Mungkin anda tahu kasus TPPI yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 37 triliun. Itu kasus era SBY. Namun di era Jokowi dana negara bisa diselamatkan sebesar Rp.32 triliun. Mengapa ? Atas dasar UU Pencucian uang, Polri berhasil melakukan gerakan cepat memblokir rekening bank para pihak yang terlibat. Polri menyita Rp 32 triliun dari beberapa rekening tersangka yang diblokir. Selain itu, ada pula rekening lain yang mendapat keuntungan sekitar Rp 140 miliar. Termasuk menyita kilang minya di Tuban senilai Rp 600 miliar. Begitu juga kasus Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp. 13,5 Triliun. Pihak kejaksaan dapat bergerak cepat dengan menyita asset tersangka mencapai Rp. 16 triliun. Itupun menggunakan operasi aksi anti pencucian uang.
Menurut PBB, pencucian uang dari hasil tindak kejahatan itu mencapai USD 800 miliar sampai dengan USD 2 triliun per tahun. Jadi memang raksasa sekali nilainya, yang 2 kali PDB negara kita dan 4 kali dari PDB Arab Saudi. Dana sebanyak itu ditempatkan dalam berbagai portfolio investasi. Dari rekening bank, reksadana, saham, deposito, sampai kepada property. Aksi pencucian uang inilah yang membuat ketimpangan perekonomian dan membuat likuiditas tidak lancar pada sektor real.
“ Dari mana uang money laundry itu. “ Tanya teman waktu kami diskusi dalam satu kesempatan.
“ Pasti berasal dari tindak kejahatan. Misal, uang suap, korupsi. Transaksi ilegal seperti penipuan MLM. Komisi haram dari jual beli izin konsesi bisnis berskala triliunan seperti illegal mining, illegal fishing, illegal lodging. Pengadaan barang pemerintah lewat skema in kind loan. Penggelapan pajak lewat skema transfer pricing. Uang lendir dari prostitusi dan narkoba. Dan masih banyak lagi. Jadi disebut pencucian uang karena para pelakunya berusaha menyembunyikan asal usul uang.”
“ Gimana caranya mereka menyembunyikan asal usul uang itu ?
“ Ya pertama, mereka berusaha menempatkan uang itu ke dalam sistem perbankan. Biasanya menggunakan proxy dalam transaksi jual beli barang atau saham perusahaan tertutup. Dengan begitu uang akan mengalir ke dalam rekening bank. Ini disebut dengan tekhnis placement. Kedua, setelah dana berada di bank , mereka akan masuk ke bursa membeli saham atau membeli reksadana atau beli emas atau beli property atau obligasi. Ini disebut dengan operasi layering. Ketiga, setelah uang berubah ujud jadi asset, maka asset itu dijadikan collateral utang ke bank atau lembaga keuangan untuk membiayai proyek yang dilegitimasi negara. Ini disebut dengan integration. Kalau sampai tahap integration sudah sulit untuk melacak asal usul uang. Namun masih tetap beresiko terlacak. Nah agar lebih aman, biasanya utang itu sengaja dibuat gagal bayar agar collateral disita oleh kreditur. Sehingga kalaupun terlacak, sudah sulit disita negara. Karena yang jadi korban adalah kreditur. Sementara debitur sudah pindahkan uangnya ke luar negeri melalui rekening SPC”
“ Tentu proses dari placement, layering, dan integration itu sangat rumit ya. Melibatkan pihak perbankan, lawyer, notaris dan akuntan. Agar semua nampak legal dan clean. “ Kata teman saya.
“ Benar sekali. Operasi pencucian uang itu bisa terlaksana karena moral dari petugas yang berada di garda terdepan lemah atau mudah dipengaruhi. Makanya ongkos proses penempatan dana sampai integrasi itu memang mahal sekali. Kadang 15% habis untuk biaya ini itu termasuk fee“
“ Apa tindakan pemerintah untuk mengantisipasi operasi pencucian uang ini ?
“ Sebetulnya sudah ada the Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes in the area of the automatic exchange of information. Dengan forum dunia ini memungkinkan negara yang ingin terlibat dalam panangkalan aksi pencucian uang dapat bergabung. Nah Indonesia, di era Jokowi, udah bergabung dalam forum ini. Jadi PPATK bisa menggunakan akses ke negara anggota untuk melacak keberadaan uang yang dicurigai berasal dari kejahatan”
“ Loh katanya Jokowi berjanji akan mencairkan dana Rp 11000 triliun dari uang orang indonesia yang ada di Swiss “
“ Ya benar. Itu sedang berproses. “
“ Kenapa sampai sekarang belum bisa cair ?
“ Kan Perjanjian Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance Treaty antara Indonesia dan SWISS baru ditandatangani bulan agustus 2019. Itu butuh waktu dan proses yang rumit. Karena posisi uang itu sudah terintegrasi. Maklum pembiaran terjadi sejak era Soeharto sampai ke SBY. Engga mudah sampai bisa ditarik kedalam negeri. Kita walau sudah ada UU Pencucian uang namun belum ada UU Pembuktian Terbalik. Jadi sangat sulit memaksa pelaku untuk menyerahkan diri. Apalagi upaya hukum kepada mereka yang dicurigai sangat sulit. Kan sebagian mereka juga adalah elite politik yang terhubung dengan Orba, dan mereka juga sangat dekat dengan ormas Islam.”
“ Jadi apa upaya Jokowi untuk menghadapi mereka yang dicurigai itu agar uang rakyat sebesar Rp. 11000 triliun itu bisa kembali ke negara ?
“ Saat sekarang melalui Mutual Legal Assistance Treaty, memungkinkan negara bisa blok uang yang dicurigai. Walau memang negara belum bisa ambil namun orang yang dicurigai itu jelas engga bisa pakai uang. Jadi sama dengan kodok hidup hidup di masukan kedala baskom berisi air sambil direbus. Walau kodok itu tahu cara keluar dari baskom namun dia tidak pernah bisa mencapai bibir baskom, dan sementara air semakin lama semakin panas. Hanya satu cara kodok bebas. Menyerahkan diri atau mati. Itulah kini yang terjadi pada mereka yang dicurigai pemilik dana haram.”
“Makanya mereka yang dicurigai itu secara tidak langsung berada dibalik pembenci Jokowi dan inginkan Jokowi jatuh sebelum tahun 2024. Karena mereka butuh dana untuk Pemilu 2024. Ternyata semua karena bisnis. Politik hanya kuda tunggangan saja”
“ No comment. “ kata saya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.