Anda punya perusahaan sudah lama berdiri. Neraca perusahaan bagus. Tetapi kalau neraca perusahaan digadaikan ( jadi collateral) untuk proyek baru. Ini akan beresiko. Meningkatkan rasio utang terhadap modal. Akan menurunkan performa perusahaan. Nah agar perusahaan tidak terlibat menanggung resiko atas utang itu, maka anda ajukan kredit investasi dengan skema non recourse loan. Jadio non recourse loan itu adalah skema pinjaman dimana jaminan adalah proyek itu sendiri.
Namun bank tidak bego. Biasanya mereka memberikan pinjaman sebesar 70% dari total nilai proyek. Sisanya, 30% ditanggung oleh anda sebagai project sponsor. Nah yang jadi collateral itu nilai 100% ( hutang + modal ). Artinya kalau ternyata proyek ini tidak mencapai laba, bank akan jual proyek sebagai collateral dengan harga diatas 70%. Jualnya pasti mudah. Resiko bank tidak ada. Tentu bank tidak akan cairkan kredit sebelun proyek jadi. Namun commitment bank itu sudah bisa dijadikan jaminan oleh EPC untuk kerjakan dengan skema turn key. EPC induk perusahaan, dan pemilik proyek anak perusahaan. Klop dah.
Dalam praktek bisnis, skema non recouse loan ini diberikan untuk proyek infrastrutktur termasuk property atau industri yang pasarnya sudah terjamin atau sudah eksis sebagai kebutuhan publik. Sebagian besar pembiayaan berkaitan dengan phisik, bukan non phisik. Jadi secure loan. Hampir semua proyek infrastruktur yang dibangun oleh BUMN menggunakan skema non recourse loan ini. Perhatikan fasiitas yang diberikan negara: Untuk jalan toll. Negara beri jaminan IRR yang diminta oleh investor. Katakanlah IRR 12%. Kalau ternyata hitungan investasi IRR hanya 8%, maka 4 % ditanggung APBN. Ini disebut dengan VGF ( viability gap funding). Jadi benar benar dijamin untung.
Bagi BUMN karya, mereka jadikan peluang non recourse loan ini untuk dapatkan kerjaan kontraktor (EPC). Caranya? mereka membentuk SPC atau anak perusahaan sebagai investor jalan toll. Kemudian anak perusahaan ini ajukan pinjaman dengan skema non recourse loan. 30% Modal disediakan BUMN sebagai induk perusahaan. 70% dari bank. Nah kongkalingkong terjadi. 30% itu hanya permainan akuntasi saja. Karena proyek udah di mark up sampai 30%. Praktis mereka bangun jalan toll duitnya semua dari bank. Smart. Kerjaan kontraktor dapat, saham jalan toll di anak perusahaan dapat pula. Nanti kalau sudah jadi jalan tol, Induk perusahaan bisa lakukan divestasi untuk bayar utang bank. Walau ada mark up, kan kalau dijual bisa untung.
Tapi mengapa akhirnya BUMN itu bleeding terlilit hutang? Karena ketika proyek dibangun, di level anak perusahaan juga terjadi mark up. Akibatnya cost orerrun. Belun lagi setelah proyek selesai dibangun. Mereka menghadapi negatif cashflow sedikitnya 5 tahun. Ya namanya baru. Untuk menutupi cash flow itu, anak perusahaan engga mungkin utang lagi. Karena proyek sudah digadaikan ke bank. Mau engga mau anak perusahaan pinjam uang ke induk atau pinjam ke bank yang jamin neraca Induk perusahaan. Nah dari satu proyek ke proyek lain begitu semua. Ya akhirnya jebol juga neraca induk perusahaan. Mau lakukan divestasi, harga udah kemahalan. Mau disekuritasai udah engga layak.
Mengapa sampai terjadi begitu? BIaya lobi mahal. Sejak proses dapatkan penugasan bangun proyek, ajukan kredit bank, sudah bayar lobi. Belum lagi proses pembebasan lahan walau itu proyek pusat tetap aja perlu lobi ke pemda. Jadi sebenarnya proyek infrastruktur yang katanya B2B, adalah bentuk lain dari cara berbagi uang diantara elite, dimana BUMN sebagai vehicle aja.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.