“ Kamu masih ingat suatu hari kerbersamaan kita. Musim panas terakhir tahun 2007. Dari jendela apartemen, puncak-puncak gedung dan langit bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-hari sebelumnya karena baru kali itu perhatianmu benar-benar tercurah pada pemandangan di luar sana. Ketika itu aku tahu kamu sedang galau memikirkan resiko transaksi yang kita hadapi. Tiga hari setelah Henry keluar dari transaksi dan juga melepaskan kemitraan denganmu, aku menemuinya di Sungai Spree. Dia menceraikanku begitu saja. Alasannya aku tidak ingin membatunya menghabisi kamu. Ternyata benar katamu, pernikahanku dengan Henry hanyalah pernikahan kapitalis. “kata Rachel ketika kami bertemu lagi di Singapore tahun 2014.
“ Ceritakan, apa yang kamu lakukan sekarang? tanya Rachel. Saya hanya tersenyum. Saya yakin dia tidak serius bertanya. Karena dia sudah jadi pegiat filantropi. Aku masih ingat waktu tahun 2008, dia memutuskan keluar dari pemegang saham SPC di Bern, Swiss. “ Jangan anggap kalau aku keluar dari pemegang saham, persahabatan kita juga hilang. Tidak begitu. “ Katanya.
“ Aku tidak berpikir sejauh itu. Aku bisa terima. Itu hak kamu. Aku hanya ingin tahu apa rencana kamu setelah ini ?
“ Aku mau mewakafkan hidupku untuk kemanusiaan. “
“ Serius ! kataku.
Dia mengangguk. Kemudian portfolio yang dia miliki dia jual ke broker investor di Berlin. Dia dapat uang USD 250 juta. Sebulan setelah itu Wallstreet jatuh. Portfolio yang dia jual itu nilainya tinggal USD 5 juta. Dia menentukan pilihan tepat dan pada moment yang tepat. Setidaknya saya bisa katakan dia lucky.
“ Ayolah ceritakan! kata Rachel membuat aku terkejut dalam lamunan.
“ Mau cerita apa? Sekarang busines sedang lesu. Pasar menyempit’ Kata saya.
“ Ya Dulu Singapore adalah sorga belanja bagi orang kaya. Dan pusat keuangan di Asia. Tetapi sekarang lengang. “ Kata Rachel.
“ Sejak tahun 2013 terjadi perubahan yang sangat cepat sekali. Penjualan eceran drop mencapai titik terendah. Dampaknya menekan harga jual dan sewa property. Ekonomi regional ASEAN memang lagi lesu. Di tambah lagi Warga Singapura merupakan pembelanja paling tech savvy di Asia, dengan jumlah pembelanja online lebih banyak dibanding konsumen di Hong Kong dan Malaysia. “ Kata saya.
“ Perubahan pasar yang ada sekarang tidak terjadi dengan begitu saja tapi sudah berproses sejak tahun 80an. Belanja online bukanlah penyebab utama pasar menyusut tapi hanya perubahan cara orang belanja saja. Yang terjadi sesungguhnya adalah market adjustment atau terjadinya proses permintaan dan penawaran menuju titik keseimbangan baru. “
“ Hmm kamu berteori. OK, Mengapa ? kata saya mengerutkan kening.
“ Sejak tahun 80an telah terjadi penambahan kapasitas produksi yang tiada henti. Pada akhir 1990-an angka-angka indikator tampak sangat mencolok. Industri komputer di AS meningkat 40% per tahun, jauh di atas proyeksi demand tahunannya. Sektor eceran juga mengalami hal yang sama. Raksasa-raksasa eceran seperti K-Mart dan Wal-Mart mengalami kekurangan tempat untuk barang-barang mereka. Ketika produksi tidak lagi bisa diserap pasar, orang bukannya menghentikan investasi tapi terus memacu produksi. Terjadilah suatu fenomena, ‘kelebihan pasokan’ hampir di semua hal.
Tahun 90an terjadi deregulasi pasar finansial besar-besaran, lengkap dengan dihilangkannya batas-batas perpindahan kapital antar negara dan antar sektor usaha. Salah satu contohnya adalah dihapuskannya peraturan Glass-Steagal AS yang melarang lembaga keuangan terlibat langsung dalam kegiatan perbankan investasi dan perbankan komersial. Dampaknya terjadi kreatifitas produk investasi. Pada tahun 1980-an dan 1990-an muncullah bentuk-bentuk instrumen finansial yang lebih canggih, seperti futures, swap, dan option-derivatives. itu semua demi mendorong pasar uang berperan membiayai produksi yang terus melimpah dan pasar semakin sesak oleh barang. Juga mendorong orang berbelanja dengan kredit konsumsi yang longgar. Proses ini tidak ada yang menghentikan. Bahkan Pemerintah sengaja membiarkan dengan alasan neoliberal. Akibatnya kegiatan bisnis bukan lagi atas dasar rasional tapi emosional karena sifat rakus.
