Aku tahu budaya China mengajarkan bahwa tidak sopan wanita berdiri sebelum pria berdiri. Aku segera berdiri tanpa ada kesan menahannya lebih lama lagi. Segera aku memegang ujung sandaran kursinya sebagai isyarat agar dia bisa berdiri dengan aman dan aku akan memberi ruang agar dia leluasa berdiri. Aku mengantarnya sampai ke lobby club

Tak berapa lama nampak kendaraan Audi,  yang merupakan kendaraan standar bagi Pejabat China menghampiri lobby. Dia tersenyum ke arahku. “Terimakasih, selamat malam,” katanya seraya masuk ke dalam kendaraan“ 

Aku kembali ke kamar hotel.  “Bro..”, terdengar telpon overseas dari Fund Manager-ku di Lugano. 
“Kemarin si Arab itu berang sekali. Dia ingin tahu kepastian proses financial closing. Mereka butuh kepastian atas uang mereka. Dan pihak Korea juga tanya saya kepastian untuk proses akuisisi. Hari Senin depan bila tak ada kepastian, mereka akan mengundurkan diri dari proses akuisisi. Mereka sudah punya buyer baru. Kelihatannya keadaan semakin sulit bagi kamu.” 
“Ya, saya paham. Tapi si Arab itu kan sudah pegang jaminan dari kita. Mengapa dia sewot?” 
Bro, mereka sudah tahu itu jaminan hanya credit enhancement, illegible” 
“Bagaimana mereka bisa tahu?” 
“Entahlah.. Keadaan semakin rumit. Semua di luar kendali kita.” 
“Apa saran dari kamu?” 
“Pastikan Senin depan bukan hari neraka untuk kita“
“Saya tak bisa berandai-andai tentang hal terburuk yang akan terjadi. Selagi ada kesempatan saya akan terus berjuang“. 
“Saya paham. Itulah salah satu sebab saya percaya mendukung kamu”.
“OK, terimakasih. Tetaplah tenang sampai Senin depan.” 

Hari Kamis. 
Aku  datang ke Club itu kembali terlambat karena mengajak makan malam Banker dan Asset Manager-ku untuk sekedar meyakinkan mereka bahwa aku ada di Beijing sampai Senin untuk menyelesaikan masalah. Aku tidak akan lari. Ketika itu aku didampingi oleh salah satu stafku dari kantor di Beijing. Dia warga negara Australia. Jam 9 aku masuk ke club. Tidak nampak wanita itu duduk di table seperti biasanya. 

Pelayan club menghampiriku, “Tuan, mari ikut saya“, katanya menuntunku ke salah satu ruangan.  Nampak wanita itu sudah ada di dalam ruangan. Hanya dia sendiri. Di setiap sudut ruangan ada pelayan yang stand by memberikan layanan apapun yang kami butuhkan. 
“Maaf, apakah Anda tidak keberatan saya pilih ruangan ini?” 
“Tidak ada masalah.” 
Aku paham maksudnya. Karena sebagai pejabat tinggi negara tentu dia ingin menghindari terlihat berdua berlama-lama dengan pria asing. Tapi aku tidak mau bicara lebih jauh alasannya mengapa ia harus menyewa ruangan khusus untuk kami berdua. 
“Boleh tahu apa pekerjaan Anda?”, tanyanya. 
“Pengusaha”
“Pengusaha apa?”, tanyanya terkesan dingin seakan tidak berminat mendapatkan informasi lebih jauh atau memang tidak peduli siapa aku sebenarnya. 
“Apa yang harus saya katakan tentang saya? Tapi itu tidak penting. Itu hanya bisnis.” 
“Yang penting apa?” 
“Persahabatan. Saya suka berteman dengan siapapun. Yang bisa mengenal saya apa adanya saya. Dan juga saya ingin bersahabat apa adanya kepada siapapun, bukan karena jabatan atau kekayaannya, tapi karena dia sahabat saya“. 
Dia tersenyum. “Ternyata tepat dugaan saya.”
“Apa?“ 
“Anda orang yang tahu menikmati hidup dan bersikap sederhana. Selama beberapa hari ini saya perhatikan Anda tidak pernah punya tamu. Kenyamanan club benar benar Anda nikmati secara privasi. Tidak seperti orang lain. Selalu sibuk walau di club mereka sibuk bicara bisnis”. 
Aku  hanya tersenyum tanpa terkesan tersanjung. 
“Oh ya, darimana asal Anda?” 
“Tebaklah“ 
“Philipine“ 
“Salah. Indonesia.” 
“Oh. Saya suka Indonesia “ 
“Apanya yang Anda suka?”
“Semua hal tentang Indonesia saya suka. Budayanya, rakyatnya, dan kehidupannya. Benar benar surga yang terlupakan.”
“Woowww“, kataku berseru. “Mengapa Anda bilang begitu?” 
“Saya pernah ke Bali, dan saya menemukan semua hal tentang imaginasi surga di sana.” 
“Oh,  Bali” 
“Ya, Pulau Dewata“ 
“Nah, kalau suatu saat Anda ke Indonesia saya akan mengajak Anda ke tempat-tempat hebat seperti Bali itu. Ada banyak di Indonesia. Negeri kami luas. Luas sekali. Luasnya sama dengan jarak dari London ke Siberia..” 
“Whoooo, negara besar“. 
“Ya, sangat besar dan hebat.” 
“Dan melahirkan banyak pria hebat seperti Soekarno”. 
Aku hanya  tersenyum. Kadang wanita China, juga umumnya orang China,  lebih mengenal Soekarno atau hanya kenal Soekarno bila menyebut Indonesia. Kami terus berbicara tentang banyak hal, tapi tidak pernah sekali pun aku bertanya tentang siapa dia,  dan apa pekerjaannya. 
“Saya harus segera kembali. Oh ya, besok saya ada keperluan lain. Mungkin saya tidak ke club ini. Apa Anda ada acara pada weekend ini?” 
“Tidak ada. Saya tetap di hotel. Tapi Senin saya sudah kembali ke Hong Kong”.
“Apakah mau ikut saya  ber-weekend  ke Jilin? Sabtu kita berangkat dengan pesawat dan hari Minggunya kita kembali dengan kereta“. 
“Dengan senang hati kalau tidak merepotkan Anda“ 
“OK. Hari Sabtu pagi saya jemput di hotel. Kita sama-sama ke bandara“, katanya. 
“Baik, terimakasih untuk malam yang menyenangkan”, sambungnya.  
Aku segera menjaga ujung kursinya untuk memberikan ruang baginya untuk berdiri. Ketika aku hendak mengantar dia ke lobby, dia menolak halus. 
“Tidak perlu antar saya. Terimakasih. Selamat malam”. 
Aku mengangguk sambil setengah menunduk sebagai rasa hormat kepadanya. Aku segera minta pelayan untuk melarang wanita itu membayar bill. Semua bill atas tanggungan rekeningku. Pelayan itu bersegera pergi menuju kasir. 

