33 perusahaan China bidang tekstil dan karet lebih memilih merelokasi pabrik ke Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Thailand. Alasan mereka sama, yaitu soal buruh. Maklum industri tekstil dan karet adalah industri yang sudah masuk katagori sunset namun pada karya. Kalau tidak efisien, pasti kalah bersaing. Kunci suksesnya industri semacam ini adalah efisiensi dari segi output produksi. Contoh sederhana saja. Produk tekstil kita kalah bersaing dengan China. Padahal upah buruh China empat kali dari upah buruh di Indonesia. Itu penyebabnya karena produktifitas buruh China 10 kali dari buruh Indonesia. Kalaupun China relokasi ke Vietnam atau Malaysia atau Thailand, itu karena alasan yang sama, yaitu soal produktifitas.
Pada awal China membangun, upah buruh AS terkesan murah walau secara nominal sangat tinggi di bandingkan China. Karena produktifitas AS memang tinggi. Namun berjalannya waktu, produktifitas China naik berlipat mengalahkan produktifitas AS. Selanjutnya proses natural dan rasional terjadi. Banyak pabrik di AS yang tutup dan relokasi ke China. Ini bukan karena Pengusaha AS tidak peduli kepada nasionalisme. Tetapi lebih karena alasan bisnis. Kalau mereka tidak bisa bersaing dari segi efisinesi mereka akan bankrut dengan sendirinya. Tentu mereka bukan lagi sumber pendapatan pajak. Tetapi jika mereka relokasi ke CHina, toh mereka masih tetap menjadi sumber pendapatan pajak bagi AS.
Lantas apa penyebab produktifitas buruh di AS dan Eropa menurun sementara China terus meningkat? Penyebab utamanya adalah semakin kuatnya pengaruh serikat pekerja di lingkungan pabrik. Pengaruh ini bukan untuk meningkatkan produkitiftas tetapi sudah meganggu atmosfir menagement pabrik. Intrik antara serikat pekerja dan menagemen terjadi. Terkesan menekan pengusaha. Lebih dominan untuk memuaskan buruh daripada berpikir menemukan solusi bagaimana meningkatkan etos kerja para buruh. Suka tidak suka, harus diakui bahwa serikat pekerja dimanfaatkan oleh para politisi yang mengusung program populis. Contoh sederhana terjadi di Indonesia. Massive nya relokasi pabrik dari Jawa Barat dan Banten ke Jawa Tengah adalah dengan alasan yang sama.
Sejak beberapa tahun lalu Teman saya pengusaha Korea memindahkan pabriknya di Tangerang ke Semarang. Trend relokasi pabrik dari Jawa Barat ke Semarang memang sangat cepat sekali dari tahun ke tahun. Bahkan berita soal kenyamanan investasi di Jawa Tengah itu menjadi omongan di sela sela rapat bisnis di luar negeri. Sama seperti mereka membicarakan tentang kenyamanan investasi di Vietnam. Apa yang membuat nyaman para pabrikan? Buruhnya yang mau di didik dan cepat sekali mengikuti budaya perusahaan. Dan yang lebih penting lagi adalah walau ada serikat pekerja di lingkungan pabrik namun mereka tidak terlibat intrik dengan pengusaha. Mereka justru menjadi perekat antara buruh dan management. Sehingga atmosfir kerja jadi nyaman dan tentu berujung kepada produktifitas.
Kemarin saya chat dengan nitizen yang mempermasalahkan soal Omnibus Law yang katanya merugikan pekerja.
“ Babo, mengapa rezim Jokowi berpihak kepada pengusaha. ? Kata nitizen.
“ Saya tidak melihat soal keberpihakan pemerintah kepada pengusaha. Yang saya lihat adalah kebijakan rasional.”
“ Rasional gimana ?
“ Pertama soal UMR. Itu berdasarkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Dalam hal ini baik pengusaha atau buruh di tempatkan secara makro oleh negara. Pengusaha harus melihat perkembangan ekonomi wilayah. Kalau ekonomi naik ya apapun alasannya, UMR harus naik. Kalau keberatan dengan UMR ya silahkan pindah ke wilayah yang pertumbuhan ekonominya rendah. Artinya, kalau ekonomi tumbuh buruh juga harus makmur. Engga bisa hanya pengusaha saja.
