Sejak era Soeharto kita dikenal sebagai negara penghasil minyak mentah. Namun sampai sekarang kita tidak punya Industri hulu dan hilir MIGAS secara terpadu. Kalaupun ada, hanya sepotong potong. Industry Petrokimia hilir adalah pengolahan produk setengah jadi dijadikan produk siap untuk dipakai dan digunakan. Contoh seperti nilon, plastik, karet sintesis dan zat peledak. Pada industry petrokimia hilir bahan yang siap pakai siap untuk di distribusikan ke distributor untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Industri Petrokimia hilir ini dipasok oleh Industry Petrokimia Hulu Industry petrokimia hulu akan mengolah bahan dasar yang digunakan menjadi produk setengah jadi ( produk antara) contohnya Methanol, Ethylena, Benzena, Butadiena dan Propilena.
Dari Industri hilir MIGAS itu saja, sebetulnya bisa melahirkan beragam Industri, seperti bahan plastik, itu bisa buat internal bodi kendaraan, alat dapur, tableware, kemasan dan lain. Karet sintetis juga bisa melahirkan industri hilir seperti alat kaki, bahan bangunan, sparepart kendaraan, alat ban berjalan pada mesin, dan lain sebagainya. Menurut data, sampai sekarang kita masih impor industri hilir petro kimia sebesar 1,5 juta ton. Sedih banget kan. Sedangkan industri pengolah minyak penghasil BBM, kita sedang berjuang untuk mandiri. Baru diera Jokowi itu diperjuangkan serius. Namun sampai sekarang kita masih impor BBM. Rencana tahun 2024 kita baru bisa mandiri.
Mengapa itu bisa terjadi ? karena para pemimpin kita dan kaum terpelajar tidak punya mimpi menjadi negara industri. Mereka terjebak dengan cara berpikir too good to be true. Merasa nyaman jual bahan baku dan beli barang jadi. Berbeda dengan China. Deng Xioping ketika masih hidup sangat yakin bahwa untuk membangun Industri hilir di masa depan, China harus menguasai bahan baku material hightech, yaitu logam tanah jarang (LTJ). Deng ketika berkunjung ke Mongolia , seraya menjuk ke hamparan lahan tanah warna merah, dia berkata “ Itulah masa depan China, yang akan memimpin peradaban baru Industri dunia.
Semua tahu bahwa LTJ sangat diperlukan sebagai alat penghantar arus listrik dan penyimpan listrik terbaik yang ada di planet bumi. Artinya, tidak ada satupun produk modern yang tidak terkait dengan energy dan listrik. Dan instrument yang terkait dengan arus listrik dan energy kemajuannya sangat ditentukan oleh keberadaan dari LTJ. Hape dari ukuran besar, menjadi kecil dan akhirnya bisa menyimpan data gigabite, itu berkat berkembangnya riset LTJ. Layar monitor menjadi layar sentuh yang berkecepatan tinggi, juga berkat LTJ. Sistem elektronik pesawat terbang, kendaraan, alat kontrol sistem mesin pabrik dan lain sebagainya butuh LTJ agar high tech bisa diterapkan. Termasuk semakin besarnya daya tampung listrik pada baterai dan lebih ringan, itu berkat LTJ. Drone tercipta berkat baterai lithium yang berasal dari LTJ.
Ketika itu Deng tidak tahu bagaimana caranya mengolah bahan tambang itu menjadi logam tanah jarang untuk material industri. Mengapa ? pengolahannya sangat rumit. Diperlukan alat separator material yang rumit. Karena material galian itu tidak langsung dalam bentuk LTJ. Ia bisa saja bercampur dengan material lain. Contoh di Indonesia, sebagian besar LTJ bercampur dengan material yang ada pada tambang nikel, tembaga, bouksit, almunium, dan timah. Tahun 1950-an dan 1960-an, AS punya Laboratorium Ames dan Pusat Informasi Rare-earth (RIC). Ini lembaga riset khusus tentang LTJ yang dibiayai pemerintah AS untuk mendukung industri hilir swasta yang membutuhkan bahan baku LTJ. Tetapi tidak dilakukan dengan serius. Tahun 2002 dihentikan oleh AS. Sementara Riset Cina sejak tahun 80an terus dipacu. Tahunn 1992 China sudah bisa produksi LTJ.
