Kebutuhan listrik bagi masyarakat modern sudah sama dengan kebutuhan akan udara. Hanya bedanya menghirup udara gratis. Sementara listrik harus bayar. Konsumsi listrik nasional terus mengalami peningkatan. Pada 2015 konsumsinya baru 910 kilowat jam (kWh) per kapita. Kemudian meningkat menjadi 1.084 kWh/kapita pada 2019. Peningkatan ini sejalan dengan rasio elektrifikasi yang juga menunjukkan kenaikan. Rasionya dari 84,35% pada 2014 menjadi 98,89% pada 2019. Akses listrik di hampir menjangkau seluruh wilayah Indonesia pun telah mencapai lebih dari 95%, hanya Nusa Tenggara Timur yang masih 85% dan Maluku 92%. Lalu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua juga masih 94%.
Investasi Listrik di negara seperti Indonesia yang mengacu kepada UUD 45 engga mudah. Apalagi Indonesia adalah negara kepulauan dan banyak gunung dan lembah. Mungkin menyediakan pembangkit tidak begitu sulit. Yang rumit adalah menyediakan transmisi dari pembangkit ke rumah tangga. Kalau dihitung biaya transmisi dan biaya pembangkit listrik, dengan tarif yang ditentukan pemerintah. Pasti engga ada investor ya mau keluar uang. Makanya era Pak Harto Listrik itu menjadi barang langka. Bahkan di Era SBY masih sering kita mendengar lampu kota mati bergilir. Di era Jokowi, PLN di restrutktur. Pemerintah perluas skema PPP atau pembiayaan non anggaran (PINA) dan asset PLN di revaluasi. Tujuannya agar PLN sebagai perseroan bisa melaksanakan penugasan pemerintah membangun listrik nasional. Tadinya dalam skeme PPP, walau ada patokan harga tertinggi PLN US$11,82 sen per kWh dan terendah USDD 6,9 sen namun faktanya di lapangan PLN membeli di atas USD 6,9 sen sampai dengan harga USD 11,82 sen. Namun di era Jokowi, PLN hanya beli berdasarkan biaya pokok produksi (BPP) listrik. Di pangkas jadi USD 7,5 sen atau turun 30%. Itu sebabnya hanya di era Jokowi PLN tidak rugi
Sebagian besar utang PLN berupa obligasi valas. Tidak mungkin berharap penuh pada bank dalam negeri. Karena Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) perbankan domestik yang hanya berada di angka Rp140 triliun. Dampak negatif dari hutang valas ini adalah setiap penurunan kurs Rp1.000 per dolar AS, beban utang perusahaan bisa membengkak hingga Rp9 triliun. Bagi orang awam, terkesan utang PLN ini sangat mengkawatirkan. Karena hampir 100% pembiayaan berasal dari utang. Namun dari sisi financial justru disinilah kehebatan PLN yang bisa efektif me leverage assetnya untuk melakukan ekspansi.
“ Apa engga mengkawatirkan utang PLN itu ? Kata teman tadi waktu kami bertemu dalam business lunch.
“ Secara financial sih masih bagus. Karena Debt to equity rasio masih dikisaran 0,55-0,60 atau Rp. 60 utang sementara modal Rp. 100. “
“ Gila kamu, utang segede itu, dibilang aman. Tahun ini utang yang jatuh tempo.mencapai sekitar Rp 35 triliun. Belum lagi pengaruh pelemahan kurs rupiah “ kata teman sinis.
“ Ya mereka kan utang obligasi. Kan bisa di-reprofiling ke tahun depan. Selagi bunga dibayar, hak reprofiling memang ada bagi issuer obligasi. Dan lagi perubahan kurs juga di hedging. Jadi engga ada resiko”
“ Kamu engga baca berita. Menurut Moody's Investor Service, Rating BUMN dipangkas jadi negatif. Itu artinya sudah lampu merah utang BUMN. Kemampuan membayar semakin rendah.”
