Senja di Macao. Di sebuah Bar mendapati wanita yang serasa pernah kukenal: Marinar.
“Mari, bagaimana kamu berada di sini?” tanyaku takjub.
“Aku tahu kamu akan datang, cepat atau lambat,” kata Mari. “kita pasti bertemu” Kata Mari tersenyum.
Mari masih seperti dulu. Walau tidak muda lagi namun dari penampilannya dia masih belum dikatakan menua. Dia mengenakan blouse putih lengan pendek, memperlihatkan putih kulit lengannya. Celana jins membalut pinggangnya. Kuku-kuku jarinya ber-cutex merah. Mari sedang membereskan meja bar, menaruh gelas-gelas yang diangkatnya dari tempat pencucian di bibir pantry dalam posisi terbalik.
“How’s life…” tanyanya.
Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa.
Kembali Mari tersenyum. Ia menuju alat pemutar lagu. Kuku-kuku jarinya yang juga ber-cutex merah menyala memencet tombol alat pemutar yang kelihatan sangat kuno modelnya. “Adanya ini…” katanya demi melihatku memerhatikan alat pemutar lagu tadi. “Aku tahu kamu menyukai ini…” lanjutnya. Mengalun lagu lembut berjudul You alway on my mind
Dari dulu terus terang aku memujanya…
“Problemnya pasti irama ya, iya kan?” ucap Mari seperti hendak menebak, mengapa aku tak menjawab pertanyaannya. “Kamu menyebut, semua adalah soal irama. Irama kamu sebenarnya di sini.”
“Bersamamu,” tukasku.
“Kamu masih suka merayu.”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, kamu terlalu naif.”
Kali ini aku tersenyum. Mari selalu benar.
***
Aku memang memuja Mari. Dia memang cantik. Tetapi bukan itu yang membuat aku memujanya. Dialah yang berani mengkritikku dan kadang marah padaku secara apadanya. Itu sebabnya kedekatan kami tahun 90an hanya sekedar cara dia memperlihatkan kepadaku bahwa dia lebih cerdas dalam menentukan pilihan, bersuamikan pejabat. “ Pengusaha itu second class. Terlalu tinggi angan angan. Siapa yang bisa kaya di era Soeharto, hanya para budaknya. Pejabat lebih terhormat karena dia bersama Seoharto jadi penguasa diantara para budak kaum pengusaha."
“Siapa dia?” tanya Mari melirik wanita di sebelahku.
“ Dia sekretarisku. “
“ Sepertinya orang China?
" Bukan, tapi Korea. "
" Apa dia harus selalu ada bersama kamu, termasuk di Bar ini ?
" Bukan, tapi Korea. "
" Apa dia harus selalu ada bersama kamu, termasuk di Bar ini ?
“ Aku…”aku tergagap. Mari tahu kelemahanku. “ Kamu tahu aku sangat tergantung dengan staf kalau sedang di luar negeri. Aku kan disleksia. Banyak lupa nama tempat. “
“ Ya tahu. Kadang kamu seperti Balita. Semua hal tergantung wanita di samping kamu. Untung istri kamu wanita yang tabah. Tabah bersuamikan disleksia “
Aku ingat percakapan di masa awal perkenalan. Aku hanyalah pengusaha pemula yang sedang merintis jadi elang perkasa. Walau aku bisa mengajak Mari ke Baritoroom Hotel Indonesia makan malam sambil mendengarkan lantunan lagu “ bengan solo”. itu puluhan tahun lalu. Namun Mari tetap tidak pernah memberikan kesempatanku menciumnya. Tetapi sejak dia jadi istri simpanan jenderal. Dia sudah tidak mungkin aku kencani namun aku tetap memujanya.
Lalu, suatu saat aku ingat. Mari datang ke Barito Room HI. Dia datang sendirian. Aku bersegera mendekatinya mengajaknya gabung di tableku. Dia tetap seperti sebelumnya. Acuh dan sangat yakin dengan dirinya. Aku mengantarnya pulang. Tetapi dia menolak. Setelah aku paksa, diapun menyerah.
“Aku sudah tidak lagi tinggal di Menteng. “ Katanya mengalihkan pandangan ketempat lain. Kutatap dari samping. Mari nampak sangat bersedih. Tetapi itu cepat berlalu sebelum aku bicara Mari sudah membuka pintu kendaraan. “ Aku berhenti di sini saja. Di lampu merah.” Dia melambaikan tangannya dengan sedikit senyum.
***
“ Sebentar lagi Bar ini akan ramai. Kamu datang terlalu awal” kata Mari.
“ Aku hanya ingin makan Menu Indonesia. Sekretarisku ajak aku kemari. Katanya disini ada menu Indonesia.”
“ Gado gado ya.” Katanya. Aku menganguk. Mari menemani aku duduk. Sekretarisku punya alasan kuat untuk membiarkan aku berdua saja. Dia pergi keluar untuk keperluan tertentu.
“ Usiaku sudah hampir 50. Usia kita engga beda jauh. Aku tidak bisa lagi hidup terperangkap dengan kercerdasan seperti masa mudaku dulu. Kini inilah aku. Jadi TKW bekerja di Bar.”
“ Udah berapa lama?
“ Udah hampir 10 tahun. “
“ Anak kamu ?
“ Aku tidak pernah menikah dalam arti sesungguhanya. “
“ Sesungguhnya ?
“ Ya punya keluarga. “
Mari terdiam seperti menanti aku merespon. “ Tolong ceritakan tentang kamu. Aku ingin sekali tahu. Bagaimana dengan Yuni?” katanya. Aku tahu dia masih mengingat sahabatku yang tahun 2004 pernah bertemu dengannya di Singapore.