Apa yang terjadi ? Semua perusahaan industri yang terdaftar dalam 500 fortune pasti punya pabrik di China. Dari industri pesawat terbang seperti Boeing punya manufaktur nya di China. 90% produksi Iphone diproduksi di China. Semua produksi merek Samsung, LG Korea, diproduksi di China. GE raksasa bidang industri hight tech dan electro ada di China. Semua produk Jepang diproduksi di China. Kehadiran mereka di China sangat cepat sekali. Hanya 20 tahun mereka sudah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi China. Dari kehadiran mereka lahirlah jutaan supply chain yang merupakan perusahaan lokal dengan melibatkan ratusan juta angkatan kerja. Itu karena kebijakan China memaksa terjadinya hilirisasi dari adanya SDA , LTJ.
Tahun 2000an barulah negara lain mencoba mencari tambang yang mengandung LTJ. Karena China semakin monopolis terhadap LTJ. Eropa dan Jepang merasa happy karena mendapatkan supply bahan konsentrat nikel, timah, almunium, bouksit dari Indonesia. Itu mereka olah lewat alat separator untuk mendapaktan material ikutan berupa logam tanah jarang. Itupun masih kurang. Jepang, dan Austalia berusaha untuk membuka tambang baru. Tapi membuka tambang baru juga memakan waktu dan penuh risiko. Dari tiga belas konsesi tambang di Afrika, misalnya, hanya dua yang berproduksi, tiga telah gagal, dan delapan lainnya masih dalam tahap sangat awal. Jepang menemukan sumber daya mineral LTJ di dasar laut. Tetapi penambangannya akan sangat mahal dan beresiko. Di era Jokowi tidak boleh lagi bahan tambang di ekspor dalam bentuk ore atau konsentrat. Harus dalam bentuk hilirisasi. Jepang dan Eropa meradang kehilangan sumber bahan baku LTJ.
Niat dunia agar memindahkan industri supply chain ke negara lain, itu sangat sulit teralisir karena penguasaan China terhadap LTJ. Nah Indonesia adalah satu dari tiga negara penghasil LTJ terbesar di dunia, selain China dan Iran. Barulah di era Jokowi, ambisi menjadikan LTJ sebagai dasar untuk membangkitkan mimpi Indonesia sebagai negara industri. Tahun ini Pt. Inalum sudah bekerja sama dengan BATAN dan China melakukan riset LTJ. Rencana dalam waktu dekat akan mendirikan industri hulu memproduksi LTJ. Di Sulawesi China bersama konsorsium swasta sedang membangun smelter yang mengolah bahan galian nikel menjadi LTJ untuk bahan baku industri baterai. Kalau produksi baterai lithium ini sukses dibangun, maka dapat dipastkan industri yang butuh bahan lithium akan pindah ke Indonesia untuk membangun basis supply chain global.
Kita pernah diberi Tuhan sumber daya alam berupa migas melimpah. Tetapi karena negara dipimpin oleh Teh Botol ( tekhnorat Bodoh dan Tolol), SDA habis kita tidak punya industri hulu MIGAS yang hebat dan di hilir kita masih tergatung impor. Kaum terpelajar menanggung dosa besar atas keterpurukan industri di Indonesia. Kini dan besok itu jangan lagi terulang. Kedepan kita harus jadikan LTJ sebagai sumber daya membangun industri hilir. Ini memang mimpi besar, tetapi the dream will come true selagi kita mau kerja keras dan konsisten. Lupakan pengamat jadul yang BOTOL, karena mereka adalah produk masalalu yang terbukti gagal.