Hari Jumat aku menghubungi Call Center Centurion agar menyediakan private jet dengan standar layanan pribadi. Pesawat aku carter selama dua hari. Petugas itu berjanji akan memberikan layanan terbaik bagiku. Semua biaya dibebankan dalam bill corporate-ku. 
“Hari Jumat malam private jet sudah stand by di bandara. Kami akan kirim kendaraan standar limo ke hotel Anda jam 6 pagi. Apakah confirmed?”, katanya kemudian. 
“Yes, confirmed“, jawabku tegas.
“Terimakasih” 
Setelah itu aku  menghabiskan waktu di kamar membaca buku. Setelah makan siang, aku istirahat di spa center untuk berenang, sauna, facial, massage. Semua kegiatan itu berakhir menjelang jam 5 sore. 

Selanjutnya waktu kuhabiskan dengan menelpon ke Eropa dan Hong Kong. Diskusi dengan direksiku dan update segala hal tentang business process. Mereka mungkin bertanya-tanya karena aku tidak nampak terkesan khawatir. Padahal dalam hitungan hari apabila aku tidak bisa lolos dari masalah, maka semua yang aku bangun hancur, juga reputasiku. 

Sabtu pagi jam 5 aku sudah di lobby dengan pakaian casual. T-shirt Armany dan celana denim, sweater dan jacket D&G untuk menahan udara musim dingin. 
Wanita itu tepat jam 5.30 masuk ke dalam lobby dengan pakaian longcoat, namun dari balik longcoat–nya, ia mengenakan T-shirt  berkerah tinggi berbahan cotton yang dirajut dan juga celana panjang denim dengan Winter Boots. Nampak cantik seperti bintang film Hong Kong, kelihatan lebih muda dari usianya yang aku perkirakan tak lebih dari 45 tahun. 

“Kita langsung ke bandara”, katanya melirik ke arah kendaraannya yang masih parkir di depan lobby
“Ya. Tapi lebih baik gunakan kendaraan saya”, kataku. Hanya lima menit setelah itu, nampak kendaraan standar limo merapat di depan lobby. Seorang pria dengan seragam driver limo keluar dari dalam kendaraan dalam posisi sempurna menanti kami masuk ke dalam kendaraan. “Itu kendaraan saya”, kataku. 

Dia melirik dengan agak sedikit terkejut namun aku bersikap santai sehingga dia tidak terkesan canggung. Driver membukakan pintu kendaraan. Nampak di dadanya pin berlogo namaku. 
“Kita langsung ke bandara, ke gate keberangkatan domestik. Di sana sudah menanti orang saya yang akan memberikan ticket untuk kita berdua”, katanya. Kemarin memang dia meminta copy pasporku yang aku kirim via email tanpa bertanya untuk apa. 
“Kita langsung ke bandara private
“Mengapa?” 
“Maaf, mungkin lebih praktis bila kita gunakan private jet. Jadi kita bisa pulang kapan saja tanpa diatur oleh jadwal penerbangan atau kereta.” 
“Ooh..”. Dia melirikku dengan bingung. 