“ Bagaimana dengan ketentuan soal pesangon ? mengapa tidak sesuai dengan UU perburuhan yang ada.?
“ UU perburuhan yang ada lebih banyak merugikan buruh soal pesangon. Kalau sengketa di pengadilan pekerja jarang menang. Karena pada akhirnya pengadilan pasti memenangkan pengusaha dengan alasan agar pabrik tetap jalan. Karena memang UU yang ada itu memberatkan pengusaha membayar. Nah dengan aturan omnibus law, masalah itu dibuat rasional. Yaitu memastikan pengusaha tidak keberatan membayar dan buruh pasti dapat haknya. “
“ Tetapi itu tidak adil, Babo “
“ Dalam bisnis, keadilan itu harus di tempatkan dalam persepsi bisnis. Engga ada yang gratis. Artinya kalau tidak mau di PHK, ya tingkatkan etos kerja. Tingkatkan produkitifitas. Hanya itu caranya kalau ingin dapatkan keadilan. Pengusaha kan engga bayar orang tetapi bayar kinerja. Artinya, kalau kinerja bagus, produktifitas meningkat, efisiensipun pasti terjadi. Pasti perusahaan bisa bersaing untuk meningkatkan penjualan. Kalau perusahaan untung. Ekonimi wilayah akan meningkat. UMR akan meningkat dengan sendirinya dan engga mungkin ada PHK. Gitu berpikirnya.”
“ Kenapa upah selalu dikaitkan dengan efisiensi. Kalau cara berpikir seperti itu kan memang kapitalis banget” Kata nitizen.
“ Pengusaha itu tidak ada masalah meningkatkan upah. Bahkan dua kali UMR pun mereka bersedia. Asalkan produktifitas meningkat 4 kali. Karena ukuran pabrikan adalah output atau cost per unit. Semakin tinggi output semakin rendah biaya per unit. Tentu semakin efisien pabrik dalam menghasilkan produk per unit. Jadi perhatikan dengan baik. Bukan UMR yang dipermasalahkan tetapi produktifitas. Itulah efisiensi sesungguhnya.”
“ Mengapa ?
“ Setiap pengusaha dalam membuat keputusan investasi yang utama dipikirkan setelah semua aspek bisnis dipertimbangkan adalah masalah buruh. Apakah buruh tersedia? Kalau tersedia, apakah budaya mereka bisa menerima kebijakan perusahaan tentang produktifitas. Pertanyaan berikutnya adalah apakah buruh tergantung kepada Serikat Pekerja? kata saya.
“ Masalah budaya tentu bisa diatasi dengan pendidikan dan pelatihan. Masalah skill juga sama.”
“ Tetapi budaya buruh yang berpolitik lewat geraka Serikat Pekerja, itu adalah momok yang menakutkan bagi pengusaha. Karena itu sama seperti pengerat yang secara lambat namun pasti merusak budaya perusahaan. Hanya masalah waktu, perusahaan akan kehilangan momentum meningkatkan produksi dan pasti tidak efisien. Kalau tidak efisen maka kalah dalam persaingan.”
“Artinya orientasinya laba ?
“ Lah memang laba, tetapi lewat kerja keras. Karena uang tidak didapat dari langit tetapi dari utang dan investor. Mereka udah kaya sebelum pabrik di bangun. Artinya kalau karena pabrik kekayaan mereka berkurang, ngapain mereka invest. Jadi pekerja juga harus punya mindset sebagai wirausaha. Pastikan etos kerja bagus agar dapat uang juga bagus. Jangan berharap dan menuntut gaji gede lewat demo. Itu useless. Perbaiki saja etos kerja, uang akan datang dengan sendirinya secara melimpah. Yakinlah. Mana ada pengusaha bego yang mau rugikan pekerja yang produktif. “ Kata saya.
“ Ya. Babo terimakasih. "
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.