Kalau anda pernah ke pabrik. Anda akan melihat proses produksi. Dari suasana itu anda akan melihat orang bekerja yang diatur by system melalui ban berjalan. Di setiap lini proses produksi itu ada mesin yang bekerja. Sehebat apapun mesin pada akhirnya yang menentukan produktifitas bukanlah mesinnya tetapi orang yang menjalankan mesin itu. Teman saya beli mesin dari China. Sesuai kontrak bahwa kapasitas mesin itu sebesar katakanlah 100.000 krat. Tapi nyatanya setelah mesin diinstal hanya mencapai produksi setengahnya. Dia protes kepada penjual mesin di China. Pihak china mendatangkan pekerja inti ke Pabrikan tersebut. Apa yang terjadi ? mesin mampu bekerja sesuai spec yaitu 100.000 krat perhari.
Perbedaan itulah yang disebut dengan know how. Jadi know how itu adalah pemahaman yang kita dapat atas suatu knowledge setelah melalui praktek. Mengapa? knowledge yang kita dapat dari sekolah, kuliah atau kursus tidak bisa setara dengan know how? Padahal untuk mendapatkan knowledge anda butuh bertahun tahun sekolah. Ya knowledge yang anda miliki hanya 40% untuk anda bisa memahami. Orang bayar anda kerja bukan karena knowledge tapi knowhow. Nah, kata kuncinya adalah praktek. Mengapa ? 80% tingkat pemahaman itu kita dapat dari praktek dan bisa mencapai 90% apabila kita mengajarkan orang bagaimana praktek. Saya menjelaskan soal ekonomi itu bukan knowledge lagi tapi know how. Makanya berbeda dengan akademisi.
Makanya kalau investasi di bidang Industri, yang rumit itu adalah transfer dari knowledge ke know how. Ini berhubungan langsung dengan produktifitas. Sehebat apapun mesin, tidak akan bisa menghasilkan output sesuai spec kalau SDM nya tidak menguasai know how. Bayangkan tanur Blast Furnace untuk mengeringkan lump cutter 1200 ton perhari pada smelter nikel, kalau operator mesin tidak punya know how, target output tidak tercapai dan ini berdampak kepada lini produksi lainnya yang juga melambat. Ujungnya kepada pemborosan investasi. Karena investasi tungku tidak sesuai dengan output. Tentu berdampak harga pokok tidak kompetitif.
Bagaimana tranfer knowledge ke know how ? biasanya calon pekerja lokal yang punya knowledge akan mendapatkan pelajaran dasar proses produksi dan aspek teknis mesin. Itu hanya 10% saja. Selebihnya mereka hanya meliat langsung tenaga akhli asing ( expat ) bekerja. Dari melihat ini mereka bisa memahami mengapa begitu dan mengapa begini. Kemudian mereka diarahkan untuk praktek di bawah pengawasan tenaga ahli asing yang ada. Proses ini bisa tiga bulan, bisa setahun atau lebih. Tergantung tingkat kerumitan dari tekhnologi mesin.
Awalnya industri China itu masih tradisional. Tetapi sejak Deng membuka diri, arus investasi asing masuk. Orang China cepat sekali melakukan transformasi dari knowledge ke know how. Mereka mendapat trasfer know how tekhnologi alat berat dari Jerman. Electronika dari Jepang dan Korea, Pertambangan dari israel dan otomotif dari AS. Tadinya AS juga belajar dari Inggris mendapatkan know how industri. Semua negara berproses seperti itu dan kehadiran tenaga kerja asing adalah keniscayaan kalau kita mau bergerak maju. Walau kadang tenaga ahli itu tidak S3 namun know how mereka itulah yang mahal.
Mereka sangat menguasai pekerjaannya.Artinya 1 orang China sama dengan 2 orang Indonesia. Bahkan di bidang kontruksi 1 orang china sama dengan 5 orang buruh Indonesia. Teman saya berusaha mendidik karyawannya untuk bekerja sesuai dengan etos kerja dari China namun tidak mudah.Karena budaya kita masih sulit menganggap bekerja itu bagian dari perjuangan akan masa depannya. Buruh Indonesia masih menganggap kerja sebagai cara mendapatkan makan , bukan tanggung jawab kepada perusahaan. Bahwa bila perusahaan untung maka mereka punya masa depan lebih baik.