Di depan gate apron pesawat, pasporku dan paspornya diperiksa tanpa dicap, karena ini penerbangan domestik. Kendaran limo masuk ke dalam bandara menuju tempat pesawat sedang diparkir. Di pintu pesawat nampak logo namaku pribadi. 
Ada dua pramugari yang melayani kami juga dengan seragam. Di dadanya ada pin logo namaku. Wanita itu tersenyum ke arahku ketika pilot menyalamiku dengan seragam yang juga berlogo namaku di dadanya. 
“Mereka semua menaruh hormat kepada Anda. Dan sangat hangat layanannya.” 
“Mereka professional. Jadi biasa saja.”
“Tapi mengapa harus menggunakan fasilitas ini semua?“ 
“Apakah ada yang salah? Maafkan saya.”
“Tidak ada yang salah. Maksud saya ‘kan lebih baik kalau kita pergi dengan pesawat komersial”
“Tapi kita tidak bisa bebas mengatur waktu. Apalagi ini liburan. Mengapa kita harus terjebak dengan jadwal penerbangan dan kereta? Dan lagi ini hanya standar layanan biasa, bukan hal luar biasa.” 
“Bagi Anda ini hal biasa, tapi bagi saya ini luar biasa.” 
“Maafkan saya. Kalau ini membuat Anda tidak nyaman.” 
“Tidak apa-apa. Saya malah tersanjung Anda perlakukan seperti ini” 
“Terimakasih.” 
“Apakah semua wanita Anda perlakukan seperti ini?” 
“Apakah selama di club pernah ada wanita mendampingi saya?” 
“Tidak ada. Walau tidak sulit bagi Anda untuk minta layanan premium escort yang muda dan cantik seperti bintang film Hong Kong.” 
Hanya butuh waktu 1 jam perjalanan udara, kami sudah sampai. Jadi belum sempat kami berbicara banyak. Tapi aku tahu dia menikmati perjalanan udara ini. Ketika pintu pesawat terbuka, nampak kendaraan standar limo sudah stand by dekat parkir pesawat. Udara dingin yang menerpa wajah terasa menyengat. Suhu sudah di bawah nol derajat Celcius
“Saya sudah atur hotel untuk dua kamar di Sheraton“, kataku. 
“Tidak perlu dua kamar. Cukup satu kamar saja”, katanya cepat. 
“Oh...”
“Maksud saya, cukup Anda tinggal di hotel, saya tidur di tempat lain” 
“Tempat apa?”
“Nanti Anda akan tahu sendiri. Bukankah kita kemari untuk liburan?”
“Ya. Saya paham” 

Perjalanan ke pusat kota Jilin dari Longjia airport ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Kota Jilin terletak di Provinsi Jilin. Ini kota kecil dengan standar ala China, berisi populasi sekitar 4 juta orang. Kota ini indah dengan sungai Songhua yang mengalir ke kota dan dikelilingi oleh bukit-bukit pegunungan. Ketika itu bulan Februari nampak pepohonan berbingkai es spektakuler berjejer di tepi sungai Songhua.

“Orang-orang Jilin ramah dan sedikit penasaran dengan orang asing. Karena ada sedikit orang asing di Jilin, Anda akan menarik sedikit perhatian orang saat Anda pergi, tapi Anda akan terbiasa. Tapi Jilin tidak seperti beberapa kota besar lain di China seperti Beijing atau Shanghai yang lebih kebarat-baratan. Tinggal di Jilin memberikan pengalaman China yang lebih otentik”, kata wanita itu. 
Aku hanya tak bosan melihat pemandangan di luar kendaraan. 
“Sebaiknya kita tidak langsung ke hotel tapi ke tempat saya dulu”, kata wanita itu lagi. 
“OK, beri tahulah kepada supir ke mana arah tujuan Anda“, kataku. 
Dia menggunakan bahasa Mandarin kepada driver dan nampak driver itu mengangguk, tanda tahu arah yang dimaksud. Lokasinya agak jauh di pusat kota atau tepatnya di pinggir kota. 

Ada bangunan tua, namun di sebelahnya ada bangunan modern dengan taman luas. Aku masih bertanya-tanya apakah gerangan tempat ini? Ternyata setelah kendaraan parkir dan kami masuk ke dalam gedung itu, barulah aku tahu bahwa gedung itu adalah Panti Asuhan.  Kami disambut oleh seorang wanita setengah baya dan pria muda. Mereka adalah pengurus panti. Dengan ramah mereka menuntun kami ke aula di mana anak-anak panti sudah menanti kami. Ketika kami masuk mereka mengucapkan selamat datang secara serentak. Aku masih terpesona dengan keadaan ini. Ada apa dia membawaku ke mari?

Kemudian wanita itu berbaur dengan anak-anak. Dia duduk di tengah-tengah, dan anak-anak usia di bawah 12 tahun itu mengelilinginya. Dia bercerita semacam kisah spiritual untuk mendidik anak-anak agar berbudaya, sambil bercengkrama bersama anak-anak itu. Kegiatan itu berlangsung sampai siang. 
Kami makan siang bersama dengan anak-anak itu. Mereka sangat tertib sekali. Tidak ada yang berisik selagi makan. Seusai makan siang, wanita itu bersama-sama anak-anak panti bergotong royong membersihkan ruangan. Sore hari wanita itu mengajakku ke paviliun yang terletak di belakang panti.

“Di sinilah saya tinggal selama weekend. Sebetulnya saya ingin mengajak Anda tinggal di sini“, katanya dengan wajah merona seakan sungkan menawarkan sesuatu yang dia yakini jika aku akan menolaknya. Maklum tempatnya tidak semewah hotel. 
“Itu masih ada kamar satu lagi. Mari kita lihat”, sambungnya. Aku melihat kamar yang ditunjukkannya itu. Bersih dan sederhana. Ada AC dan meja kecil namun tidak ada TV. 
“Bagaimana?, katanya. 
Aku berpikir sejenak. “Baik, saya tinggal di sini. Dan lagi mengapa kita harus berpisah tempat. Bukankah saya kemari karena ajakan Anda?”, kataku. 
Dia tersenyum senang. “Terimakasih untuk mengerti saya.” 

