Thursday, October 29, 2020

Keuangan syariah raksasa yang tidur ?




Jokowi pada acara membuka festival ekonomi syariah Indonesia (ISEF) tahun ini, mengatakan bahwa Industri keuangan syariah adalah raksasa yang sedang 'tidur'. Saat ini pemerintah memiliki concern besar untuk membangkitkan raksasa ini. Langkah-langkah konkret yang dimaksud, lanjutnya, harus segera dieksekusi dalam mengembangkan ekonomi dan industri keuangan syariah raksasa tersebut. Sejalan dengan itu, pemerintah juga tengah menyiapkan bank syariah terbesar di Indonesia dengan meleburkan tiga BUMN Syariah, yakni PT BRI Syariah Tbk, PT BNI Syariah, dan PT Bank Mandiri Syariah.


Secara financial memang konsep bank syariah itu sangat ideal. Kalau ditinjau dari skema, sebetulnya konsep bank syariah itu sudah dikembangkan sangat maju dalam industri keuangan modern, seperti leasing,  venture capital. Hanya perbedaanya ada pada akad. Pada skema leasing dalam konsep syariah disebut dengan murabahah ( akad jual beli). Sementara pada skema venture capital disebut dengan mudharabah  ( akad bagi hasil). Mengapa konsep syariah ini tidak berkembang luas seperti konsep keuangan modern? karena pemahaman sempit terhadap bunga dan risk management. Bunga diartikan sebagai perbuatan dosa ( haram). Tidak dilihat sebagai yield bagi hasil atas dasar suka sama suka. Dan tidak bisa lepas dari rambu rambu risk management perbankan modern.


Apakah risk management dan rambu rambu kesehatan bank ? Yaitu harus menjamin setiap dana yang ditempatkan di bank akan aman dari segala resiko yang timbul. Maka pola 5 C ( character , capacity, capital, conditional of economic , Colateral ) yang dipakai oleh bank konvensional sebagai dasar penilaian kelayakan pemberian dana ( mudharabah dan lainnya ) juga diterapkan oleh bank syariah. Apabila bank Syariah tidak mengikuti SOP yang ditetapkan oleh Bank Central maka dia terkena sangsi pemenuhan rasio keuangan sepeti Reserved Requirement ( cadangan wajib Giro minimum ) , CAR dan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Central, Ini akan mengakibatkan Bank Syariah tidak efisien. Kalau tidak efisien maka Bank Syariah jadi mahal jasanya. Maka satu satunya jalan adalah mengikuti ketentuan dari Bank Cenral dengan memastikan kualitas mudharabah kelancarannya sama sepeti hutang piutang.


Dewan Syarian Nasional Majelis Ulama Indonesia yang di dalam keputusan Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 mentolelir dengan diperbolehkannya jaminan dalam mudharabah pada perbankan Syari'ah. Namun sifatnya terbatas , yang masih dalam kerangka mudharabah sebagai bentuk kerjasama dan tidak ada kaitannya dengan hutang piutang. Namun yang jadi persoalan di Indonesia bahwa keberadaan jaminan itu masuk wilayah hukum positip. Dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Bank Syariah, tidak mengatur secara khusus tentang jaminan di dalam mudharabah. Yang nampaknya tidak membedakan jaminan perbankan konvensional dengan jaminan di dalam mudharabah ( Pasal 1 ayat (23) jo Pasal 12. Ini berimplikasi pada akad perjanjian mudharabah yang harus sesuai dengan Hukum Perdata di Indonesia tentang status hukum jaminan ( yang tentu sesuai dengan hutang piutang karena dalam hukum Perdata, kerjasama tidak dikenal jaminan ).


Apakah skema ini dibenarkan menurut Islam ( mudharabah ) dalam konteks yang berlaku di Indonesia ? Banyak sekali analisa fikih soal boleh atau tidaknya jaminan itu.. Tapi saya tidak mau masuk dalam pembahasan soal dalil yang dijadikan rujukan oleh ulama dalam mengambil sikap soal status jaminan dalam perbankan syariah. Yang pasti tidak mudah bagi bank syariah untuk menjual jasa mudharabah kepada nasabahnya. Karena keharusan tersedianya jaminan itu. Maka yang lebih mudah bagi Bank Syariah adalah memberikan jasa layanan seperti jual beli yang dimodifikasi dalam berbagai bentuk , misalnya bai' as-salam, bai' al-istishna, murabahah, namun ini lebih bersifat konsumtif (pembelian rumah, kendaraan ) ,yang lebih mudah “diamankan” dibandingkan kegiatan produksi dalam skema mudharabah. Namun apakah skema itu lebih murah dibandingkan perbankan konvensional ? oh belum tentu. Tergantung dari management bank itu sendiri. Bisa saja Bank syariah lebih mahal dibandingkan bank konvensional. Karena biaya operasional bank yang tanggung kan nasabah.