Aku ingat tahun 2004 aku pernah bertemu dengan Mari di Singapore. Aku tidak tanya, ada apa dia ke Singapore. Namun aku membujuknya ikut bersamaku makan malam dengan relasiku. Bersamaku ada sahabatku yang sedang menjajaki pembiayaan untuk perluasan bisnis Industri perikanannya. Sahabatku ini wanita berusia sama dengan Mari. Namanya Yuni. Dalam makan malam itu terjadi pembicaraan santai. Relasiku adalah seorang analis yang bekerja di perbankan. Dia S2 dari harvard. Sahabatku bercerita bahwa dia mengelola 5 unit bisnis yang terdiri dari Industri perikanan dan alas kaki.
“ Anda lulusan universitas mana ?Tanya relasiku kepada sahabatku.
“ Saya hanya tamatan SMU dan tidak pernah masuk perguruan Tinggi. “
“ Lantas bagaimana anda bisa menguasai begitu banyak pengetahuan dari industri yang berbeda. “
“ Ya sederhana saja. Ketika ada peluang, saya belajar tentang peluang itu. Bagaimana memproduksinya, mengelolanya, memasarkannya dan mendapatkan modal “
“ Darimana anda belajar ?
“ Ya dari berbagai sumber. Yang paling murah dan mudah ya baca buku. Yang lebih nyaman lagi berdiskusi dan bergaul dengan orang orang sepintar anda. Dari merekalah saya mendapatkan pengetahuan dan menjadikan peluang menghasilkan ide dan uang.”
“ Apa kuncinya kamu bisa berkembang dengan pendidikan tidak tinggi?
“ Passion. “ Jawab sahabat saya singkat.
“ Bisa jelaskan”
“ Gampang. Jalani hidup seperti permainan. Kita masih ingat bagaimana kita memperlakukan permainan pada masa bocah. Kita melakukan semuanya dengan senang, tanpa beban. Tiap detik harus fun abis! karena dalam kondisi fun, otak menghasilkan neurontransmitter yang disebut endorfin. Mirip morfin yang bisa menghilangkan rasa sakit dan menawarkan perasaan nyaman dan tenang. Dalam keadaan seperti itu maka ide-ide keren akan berebut bermunculan, dan rasa takut terhalau. Peluang pun menghasilkan uang”
“ Ya benar kamu. Dengan cara hidup seperti itu, kamu tidak dibebani keharusan jadi sarjana agar sukses. Tidak dibebani simbol intelektual agar dibilang orang pintar dan sukses. Tidak dibebani simbol spiritual agar dibilang orang suci. Setiap hari hidup jadi bebas, merdeka. Orang bebas lah yang bisa menciptakan sorga di dunia dan melakukan perubahan.” Kata relasiku. Saat itu aku melihat Mari menatapku dengan wajah tanya.
” ini kali pertama saya menyadari bahwa orang cerdas jauh lebih baik daripada orang pintar. Sahabat kamu tidak mengetahui banyak tetapi dia bisa meng-aplikasikan pengetahuan itu di banyak bidang. Pengetahuan banyak kadang menjerat pribadi kita sehingga sulit berkembang. Kadang mematikan langkah kita. Karena begitu banyak pertimbangan dan akhirnya tidak pernah melangkah satu incipun. Merasa sudah berbuat banyak hal padahal hanya jalan di tempat.” Kata relasiku
“ Yuni dimana “ Katanya yang membuat lamunanku buyar.
“ Oh Yuni. Ada..ada di jakarta. “
“ Gimana usahanya ?
“ Masih tetap seperti dulu. Tetapi sekarang tentu berkembang lebih besar. Dia udah punya industri tableware, Agro industri, dan perhotelan.”
“ Aku tahu.” kata Mari menatap kosong ke arahku. “ Kini baru aku sadari. Bahwa aku salah menyikapi hidup. Yuni lebih cerdas dari aku. Terutama cerdas memilih sahabat dan tahu berbagi kepercayaan. “
Aku hanya diam. Aku sedih melihat kehidupan Mari. Dia menua sendirian. “ Andaikan dulu aku bisa sedikit menghargai kamu dan kita bisa bersahabat dengan terbuka. Mungkin aku bernasip sama dengan Yuni sekarang. Tetapi aku terlalu yakin dengan kehidupan too good to be true. Karena aku yakin mudah menaklukan pria dengan kecantikanku. Di saat usia menua, semua hilang begitu saja…” kata Mari. Dia berdiri dari tempat duduk dan melangkah ke arah table Bar. Karena ada tamu yang datang. Aku yakin Mari akan baik baik saja. Dia bisa menerima kenyataan hidupnya dan tetap tersenyum.
Bukan hanya Mari yang sendirian. Semua orang kini merasa sendirian. Kini, semua orang sibuk dengan gadget masing-masing dari handphone, sampai laptop yang pada setiap moment tetap menyertai mereka semua. Begitu masuk hotel, mereka langsung membuka laptop. Pada kegiatan di luar, entah di mobil atau di manapun, semua sibuk dengan perangkat teknologi informasi di tangan masing-masing. Pada masa sebelumnya, kebersamaan itu sangat indah. Kini, dengan peralatan makin canggih, kedua tangan mereka terpacak di situ, kepala menunduk, tak pernah melihat kiri-kanan. Orang makin kesepian dan asyik dengan hidup dalam fantasi masing masing. Kehidupan memang bergerak ke depan. Namun orang semakin kesepian. Smartphone memang alat komunikasi smart namun tidak cukup membuat orang smart dalam menjalani hidup.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.