Usai makan malam di panti, dia mengajakku berjalan-jalan ke pusat keramaian di pinggir Sungai Songhua. Ini adalah anak sungai dari sungai Amur, yang dikenal oleh orang China sebagai Heilong Jiang (Sungai Naga Hitam). Nampak beberapa orang memainkan instrumen China kuno di tepi sungai. Di depannya, aku melihat sebuah gunung yang tinggi dimahkotai oleh kuil,  pagoda. 

“Menurut legenda ada seorang Kaisar bernama Kangxi, mengunjungi gunung itu pada abad XVII dan menciptakan sebuah puisi tentang keindahannya“, kata wanita itu mencoba menjelaskan keindahan gunung itu. 
“Banyak tempat menggunakan tulisan bahasa Korea, seperti toko dan restoran khusus,”  gumamku.
“Dulu kala ketika kami akan diserang Rusia, kami mengundang orang Korea bergabung melawan invasi orang Rusia. Tapi belakangan ketika kami bergabung dengan Jepang, Soviet berperang melawan Jepang di Manchuria dan berhasil menduduki sebagian besar wilayah kami, bahkan kereta yang melintasi Manchuria melalui Harbin dibangun oleh orang-orang Rusia”, katanya menjelaskan mengapa banyak tanda-tanda Korea di kota itu. 

Kami minum Soju di restoran Korea sambil bicara santai. 
“Setiap weekend  kalau tidak ada urusan kantor saya lebih memilih berlibur ke mari. Saya senang berada di antara anak-anak yatim. Mungkin karena sedari kecil saya besar di panti. Dari kecil saya tidak mengenal orang tua. Kehidupan panti merupakan kenangan terindah yang tak mungkin saya lupakan. Terutama para mentor yang juga volunteer dari kakak-kakak yang sudah lebih dulu mandiri. Mereka selalu kembali ke panti di waktu luangnya menjadi penghibur bagi adik-adiknya. Hidup memang tidak ramah. Namun berkat cinta, kami punya keyakinan dan harapan bahwa kami akan baik-baik saja“, katanya membuat aku  tertegun dan terpesona. 
“Memang Pemerintah China menanggung semua biaya makan dan sekolah mereka, tapi mereka bukan hanya butuh itu, mereka juga butuh perhatian. Dari petugas panti tidak bisa diharapkan bisa memberikan perhatian penuh. Karena mereka hanya pekerja yang dibayar Pemerintah. Tapi dari kami, mereka mendapatkan kehangatan cinta, rasa kebersamaan, dan kasih sayang. Itulah sebabnya mengapa bila berada di tengah-tengah mereka dan merasakan kehidupan yang kini saya miliki, maka rasa syukur kepada Tuhan tidak pernah habis. 

Saya mecintai semua dan rasa terimakasih kepada Pemerintah juga tidak pernah berkurang. Saya harus memberikan yang terbaik kepada negara dan bangsa, karenanya saya harus bekerja jujur dan memastikan keberadaan saya memberikan manfaat bagi Pemerintah yang harus bertanggung jawab kepada lebih 1 miliar penduduk”, katanya,  kembali membuatku terpesona. 

“Ingat dulu ketika tamat SMU, saya harus hidup sendiri di Beijing karena dapat beasiswa masuk universitas. Pemerintah memberikan biaya hidup hanya cukup untuk makan dengan standar sederhana sekali. Bertahun-tahun saya tidak pernah makan daging. Baju hanya berganti dua kali setahun. Tapi dengan mendapatkan kesempatan belajar di universitas, rasa terimakasih kepada Pemerintah tidak terkirakan. 

Saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Pemerintah. Negara butuh sarjana untuk membangun peradaban guna mengangkat saudara kami yang miskin yang berada di pelosok negeri. Kerja keras dan belajar keras adalah keniscayaan yang harus menjadi mindset kami untuk China yang lebih baik”. 

“Tamat Universitas saya berkarir di Bank Tani di sebuah distrik di Hunnan. Saya harus mendidik petani agar disiplin menggunakan uang dan membuat mereka smart dalam mengatur financial planner-nya. Saya juga membina kelompok tani agar dana kredit bantuan produksi yang disediakan Pemerintah melalui bank dapat efektif menolong mereka mandiri. 

Bertahun-tahun saya hidup lebih banyak bersama petani. Akhirnya usia 30 saya dapat beasiswa ke Harvard. Ini kesempatan yang harus saya manfaatkan. Dua tahun di AS saya lalui dengan belajar keras. Dana beasiswa sangat minim, namun saya bisa survive berkat hidup hemat,“ katanya. 

Aku kagum. Di hadapanku ada wanita sederhana. Tidak seperti informasi yang aku terima yang mengatakan bahwa dia wanita besi. Hatinya sangat lembut. Kalaupun dia tidak bisa didekati dan di-lobby, karena dia bekerja dengan prinsip amanah dan fokus dengan misinya untuk hanya bekerja demi kepentingan negara. Dia tidak ada waktu dengan segala hal yang akhirnya merugikan negara. Bahkan waktu liburnya pun dihabiskan bersama orang miskin dan yatim. 

