Monday, May 11, 2020

Business Airline


“ Mengapa Garuda Indonesia merugi dan sekarang kesulitan membayar utang yang akan jatuh tempo? Tanya teman. 

“ Bukan hanya GIA , maskapai penerbangan lain juga sama.  Hampir semua perusahaan penerbangan tidak ada yang aman. Di Indonesia, Merpati sudah terpuruk. Indonesia Air sudah bangkrut. Dulu ada sempati Air juga bangkrut. Mandala sudah diambil alih melalui LBO oleh HT namun sekarang Adam air juga engga begitu sehat. Garuda masih berkubang dengan beban hutang dan masih merugi. Lion juga engga begitu bagus labanya. Di luar negeri, hampir 100 perusahaan penerbangan mengalami kebangkrutan di AS. Dapat dikatakan hampir setiap tahun, satu atau lebih maskapai penerbangan di AS mengalami kebangkrutan. Di Malaysia, Malaysia Airlines, juga tidak henti-hentinya dalam dua puluh tahun terakhir berjuang melawan kerugian dan berbagai permasalahan. Demikian juga di kawasan lain, di Eropa misalnya. Hampir semua maskapai penerbangan besar di Eropa pernah atau masih mengalami masalah keuangan. Chatay Pacifik dan Singapore air line terpaksa merumahkan karyawannya karena laba yang merosot tajam.

“ Mengapa bisa begitu? 

“ Masalah dalam bisnis penerbangan itu adalah padat modal dan likuiditas yang sangat ketat. Karena hampir semua maskapai penerbangan mendapatkan pembiayaan pengadaan pesawat dari pinjaman bank. Mereka menggunakan berbagai skema termasuk memanfaatkan Shadow banking yang memeras likuiditas. Menurut the Economist, akumulasi keuntungan industri penerbangan dalam 60 tahun terakhir secara keseluruhan tidak jauh dari titik impas saja, dan profitabilitas ini bahkan merosot menuju insolvent. “

“ Lantas apa penyebabnya? 

“ Karena faktor kompetisi dan tekanan cash Flow yang besar akibat beban utang. Di samping itu orang banyak membutuhkan penerbangan di musim liburan. Sementara di luar liburan umumnya penerbangan bisnis. Maklum untuk tujuan bisnis orang lebih cepat dan nyaman menggunakan pesawat terbang daripada angkutan darat. Yang jadi masalah adalah konsumen dari kalangan bisnis ini sangat terbatas. Makanya perang tarif tidak bisa dihindari.” Kata saya.

“ Dan ketika musim liburan maskapai menerapkan tarif tinggi karena konsumennya banyak. Nah tentu tidak membuat nyaman bagi konsumen wisatawan. Berbeda dengan kalangan bisnis yang tidak memasalahkan soal ongkos naik. Mereka terbang karena kebutuhan. Jadi hukum bisnis berlaku. Wajar saja. “katanya

“ Namun tarif tinggi tetap tidak membantu banyak untuk menyehatkan bisnis penerbangan. Disamping faktor modal dari utang, di Indonesia perusahaan maskapai penebangan juga berhutang untuk pembelian bahan bakar. Makanya harga avtur jadi mahal. Itu sebab tidak banyak perusahaan yang mau jadi pemasok avtur. Kecuali yang besar dan punya modal besar seperti Pertamina. Kalau diturunkan harga avtur tentu Pertamina akan turun profitnya. Kecuali ada subsidi dari pemerintah. Kan kasihan APBN kalau harus subsidi lagi.” 

“ Tapi di china tidak ada perusahaan penerbangan yang rugi. Mengapa ?

