Sebelum Pandemi COVID-19 ekonomi memang sudah sulit. Banyak teman saya cerita mereka sudah sulit untuk mencapai BEP. Akibat perang dagang AS-China. Kurs yang tidak stabil. Pada waktu bersamaan sejak tahun 2015 China sedang melakukan reformasi ekonomi secara mendasar. Dari industri padat karya ke industri HiTech dan berbasis AI dan IoT. Terjadi transformasi dari bisnis berorientasi eksport ke pasar domestik. Sehingga tadinya pasar China menjadi tumpuan bagi Indonesia namun berlahan lahan semaki sulit untuk bisa surplus perdagangan. China lebih focus kepada propaganda produksi dalam negeri bagi pasar domestik. Harga minyak yang terus turu. Semakin kecil sumbangan sektor migas dalam APBN. Sehingga ketergantungan kepada dunia usaha semakin besar.
Akhir tahun 2019 terjadi pandemi COVID-19 di China dan selanjutnya menjadi pandemi berskala global. Akibat kebijakan social distance terjadi penutupan pusat bisnis. Pabrik tutup. Pusat retail tutup. Orang diharuskan menghindar dari keramaian dan tinggal di rumah. Ekonomi praktis stuck. Seperti kendaraan yang sedang melajut harus berhenti seketika. Recovery economy akibat krisis itu tidak sulit. Tetapi ekonomi yang stuck. Itu benar benar prahara. Untuk membangkitkan lagi tidak mudah. Pasti butuh waktu tidak sebentar. Dampaknya resesi ! Selama proses recovery itu tentu tidak semua orang bisa bertahan. Yang jelas bagi UMKM, Pandemi COVID-19 ini ladang pembantaian.
Tadinya saya optimis Indonesia tidak akan masuk ke jurang resesi. Karena kita masih punya pusat pertumbuhan. Seperti industrin nickel dan Agribisnis. Tetapi ternyata dua sektor itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penurunan ekonomi akibat stuck. Masuk kwartal kedua, pertumbuhan ekonomi minus 5,32%. Ada harapan kwartal 3. Namun masuk kwartal 3, Ibu Menteri Keuangan sudah memastikan Indonesia tidak bisa terhindar dari resesi. Pandemi Corona yang terjadi sejak enam bulan terakhir berdampak besar bagi perekonomian Tanah Air. Buktinya, pertumbuhan ekonomi nasional yang rata-rata sudah jatuh ke zona negatif dalam dua kwartal. Ini memaksa pemerintah harus merevisi proyeksi pertumbuhan. Tidak lagi positip. Tahun 2020 kwartal 3 ini diperkirakan akan minus 1,7% - 0,6%. Ada harapan kwartal 4 dengan proyeksi pertumbuhan 0%.
Lantas apa yang terjadi akibat resesi ini? mari kita lihat data Kalau setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menyerap angkatan kerja formal sebesar 400.000. Nah kalau pertumbuhan ekonomi negatif 5% maka hitungan sederhana akan ada kehilangan pekerjaan bagi 2 juta orang. Padahal menurut data BPS, stok pengangguran per agustus 2019 sebesar 7,05 juta. Kalau rata rata pertumbuhan pengangguran sebesar 3%. Maka tahun 2020 ini jumlah pengangguran bertambah 210.000. Sementara akibat resesi terjadi PHK. Stok pengangguran semakin bertambah. Bukan hanya mereka yang udah jobless tetapi juga mereka yang kena PHK.
Dari stok pengangguran sebelumnya saja angka kemiskinan tercatat per maret 2018 menyentuh angka 25,95 juta . Nah di saat resesi, yang miskin akan terpuruk. Yang bekerja akan jadi orang miskin karena PHK. Kehilangan pekerjaan 2 juta orang itu berdampak berganda bagi rakyat kecil. Daya beli akan turun, dan ini berdampak pada Pedagang tradisional, penjual jasa informal seperti supir taksi, bus, dan lainya. Mereka akan menambah stok orang miskin. Tahun 1998 kita krisis moneter. Tetapi rakyat bebas berkreasi sendiri. Menyelesaikan masalah mereka sendiri. Pasar domestik mendukung. Tetapi sekarang, bukan hanya krisis tetapi resesi dan pandemi. Benar benar malang bagi orang miskin tanpa tabungan.
Apa solusi pemerintah? yaitu dengan cara memompa uang lewat kebijakan fiskal sebesar Rp695,2 triliun. Ini uang dari hutang. Untuk mendorong daya beli masyarakat akibat resesi, pemerintah menambah anggaran social safety net yang sebelumnya Rp203,9 triliun menjadi Rp242 triliun. Apakah ini cukup? Kalau melihat anggaran PEN sebesar Rp695,2 hitungannya konservatif atas pertumbuhan minus 5% terhadap PDB. Itu cukup. Engga usah buat program macam macam untuk bantu orang miskin. Mereka butuh uang cash disaat ekonomi stuck. Karena mereka engga ada tabungan. Anggaran social safety net Rp. 242 triliun, bisa memberikan bantuan tunai langsung sebesar Rp. 1 juta per orang setiap bulan. Angka kemiskinan katakanlah 20 juta jiwa. Artinya Rp. 20 triliun BLT diberikan setiap bulan. Kalau setahun itu sama dengan Rp. 240 triliun. Klop kan.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah benar uang sebesar Rp. 240 triliun tersalurkan langsung kepada rakyat yang membutuhkan? Efektifkah metode penyaluran yang ada sekarang. Apalagi data dari pusat dan Daerah tidak sinkron. Apalagi mau PILKADA serentak, tentu Petahana akan gunakan moment COVID-19 ini untuk mendulang uang social safety net. Atau seperti kasus Pemprof Banten yang anggaran social safety net tersandera menyelamatkan bank Banten yang gagal bayar.
Walau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan penuh percaya diri membeberkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun 2019 yang berisi kenaikan nilai barang milik negara (BMN) dari Rp 6.325,3 triliun menjadi Rp 10.467,5 triliun, atau meningkat sebesar 65%. Itu bukan potensi bagi rakyat untuk bertahan akibat resesi. Pastikan dana BLT sampai dan pastikan karena itu pasar domestik kembali menggeliat. Karena orang punya uang untuk belanja. Saya berharap kepada Kepala Daerah. DPRD, DPR dan kementerian yang ada, please istirahat dulu rakusnya. Komitmen Jokowi sudah jelas uang ada di APBN. Salurkan itu dengan baik. Kepada Pengusaha teruslah bertahan dalam kondisi terburuk. Jangan sampai PHK. Karena selama ini anda sudah kaya. Bersabarlah. Tidak akan membuat anda miskin.
Karena kalau sampai gagal penyaluran dana BLT, NKRI akan pecah. Revolusi tidak bisa dihindari. Engga ada kekuatan politik yang bisa menahan orang lapar. Kalau orang lapar marah, engga mungkin moncong senjata TNI diarahkan kepada rakyat. Tetapi kepada anda semua wahai pemimpin, termasuk orang kaya. Mau lari kemana? negara lain tutup pintuk kok.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.