“Tak terasa usia saya sudah 42 tahun. Rasanya baru kemarin saya tinggal di rumah panti. Namun proses hidup yang keras dan penuh cinta membuat waktu berlalu begitu cepat“. 
“Maaf, apakah Anda pernah punya pacar?” 
“Pernah, tapi itu hanya cinta monyet waktu SMU. Setelah itu tidak ada yang mendekati saya. Entah mengapa? Tapi saya juga tidak merasa kesepian. Pergaulan saya di kantor hanyalah rutinitas di antara orang-orang yang sudah mapan secara intelektual dan spiritual. Jadi walaupun mereka dekat dengan saya, namun secara pribadi mereka asing bagi saya. “ 
“Apakah Anda tidak punya sahabat sejati?“ 
“Ada, tapi mereka semua sudah berkeluarga. Tentu tidak bisa dekat lagi seperti sebelum mereka menikah. Tapi tidak apalah. Toh setiap ada kesempatan berkumpul mereka selalu undang saya“. 

Pembicaraan terhenti. Karena dia mengingatkan harus memberi cerita spiritual kepada anak-anak sebelum mereka berangkat tidur. Kami segera meluncur kembali ke panti.  Ketika ingin berangkat tidur, aku kehilangan semangat untuk memprovokasinya membantuku keluar dari kesulitan. Dengan sikap hidupnya dan jalan hidupnya sebagai abdi negara, rasanya tidak seharusnya aku mempengaruhi sikapnya hanya karena ingin menyelamatkan diriku. 
Kembali aku berdialog dengan diriku sendiri. Apa yang telah aku  lakukan untuk negeri yang aku  cintai? Atau bisakah aku  sedikit mengerem nafsu ingin memiliki banyak hal dengan menghalalkan segala cara? Teringat semua orang yang bekerja untukku,  dengan satu tujuan yaitu memuaskan egoku. Teringat semua hal, yang membuat aku merasa bersalah tak berujung. 

Hanya satu cara untuk memaafkan semua ini, yaitu aku harus meninggalkan cara bisnis yang aku geluti. Stop. Apapun yang terjadi dan apapun resikonya akan aku hadapi. Mungkin inilah pesan cinta dari Tuhan kepadaku. 




Pagi-pagi aku terjaga. Setelah sholat Subuh aku  duduk di teras paviliun menghadap ke taman. Kabut musim dingin menutupi fajar sehingga sepagi itu masih gelap. Wanita itu nampak melangkah mendekatiku dari sebelah paviliun 
“Bagaimana tidurnya? Nyaman?” 
“Nyaman” 
“Rencana jam 1 siang kita kembali ke Beijing. Sebelum jam 1 saya harus rapat dengan pengurus panti membicarakan perbaikan fasilitas panti agar lebih baik dari yang disediakan Pemerintah. Tadi malam sebelum tidur saya baca proposal dari pengurus panti. Mereka butuh anggaran sebesar 100,000 Yuan. Semoga ada solusi untuk mereka. Saya ada tabungan sebesar 60,000 Yuan. Maklum saya butuh tabungan karena di apartemen saya di Beijing, saya juga menampung anak yatim piatu 2 orang. Keduanya sedang kuliah sekarang.” 
“Oh, begitu.” 
“Sebelumnya saya sudah dijanjikan oleh donatur untuk memberikan bantuan tapi sudah lebih tiga bulan belum juga dipenuhi janjinya. Mungkin dia lagi sulit. Baiklah, Anda mau tunggu di sini atau  ikut dalam rapat. Gimana?” 
“Sebaiknya saya tunggu di sini.” 
“Ok“ 

Dia melangkah ke gedung utama. Tinggallah aku sendirian. Segera aku hubungi Call Center Centurion bahwa aku butuh uang tunai sebesar 100,000 Yuan. Masalahnya hari Minggu tidak mudah mendapatkan uang tunai sebanyak itu, namun mereka memberikan fasilitas kemudahan mendapatkan uang tunai di mana saja, kapan saja.  Tak berapa lama driver yang sedari kemarin stand by di tempat parkir menanti untuk melayaniku, datang ke paviliun. “Saya dapat perintah menyerahkan uang kepada Anda“, kata driver itu seraya menyerahkan amplop. Amplop itu aku  simpan di saku jaket bagian dalam. 

Jam 12 siang wanita itu datang ke paviliun. “Saya sudah selesai. Sekarang kita siap berangkat. Sebelumnya kita makan siang di restoran di pusat kota”, katanya. 
“Terimalah ini. Mungkin bisa meringankan Anda.“ Aku menyerahkan amplop itu. 
Dia terkejut sambil melihat isi amplop. “Mengapa?”, katanya dengan wajah penuh tanda tanya.
“Apalah arti uang itu dibandingkan kepedulian Anda kepada anak yatim?” 
“Tapi saya cerita tentang panti ini bukan berarti saya minta bantuan kepada Anda. Lantas apa yang Anda harapkan dari saya?” 
“Apakah boleh saya menjadi sahabat Anda?” 
“Hanya itu?”
“Ya”
“Dengan semua kebaikan Anda?“ 
“Ya” 
Wanita itu berpikir lama. Dia terdiam duduk di kursi menatap ke bawah. 
“Anda tidak tahu siapa saya. Kita baru berkenalan seminggu. Tapi Anda telah berbuat banyak untuk saya. Dan baru kali ini saya merasa tersanjung sebagai wanita. Apa lagi oleh pria sekelas Anda. Muda, kaya dan terpelajar”. 
Dengan tersenyum aku berkata lambat, “Saya hanya ingin jadi sahabat Anda. Itu saja. Kalau Anda tidak bersedia, jadikanlah saya sebagai teman”.
Dia berdiri dari tempat duduknya seraya memberikan kelingkingnya untuk aku tautkan. “Kita sahabat sekarang“.  
Kami berdua berangkulan.