“Karena tiap Pemda punya perusahaan penerbangan sendiri. Jumlah pesawat yang dimilik mereka tergantung dari potensi wisata dan bisnis yang ada. Pemda memberikan subsidi ketika musim wisata. Sementara bagi konsumen non bisnis dan non wisata pemerintah menyediakan angkutan darat yang modern seperti kereta cepat dan jalan tol. Akibatnya walau tarif pesawat mahal orang engga ribut. Karena ada sarana transfortasi alternatif yang bagus. Masalah dikita adalah pengen naik pesawat, maunya ongkos murah dan lewat tol juga maunya tarif murah. Ego konsumen yang rakus yang engga bisa bedakan kebutuhan dan keinginan. Lagi lagi yang di salahkan pemerintah. Engga rasional.”

“ Saat sekarang katanya pemeritah akan memberikan dana talangan investasi dan modal kerja kepada GA. Apakah layak ?

“ Tergantung dari sudut mana dilihat. Kalau dari sudut kepentingan nasional sebagai talangan menyelamatkan penerbangan nasional itu bisa saja. Namun harus pastikan betul bahwa kebutuhan dana itu berkaitan dengan Public service obligation. Tetapi kalau hanya bisnis, sebaiknya bantuan talangan ini diselesaikan secara bisnis. “

“ Gimana penyelesaian secara bisnis. Kan pemegang saham Garuda 30% swasta, dipegang oleh CT. Pemerintah hanya pegang 60%, sisanya publik. Kan enak banget CT kalau GIA dapat talangan dari pemeritah.  Jaga dong perasaan rakyat lain yang makan aja susah“

“ Ya aksi korporat itu harus dibicarakan dalam RUPS. Karena masalah GIA itu bukan hanya soal struktur permodalan dan modal  kerja tetapi juga ada masalah besar yaitu  refinancing utang dan restruktur bisnis.  Tanpa restruktur bisnis engga mungkin refinancing bisa dilakukan. Selalu investor inginkan adanya perubahan kinerja setelah refinancing dilakukan."

“ Gimana kalau CT engga mau ikut beri talangan. Kan stuck urusannya. Nasip GIA akan terancam gagal bayar atas Global Bond Sukuk nya”

“ Pasti ada solusi, CT kan pebisnis. Dia tahu resikonya kalau engga mau keluarkan dana talangan sesuai dengan porsi sahamnya. “

“Apa resikonya ?

“ Misal, bisa saja GIA mengeluarkan Bond berbasis Saham, seperti Preferred stock. Nah pemerintah bisa keluarkan PMN kepada Angkasa Pura untuk beli Bond itu. Atau kalau engga mau cash out, pemerintah bisa juga gunakan dana haji atau BPJS Tenaga kerja untuk beli obligasi itu dan pemerintah cukup dengan memberikan jaminan resiko atas Bond itu. Dengan demikian  kalau setelah restruktur dan refinancing selesai, diharapkan GIA bisa untung. Nah deviden akan lebih dulu diterima oleh bondholder daripada pemegang saham lain. Pemegang saham lain siap siap gigit jari. Kalau saham naik, ya bondholder bisa tukar bond itu jadi saham. Atau bisa juga pemerintah langsung tambah modal lewat right issue. Pemegang saham lain bisa delusi. Saya yakin CT harus mau ikut keluar uang talangan. Dia engga mau gigit jari atas restruktur GIA. 

“ Apakah mungkin untung setelah dapat talangan investasi “

“ Loh itu kan dalam rangka restrukturisasi. Kalau konsisten pasti untung. Pengalaman di AS. Maskapai seperti United Airlines, Delta, dan American Airlines, Malaysia Airlines, Chatay Pacifik dan Singapore airline tadinya juga berdarah darah. Namun mereka semua bisa bangkit lagi dan survive lewat restrukturisasi. “

“ Sebelumnya GIA terus gali utang tetapi tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Kenapa sebelumnya engga pernah terpikirkan untuk restrukturisasi.“

“ Engga tahu saya. Tapi sebelumnya memang ada restrukturisasi namun terbatas kepada utang, bukan business model. Ya timing nya sekarang GIA harus berubah.“

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.