“ Kita bicara tentang PLN. Yang ratingnya jeblok itu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II). Karena covid 19 memang semua bisnis infrastruktur jatuh. Rating naik dan turun itu biasa. Itu indikator agar menagement melakukan langkah perbaikan. Dan lagi memang ada peluang untuk memperbaiki. Karena masalahnya bukan kepada solvabilitas tetapii karena likuiditas. "
“ OK lah. Gimana sih bisnis PLN itu, sampai begitu hebatnya narik utang, dan investor mau keluar duit. “
“ Sederhana saja. Mereka jual strum secara monopoli di Indonesia. Kebutuhan listrik dan makan, mungkin sama pentingnya. Ini bisnis aman. Harga jual mereka hitung berdasarkan hitungan bisnis. Cost plus margin."
“ Tetapi kan tarif yang tentukan pemerintah. Gimana bisa hitungan bisnis ?
“ Katakanlah harga jual secara bisnis Rp. 1000 per KWH. Nah kalau pemerintah tentukan tarif Rp. 800 per KWH, maka kekuranganya sebesar Rp 200 pemerintah yang bayar. “ kata saya.
“ Jadi PLN itu sudah dapat monopoli pasar, dapat pula jaminan resiko atas tarif yang ditentukan pemerintah. Jadi engga mungkin ada istilah rugi. Apalagi marketnya sangat kuat.” Kata teman.
“ Bukan itu saja. PLN atau investor yang invest di pembangkit lisrik juga dapat viability gap Fund dari pemerintah agar IRR nya aman sesuai dengan kelayakan business. “
“ Itu sebabnya investor tertarik beli obligasi PLN“
“ Bukan hanya beli obligasi. Investor juga berebut jadi mitra PLN menyediakan pembangkit listrik ( IPP). Mereka invest, PLN tinggal beli daya listrik saja, untuk kemudian dijual ke publik. Walau harga beli daya berdasarkan PPA atas dasar biaya pokok produksi (BPP) listrik seperti hitungan PLN, namun Itu juga sangat menguntungkan bagi investor.
“ Gimana peluang PLN untuk melakukan ekspansi kedepan?. “
“ Kalau diukur dari efektifitas menejemen PLN meleverage modal memang masih sangat rendah. Kalau saya jadi Jokowi, saya paksa management PLN genjot investasi agar leverage menjadi 3 kali. Apalagi setelah revaluasi aset, Modal PLN jadi Rp 900 triliun, harusnya bisa pinjam sampai Rp 2.000 triliun. Jangan baru pinjam Rp. 500 Triliun aja sudah stress. Kalau direksi bermental cemeng seperti, ya pecat aja. Ngapain digaji mahal cuma bisa leverage asset sebesar modal. "
“ Mengapa ?
“ PLN jangan hanya mengandalkan sepenuhnya pada pasar rumah tangga. PLN juga harus masuk ke kawasan industri. Bayangin aja. Kawasan indusri Smelter Nikel di Sulawesi terpaksa bangun sendiri pembangkit listrik. Padahal itu marketnya bagus. Bila perlu IPP itu take over semua. Jadikan portfolio PLN. Ngapain kasih untung swasta. Bukan rahasia umum proyek IPP itu penuh dengan permainan masa lalu. Bisnis rente. Dan lagi enga usah takut invest dan ambil resiko investasi listrik. Karena ini berhubungan erat dengan grand design menjadi negara industri. Syarat menjadi negara industri ya listrik harus tersedia melimpah. Kalau listrik tidak cukup, jangan berharap kita bisa eskalasi pertumbuhan industri. Bandingkan dengan Vietnam yang listriknya melimpah dan tarif listrik ke industri relatif lebih murah dari kita. Makanya investor industri cenderung milih vietnam daripada kita. Jadi PLN harus kreatif cari utang karena peluangnya masih sangat besar. Itu kalau kita mau menjadi negara industri."
“ Tapi kata pengamat, utang PLN sudah mengkawatirkan”
“ Pengamat itu bukan orang bisnis. Mereka penonton pinggir lapangan. Engga usah dengar mereka. Buang waktu.” Kata saya tersenyum. “ tetapi sebagai warning sih boleh saja. Seperti bini di rumah “ Sambung saya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.