Pada akhirnya, ekonomi ilusi ada batasnya. Alam nyata menunjukkan kegagahannya dan mengintervensi dunia usaha pada tahun 1998 terjadi gelombang krisis di ASIA. Indonesia terkena dampak parah. Tahun 2000 mengakibatkan koreksi dan hilangnya kekayaan investor sebesar 4,6 trilyun dollar AS di Wall Street. Jumlah ini, menurut Business Week adalah separuh dari Produk Domestik bruto AS, dan 4 kali jumlah kehilangan pada crash tahun 1987. Dengan diperparah oleh wabah dot.com, maka ekonomi AS mengalami resesi akut pada tahun 2001. “ Kata Rachel dengan wajah yang terkesan relax. Saya memang tahu dia sangat menguasai soal market analisa.
“ Ya benar kamu. Tahun 2008 kembali terjadi goncangan moneter dengan jatuhnya Lehman brothers yang menyeret terjadinya krisis financial di AS. Dua tahun kemudian atau tahun 2010 dunia memasuk krisis global dengan ditandai banyak negara yang tergabung dalam Uni Eropa mengalami kesulitan membayar hutang. Jepang masuk dalam putaran spiral krisis, karena terjadinya deplasi. Korea, Taiwan sebagai satelit AS juga tumbang. Krisis berlanjut dengan melambungnya harga pangan yang berdampak terjadinya gelombang demokratisasi di Timur Tengah. Bukan hanya sistem kapitalis yang terpuruk, negara yang menerapkan sosialis juga oleng seperti kasus hancurnya mata uang Venezueala dan penutupan ribuan pabrik di China.”kata saya.
“ Nah pertanyaan dulu selalu diabaikan, Apakah pertumbuhan ekonomi dan investasi karena laba yang terus meningkat ? dan kini terjawab oleh fakta. 500 perusahaan fortune global termasuk konglomerat Indonesia , mereka tidak kaya dari laba tapi karena seni berhutang baik melalui perbankan mapun pasar uang. Penjualan rumah dan apartemen meningkat bukan karena orang berlebih uang tapi karena hutang. 90% barang konsumsi rumah tangga dibiayai oleh hutang. Peningkatan kapasitas industri dan ekonomi di CHina, Korea, Taiwan, Eropa , AS bukan karena akumulasi laba real tapi karena kegiatan berhutang.
Jadi selama ini negara maupun korporate memang menciptakan pertumbuhan ekonomi palsu atau fake. Hasilnya ya paradox dalam bentuk economic bubble. Ketika krisis, semua kepalsuan tersingkap, bahwa yang katanya kaya dan hebat itu ternyata memang hampa. “ kata Rachel. Saya tersenyum. Mungkin keputusannya tahun 2008 keluar dari business hedge fund besama saya, karena dia sudah tahu masa depan itu tidak sebaik cerita analis wallstreet.
“ Tapi apa yang menarik dari krisis global sekarang ini adalah tidak adalagi ruang solusi yang too good to be true. “ Kata Rachel. “ Harus menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi sekian decade belakangan ini memang over capacity, dan itu dipicu oleh longgarnya pasar uang. Tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan financial untuk mengatasinya, tapi lebih kepada perubahan mental. Saat sekarang yang terbaik bagi pelaku dunia usaha adalah bertindak realistis. Tidak usah berharap pasar akan meningkat tapi berusahalah menyesuaikan kapasitas produksi dan bisnis sesuai pasar yang ada. Disamping itu gaya hidup juga harus diubah untuk hidup sederhana. Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed.” Lanjutnya.
“ Aku sudah pensiun dua tahun lalu. “ Kata saya.
“ Aku sudah tahu dari Peter di Luxemburg. Tapi kamu masih memimpin komite investasi, ya kan. Tapi memang sekarang penampilan kamu sangat humble. Tapi tetap menggairkan bagiku. You are my man"
“ Ya tapi rencana tahun 2017 aku benar benar pensiun.” kata saya menegaskan."Menikmati kebersamaan dengan istri di rumah dan jaga cucu" Lanjut saya.
Ketika usai makan malam, saya mengantarnya kembali ke Hotel “ Boleh saya tanya. Apa sebenarnya membuat Henry menceraikan kamu. Apakah hanya karena kamu menolak berkhianat denganku sebagai mitra" Kata saya.
“ Dia tidak percaya kalau kamu tidak pernah menyentuhku. Dia paranoid. Pria lemah cenderung paranoid. “ kata Rachel.
" Jadi bukan karena alasan business "kata saya.
" Ah sudahlah...jangan lagi bahas dia. " kata Rachel merengut dan mencubit lenganku.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.