Di dalam pesawat aku masih membayangkan kejadian buruk yang akan menimpaku hari Senin besok. Tapi aku sudah pasrah. Aku ingin mengakhiri ini semua, apapun itu. Yang terjadi biarlah terjadi. 
“Ada apa? “, katanya. Membuatku terkejut.
“Ah, ngga apa-apa“.
“Saya perhatikan sekilas kamu sedang berpikir keras. Benar-benar galau” 
“Ah ngga apa apa. Saya baik-baik saja” 
“Bukankah kita sudah berjanji sebagai sahabat? Bukankah sahabat itu saling mendengar dan memberikan jalan keluar?  Katakanlah kalau kamu benar yakin saya adalah sahabatmu”. 
Aku  terdiam lama. Entah bagaimana harus bicara. Sampai saat ini dia tahu bahwa aku tidak tahu pekerjaannya. Sampai saat ini dia tahu bahwa aku tidak mengenalnya sebagai Pejabat Otoritas Moneter. Lantas mau ngomong apa? 
“Bicaralah ..”, katanya setengah memelas.
“Ya… Saya ada masalah di Beijing. Ini hanya soal bisnis. Bukan masalah serius. Biasa terjadi dalam bisnis”. 
“Masalah apa?” 
“Sebagai pendatang baru dalam bisnis private fund, saya terjebak oleh permainan yang diciptakan oleh kompetitor saya. Entah bagaimana setelah saya unggul dalam lelang, mereka ciptakan rumor bahwa saya menggunakan cara-cara hedge fund untuk akuisisi. Padahal itu dana dari Arab yang saya SWAP dengan Islamic Bond yang mendapat exit dari buyer di Jepang dengan harga 112%. Jadi tidak ada yang salah. Yang salah karena saya pendatang baru dan terlalu ambisi“. 
“Saya kurang paham, ini berkaitan dengan transaksi apa?” 
“Akuisisi salah satu Block City yang ada di Beijing” 
“Oh, I see. Saya juga baca di media massa”, katanya. 
Dia tidak lagi menanggapi dan bertanya lebih lanjut. Dia memilih diam. Tapi aku segera mencairkan suasana dengan mengajaknya berdiskusi soal lain. Tak terasa satu jam berlalu pesawat sudah mendarat di bandara Beijing. 

Senin pagi aku terbang dengan pesawat pertama. Malam sebelumnya aku sudah beritahukan rencana keberangkatanku ke Hong Kong. Dia berharap dapat bertemu kembali denganku.  Jam 11.30 pagi aku mendarat di Hong Kong. Ketika HP kubuka, SMS masuk. 

“Beijing meloloskan tranksasi kita dan proses financial closing bisa dilanjutkan. Berita tadi jam 10.30 dari Beijing. Selamat. Anda sukses keluar dari masalah”, demikian berita dari lawyer-ku.  Berjalan di sepanjang koridor kedatangan bandara, terasa bagiku seperti berjalan di atas awan. Tapi entah mengapa aku semakin takut kembali ke Beijing untuk bertemu dengan wanita itu. “Mengapa orang baik harus jadi korban?.”  Apalagi ada SMS masuk dari wanita itu. "You are always on my mind. You take care, my dear".  

Aku  seakan masuk ke dalam lobang hitam dalam sesal tak bertepi. “Mengapa ini kulakukan? Wanita itu tidak pantas  jadi korban permainanku”. 

***


Tiga bulan berlalu aku masih gelisah. Ada perasaan bersalah yang sulit diungkapkan. Sementara proses akuisisi Block City di Beijing sampai pada pelepasan kembali kepada pihak exit buyer di Jepang sudah selesai dilakukan. Pihak investor, Partners & Associates, Fund Manager, lawyer, dan semua pihak yang membantu proses transaksi merasa happy dengan prestasi yang dicapai. 

Selama tiga bulan itu, aku tidak ada komunikasi apapun dengannya.  Aku tidak mencoba menghubunginya dan dia pun demikian. Apakah dia sudah melupakanku? Atau menganggap pertemuannya denganku hanya sekedar intermezzo? Tapi bagaimana pun, aku harus bertemu kembali dengan wanita itu dan berkata jujur. Setidaknya aku bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi sehingga otoritas begitu saja mengizinkan proses akuisisi di lanjutkan, padahal sudah dalam kondisi di-block karena alasan suspect. 