Bukan hanya di level pekerja produksi, di Management juga sama. Saya pernah rapat dengan vendor turbine di Shanghai. Kami rapat menentukan cara pembayaran, spec turbin yang harus disepakati termasuk pekerjaan install, setting dan after sales service dll.. Selesai rapat itu jam 11.30 malam, mereka sepakat untuk delivery contract secepatnya. Saya bersama team merasa sangat lelah sekali untuk segera kembali ke Hotel. Saya bayangkan bahwa kontrak akan disiapkan paling cepat 2 minggu. Karena begitu biasanya terjadi di Jepang dan Eropa. Tetapi tahukah anda bahwa besok pagi kami udah ditelp bahwa draft kontrak udah selesai. Ketika kami datang kekantor mereka, wajah mereka yang kemarin rapat nampak lelah dan mata mereka merah. Itu artinya mereka tidak tidur.
Kemajuan China sekarang karena didukung oleh Etos kerja yang luar biasa dari para pekerja. Pernah sehabis makam malam dengan relasi saya di Guangzhou, relasi ini tidak langsung pulang tetapi kembali kerja untuk membuat proposal business yang akan diajukannya keesokannya. Dan ketika besok ketemu dia masih nampak fresh. Berkali kali proposal harus diperbaiki namun itu bisa disiapkan dalam hitungan jam. Padahal setiap perbaikan proposal itu berkaitan dengan hak dan kewajiban. Mereka bukan hanya pekerja keras tetapi juga menguasai persoalan dan tahu lapangan bisnis yang dia kerjakan. Jadi mereka sangat flexible dan kuat terhadap segala perubahan.
Sebuah survei yang digelar harian pemerintah China, Global Times. Survei ini dilakukan dengan mewawancarai 1.000 responden berusia 20-60 tahun dari tujuh kota besar China, yaitu Beijing, Shanghai, Guangzhou, Chengdu, Xi'an, Changsa, dan Shenyang. Sebagian besar responden adalah karyawan menengah. Para responden mengaku mereka sangat lelah dan tertekan karena pekerjaan mereka. Namun, mereka juga merasa cemas saat tak mendapatkan tekanan apa pun. Apalagi, biaya hidup di kota-kota besar China terbilang tinggi. Dibutuhkan biaya sekitar Rp 14 juta sebulan untuk hidup minimal di kota-kota utama, seperti Beijing dan Shanghai. Sementara untuk kota-kota kelas dua, seperti Dalian dan Chengdu, biaya yang dibutuhkan untuk hidup sebulan sekitar Rp 8 juta.
Dampaknya hidup yang berkompetisi membuat mereka sangat berharap ada lembur agar bisa lebih besar dapatkan income. Bagi mereka lebih baik bekerja keras sekarang daripada besok berusaha keras dapatkan pekerjaan karena nganggur dan penghasilan minim. Dampaknya karyawan dengan jam kerja berlebihan menjadi masalah serius di China. Harian resmi Liga Pemuda Komunis China, China Youth Daily, melaporkan, setiap tahun hampir 600.000 warga China meninggal dunia karena "kelelahan bekerja". Menurut hasil penelitian, penyebab utama karyawan yang meninggal dunia adalah serangan jantung dan stroke yang diakibatkan stress karena tekanan kerja.
Di China orientasi negara dan pemerintah adalah kepada produktifitas dan kompetisi. Siapapun berhak hidup makmur asalkan mau kerja keras dan produktif. Apakah rakyat bahagia dengan kondisi tersebut ? pemerintah china tidak peduli soal rakyat bahagia atau tidak. Ini soal pilihan. Semua orang bersaing dan tidak mau bersaing, ya itu masalah anda. Pemerintah tidak ada waktu melayani keluhan rakyat yang gagal bersaing, walau karena itu korban harus berjatuhan…Hidup memang tidak ramah namun dari ketidak ramahan itulah manusia tumbuh dan berkembang lebih baik dari waktu ke waktu…
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.