Artinya, dengan pemahaman sempit itu, kadang bank syariah atau lembaga pembiayaan syariah terjebak dengan cost fund yang mahal, dan risk management yang  rumit, akhirnya terjebak pula dengan system keuangan modern, yaitu mengharuskan adanya jaminan Walau akadnya bukan collateral tetapi hak (amanah)  menguasai aset sepihak oleh bank. Akibatnya secara esensi tidak ada bedanya dengan bank umum. Apalagi perbankan syariah harus patuh dengan standar Bank international for settlement dalam kuridor risk management compliance. Kalau sekarang industri keuangan syariah tumbuh sangat pesat, itu bukan berarti peran bank syariah efektif menebarkan kemakmuran. Karena sebagian besar dana syariah yang di pooling dari publik disalurkan dalam skema murabahah. Jadi engga lebih sebagai broker atau pedagang barang dengan system angsuran. Artinya orietasinya lebih kepada konsumsi, bukan produksi.


Jadi apa permasalahannya kalau ingin mengebangkan keuangan syariah seperti harapan  Presiden? Ya Industri keuangan syariah harus lebih besar di skema mudharabah. Mereka harus punya kekuatan lebih dalam hal project assessment. Harus bertumpu kepada kekuatan analis project agar bisa dibuat skema yang aman dan tidak memberatkan nasabah. Ya seperti kehebatan Industri keuangan berbasis venture capital dan global financial market yang unsecure ( Tanpa collateral). Coba dipelajari bagaimana menerapkan CDS dalam system syariah. Sehingga bisa melepaskan diri dari keharusan pinjaman pakai collateral secara langsung. Atau pelajari skema preferred stock, yang walau hutang tapi pembayaran bunga dari deviden. Artinya kalau untung, bunga bayar. Kalau rugi ya engga.


Bagaimana dengan potensi Bank Wakaf?

Pemerintah melihat potensi zakat yang begitu besar. Dan ini kalau di kelola dengan skema produksi maka dana zakat tidak akan habis tetapi akan terus berkembang. Potensi hebat islam itu dalam berbagi bukan hanya zakat tetapi juga sedekah dan wakaf atau sedekah berupa harta tanah atau bangunan untuk kegiatan amal. Kalau inipun di manfaatkan lewat skema keuangan untuk pembiayaan sektor real maka akan menghasilkan asset yang raksasa. Mengapa ? Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf tanah saja di atas Rp 370 triliun, sementara wakaf tunai Rp 180 triliun. Ini belum termasuk menghitung potensi wakaf tanah yang masih belum muncul, yang bisa mencapai Rp 2.000 triliun. Hebat kan.


Lantas bagaimana ini bisa jadi potensi real ? Jokowi menerima usulan dari Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) untuk membentuk  Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Dan OJK memberikan persetujuan dengan nama Bank Wakaf.  Nah, bagaimana struktur bank Wakaf ini? Ada tiga yaitu donatur, pesantren dan masyarakat produktif. Badan hukumnya adalah koperasi. Jadi bank wakaf bukanlah bank yang menerima simpanan. Skema permodalan dari Bank Wakaf Mikro ini juga terbilang unik. Nantinya, 1 LKMS akan menerima dana dari Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) , juga kemungkinan dana Desa, sekitar Rp 3 miliar sampai Rp 4 miliar. Dana tersebut tidak akan disalurkan semuanya menjadi pembiayaan, melainkan sebagian akan diletakkan dalam bentuk deposito di bank umum syariah.


Bagaimana kalau orang tidak memberikan donasi berupa uang tetapi wakaf tanah? tidak mengapa. welcome! Bank wakaf mengelola tanah itu menjadi bernilai uang. Bagaimana caranya ? bank wakaf akan menjadi manager investasi dengan mempertemukan orang yang punya uang dengan pemberi wakaf tanah itu. Dari kegiatan kerjasama ini bisa menghasilkan berbagai proyek. BIsa saja apartement, kawasan industri, dll. Dari hasil proyek ini , pendapatan bagian tanah wakaf akan menjadi sumber dana donasi bagi Bank Wakaf membiayai program pemberdayaan umat. 


Skema pembiayaan melalui Bank Wakaf Mikro adalah pembiayaan tanpa agunan dengan nilai maksimal Rp3 juta dan margin bagi hasil setara 3 persen per tahun.  Bagaimana risk managemen dari Bank Wakaf ini?  Maklum karena bank wakaf menerapkan bagi hasil dan tanpa agunan. Maka risk management nya ada pada trust dari nasabah. Gimana nasabah dapatkan trust tersebut ? Dia harus mengikuti program pelatihan yang di tunjuk oleh Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Dari pelatihan ini dia akan dapat sertifikasi untuk layak dapatkan pinjaman modal dari Bank Wakaf. 


Jadi sebetulnya ini adalah jenis skema pembiayaan venture. Secara bisnis dimana pengelola dana jadi angel atas nasabah. Dan dalam jangka panjang bila nasabah itu sukses maka bagi hasil yang diberikannya akan memperkuat dana Bank wakaf untuk membantu yang lain. Ya semacam dana bergulir, namun diterapkan secara modern dengan SOP dari Otoritas Jasa Keuangan. Maka potensi asset tidur, kewirausahaan dan komunitas islam bisa menjadi potensi ekonomi yang dahsyat untuk menjadi penggerak ekonomi kerakyatan yang berbasis gotong royong. Itulah Jokowi, orang yang katanya anti islam tetapi berjuang secara nyata menjadikan islam kuat bukan dengan retorika tetapi by design dan system untuk menjadi kuat dan terhormat.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.