Dari Seoul aku terbang ke Beijing. Ini kepergian tanpa misi business. Lebih karena alasan pribadi bahwa aku  harus bertemu dengan wanita itu. Harus. Sesampai di Beijing aku memilih hotel yang berada di club di mana wanita itu sering membuang waktu usai jam kantor. Jam 7 aku datang ke club. Salah satu pelayan yang masih mengenalku menegur dengan ramah. 
“Tuan, apa kabar? Senang bertemu kembali.” 
“Terimakasih“, kataku dengan menyapu pandangan ke semua sudut ruangan. 
“Wanita itu tidak pernah datang lagi, Tuan“
“Sejak kapan?”
“Sudah lebih satu bulan dia tidak pernah datang lagi“ 

Entah mengapa terdorong begitu saja aku meneleponnya melalui ponselku. Tapi telponku tidak diangkat, atau tepatnya sudah tidak aktif lagi. Segera aku telpon Fund Manager-ku untuk mencari tahu tentang wanita itu. 
“Dia sudah tidak lagi menjabat di posisi yang sama sejak sebulan lalu“, kata Fund Manager-ku. 
“Di mana posisi dia sekarang?”
“Tidak ada sumber informasi tentang itu”
 “Mengapa?” 
“Lhaaa, ini China. Selain Presiden, tidak ada jabatan yang sakral, tapi karena profesionalitas. Pejabat datang dan pergi, naik dan jatuh, itu bukan hal luar biasa. Sudah biasa. Bahkan sangat biasa. Jadi bukan berita yang luar biasa. Apalagi pejabat sekelas teman wanita kamu itu. “ 

Aku ingat sepulang dari Jilin, aku pernah mengantarnya ke apartemen,  tapi aku tidak tahu pasti alamatnya. Aku hanya tahu kawasan apartemennya yang berada di super block city Beijing. Tapi tentu aku bisa mendapatkan alamat wanita itu dari manajemen apartemen. Namun apa yang aku dapat?  Pegawai manajemen apartemen menyebutkan tidak ada nama wanita yang aku maksud. Memang ada beberapa apartemen dimiliki oleh Pemerintah untuk Pejabat, tapi tempatnya tersebar di beberapa blok. Rasanya sama seperti mencari jarum di tengah lautan. Aku putuskan menghentikan upaya mendatangi satu persatu blok apartemen.

Dalam kebingungan, aku ingat Jilin. Ya, aku harus ke Jilin. Dari pengurus panti aku yakin bisa mendapatkan informasi lebih banyak tentang wanita itu. Dan bagaimana aku bisa menemukannya. Keesokannya aku terbang ke Jilin. Dari petugas panti aku dapat informasi bahwa wanita itu sudah pindah ke Shanghai. Itu kabar terakhir sebulan lalu ketika wanita itu berkunjung ke Panti. 

Dari pengurus Panti pula aku dapat alamat di mana ia bertugas sekarang. Tapi aku agak bingung atas kebenaran informasi yang aku terima itu. Bagaimana mungkin sekarang dia berubah profesi menjadi dosen? Di universitas terkenal lagi. Tapi aku tetap menjadikan itu sebagai informasi. Aku putuskan terbang ke Shanghai dari Jilin. Ketika itu musim semi. 

Dari bandara aku langsung menuju kampus di mana wanita itu mengajar. Dari staf manajemen kampus, aku  diminta untuk menanti karena wanita itu akan segera datang menemuiku di ruang tunggu. Tapi setelah lebih satu jam menanti, aku malah dapat memo dari wanita itu. “Beri tahu di mana kamu menginap, nanti seusai jam kerja saya usahakan datang ke hotel kamu“. 
Aku memberikan catatan di belakang memo itu, nama hotelku. Dan setelah itu berlalu. Padahal aku belum check in hotel. Namun aku bersegera check in dan menanti kedatangannya. 

Telpon selularku bergetar. Tidak ada nama penelponnya. Tapi segera kuangkat. 
“Saya sudah di lobby“, terdengar suaranya di seberang. 
“Segera saya ke bawah”
“Tidak perlu. Biar saya ke kamar kamu. Boleh?” 
“Tentu“. Aku menyebut nomor kamarku. 

Beberapa menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kamarku. Ia tersenyum, namun keadaanya tidak seglamor dulu ketika masih menjadi Pejabat Otoritas Moneter. Ketika aku hendak menyalaminya, dia merangkulku. Cukup lama. “Long time no see“,  katanya. 
“Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?”, katanya ketika aku persilahkan dia duduk di ruang tamu di kamar penthouse-ku. 
“Dari pengurus panti.”
“Sudah kuduga. Karena hanya mereka yang tahu.”
 “Mengapa kamu pindah kerja?” 
“Di China sudah biasa. Sebelum pejabat dirotasi ke bagian lain, pejabat tersebut harus kembali ke kampus jadi dosen untuk memberikan pengalaman dan ilmunya selama jadi pejabat. Ya semacam refresh. “ 
“Oh, begitu.”
“Ya.”
“Mengapa?” 
“Kami semua yang jadi pejabat adalah yang ikut program beasiswa negara. Dan kami terus berkembang berkat investasi pemerintah dalam mendidik kami. Kelak generasi setelah kami juga akan mengikuti ritme yang sama, yang kini kami lakukan“. 

Setelah itu, aku terdiam. Entah mengapa aku tidak berani menatapnya. Semakin aku pandang dia, semakin ada rasa bersalah. Selang beberapa lama suasana kikuk itu mencair. Karena dia bisa menangkap pikiranku. 
“Setelah kembali dari Jilin, aku segera menghubungi staffku untuk mencari tahu tentang kamu. Malam hari staffku membawa berkas tentang kasus kamu. Semalaman aku pelajari semua berkas itu. Pagi hari aku hubungi kontakku di Eropa. Dari mereka aku dapat informasi bahwa sumber dana kamu clean
Transaksi SWAP melalui bank di Dubai atas Islamic Bond yang kamu terbitkan memang limited offering dan tidak memerlukan izin dari otoritas. Reputasi kamu di financial market pun tidak ada catatan blacklist. Makanya keesokan paginya langsung aku membuat keputusan agar transaksi cross border kamu dikeluarkan dari list suspect”, katanya dengan tenang dan lancar sekali menjelaskannya, menunjukkan dia orang yang rasional dan profesional. 
“Terimakasih“, hanya itu yang bisa aku katakan sambil menarik nafas lega. 
“Nah, sekarang pertanyaanku”, katanya seraya menatap mataku dengan tajam. “Katakan dengan jujur apakah kamu telah mengenal aku sebelumnya?” 
“Ya”, kataku dengan suara lambat tanpa berani memandang wajahnya. Aku setengah tertunduk, persis seperti orang diadili.
“Jadi kebaikan demi kebaikan yang kamu lakukan terhadap aku, itu semua sudah direncanakan?” katanya dengan rilex.
“Ya.” 
“Juga emosi persahabatan yang kamu bangun juga sudah direncanakan?” 
“Ya.” 
“Lantas mengapa kamu terus mencari aku dan ingin bertemu dengan aku?” 
“Awalnya semua aku rencanakan dengan baik. Seperti artis melakonkan skenario.” 
“Dan kamu aktor yang baik menurutku”, katanya terkesan sinis. 
“Ya. Tapi malam terakhir di Jilin keadaan berubah. Aku ingin berterus terang kepada kamu tentang semua yang aku lakukan. Tapi logikaku mengatakan akan lebih baik aku tidak perlu ceritakan niatku mendekati kamu. Apapun yang terjadi, aku tetap ingin bersahabat dengan kamu. Aku juga tidak berharap lagi kamu menggunakan jabatanmu membantuku. Tidak. Aku hanya berserah diri kepada Tuhan agar kebenaran yang selama ini aku perjuangkan tidak sia-sia. Tapi……” 
“Apa?” 
“Rasa bersalah aku karena menggunakan cara berbohong untuk menarik empati kamu, itulah yang menjadi beban batinku. Ini kesalahan yang tak tertanggungkan. Sulit untuk aku lupakan“. 
“Mengapa begitu besar rasa bersalah kamu?” 
“Kamu orang baik. Baik sekali. Sebagai abdi negara, kamu sangat tinggi moralnya.  Sebagai pribadi, kamu punya spiritual yang tinggi dengan dekat kepada anak yatim, bahkan sebagian besar penghasilan kamu dikorbankan untuk anak yatim. Sementara kamu hidup dalam kesendirian di tengah kompetisi dan individualisme. Sementara aku, hanya berpikir soal uang dan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk berbohong”,  jelasku dengan mata tertunduk di hadapannya. Aku tak sanggup lagi bicara. Aku rasa sudah cukup aku bicara. Rasa bersalah itu sudah mulai berkurang. Soal dia maafkan atau tidak, aku sudah pasrah. Kepada Tuhan aku mohon ampun. 

Keadaan hening. 

“Jaka...”,  terdengar dia memanggilku. 
Aku mendongak ke arahnya. 
“Boleh saya panggil nama kecil kamu?  Itu pun kalau kamu tidak berbohong soal nama kecil kamu. Karena berbeda dengan nama di paspor”, katanya dengan wajah berhias senyum. Tak nampak dia sinis. Di hadapanku, dia seperti seorang ibu yang baru saja mendengar anaknya mengeluh atas hidup yang tidak ramah. 
“Bo.. bo.. boleh”, kataku tergagap. “Itu memang nama kecilku. Itu panggilan sayang ibuku“. 
“Aku berharap suatu saat kamu ajak aku makan malam. Tapi oleh seorang Jaka. Aku ingin berteman dengan Jaka, putra dari ibunya, yang tanpa setelan Armany, tidak menginap di penthouse, tidak punya limusin, tidak punya private jet. Dan Jaka hanya tahu aku hanyalah seorang Lily, yang yatim, dan tidak secantik artis Hong Kong. Jadilah sahabatku apa adanya diriku, bukan karena jabatan atau profesiku”. 
Aku terpesona dengan kata-kata sederhananya. Apakah itu sebagai tanda dia sudah memaafkanku dan memaklumiku? Lagi, aku merasa kecil di hadapannya. 
“Aku harus pulang“, katanya hendak mengakhiri pertemuan itu. Aku berdiri mengikuti langkahnya. 
Aku mengantarnya sampai ke lift.
“Apakah aku masih bisa bertemu kamu, Lily?” 
“Lain kali datanglah sebagai seorang Jaka, dan jangan lupa undang aku makan malam“, katanya. Pintu lift tertutup. 
Sikap rendah hati memang mampu menghancurkan tembok tebal kesombongan dan melunakkan hati sekeras baja, membersihkan kebohongan dan kemunafikan untuk orang kembali ke jalan Tuhan. Demikianlah tentang Lily. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.