Sunday, April 16, 2023

Mengapa China minta jaminan APBN ?



Pengantar.

Di dalam TOD ( Transit oriented development) itu ada kawasan real estate, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, Hotel, pusat hiburan keluarga, rumah sakit dan beragam aktifitas komersial. Di Negara maju kalau anda tinggal di TOD, anda engga perlu kemana mana. Di dalam TOD itu terbentuk kehidupan kota yang melayani dirinya sendiri. Ini udah jadi trend komunitas moderen yang butuh efisiensi. 


Namun tentu mereka perlu bergerak ke tempat lain di luar TOD. Pasti mereka butuh sarana transfortasi yang cepat dan nyaman. Di negara maju, pembangunan kereta cepat ( High speed train atau bullet ) itu pasti terintegrasi dengan TOD.  Misal anda tinggal di TOD Walini yang dliintasi kereta cepat Jakarta Bandung. Anda perlu bekerja ke Pusat kota jakarta. Dengan kereta cepat hanya butuh waktu 10 menit sampai di Halim. Itu lebih cepat daripada anda tinggal di Lippo karawaci lewat tol. 


Nah, secara business umumnya pengelola kereta cepat adalah juga konsorsium yang membangun TOD. Atau bisa saja pengelola kereta cepat mendapatkan konsesi fee atas setiap jengkal kawasan komersial yang ada di dalam TOD. Makanya tanah di TOD itu mahal sekali. Itulah motive mengapa China mau B2B tanpa jaminan APBN. Karena bisnis mereka sebenarnya bukan kereta cepat tapi jual kawasan TOD.  Kereta cepat rugi juga engga apa apa. Karena udah untung di lahan TOD. Artinya, kereta cepat hanya complimentary dari business kawasan. 


Skema B2B atau KPBU Kereta Cepat.

Sebenarnya Proyek Kereta Cepat jakarta Bandung ini di eksekusi oleh Jokowi karena terpesona dengan kehebatan China dalam membangun infrastruktur Ekonomi terutama transfortasi Kereta cepat. Apalagi Presiden Xi Jinping, berjanji akan memberikan bantuan dana lewat skema B2B. Ini menggembirakan Jokowi. Karena dia tahu, tanpa B2B maka proyek Kereta Cepat ini hanya jadi impian saja. Defisit APBN yang terus melebar sehingga mengurangi kemampuan ruang fiskal APBN untuk menanggung biaya. Dan lagi ini tidak sesuai dengan program nawacita, yaitu Indonesia centris. 


Itu sebabnya perencanaan study yang sudah dibuat Jepang atas proyek kereta cepat (KC) itu tidak membuat Jepang sebagai pelaksana Proyek. Jokowi berikan proyek itu kepada China. Apa pasal? Pertama Jepang mensyaratkan pinjaman soft loan yang ditanggung APBN. Sementara China tidak mensyaratkan jaminan APBN. Kedua, Jepang minta bunga 0,1% dengan LTV 75%. Sisanya 25% Equity. Tapi China tidak membebankan  bunga kepapada APBN tapi kepada Proyek (project base ).


Mengapa China berani untuk melakukan skema B2B? Karena business model China sebenarnya pengadaan TOD ( transit oriented development) di jalur kereta cepat. Rencana akan ada TOD di Stasiun Halim, Karawang, Tegalluar, Walini, Rencana di TOD itu akan dibangun kawasan real estate, perkantoran, perhotelan,  Hospital, Pusat Hiburan sekelas Disneyland, hingga pusat ritel ini. Ya masing masing TOD akan seperti Maikarta. Akan jadi block city. Dengan layanan KC yang durasi tempuh dari pusat jakarta atau Bandung hanya 15 menit. Kebayang kan value tanah di TOD.


Pendapatan dari TOD ini saja sudah bisa mengembalikan seluruh biaya investasi kereta cepat yang mencapai Rp. 100 triliun termasuk biaya TOD. Pendapatan TOD ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dan karenanya keberadaan KC tak lebih hanya betujuan untuk meningkatkan Value dari TOD.


Terjadi penyimpangan skema

Dalam pelaksananya dibentuklah Konsorsium antara BUMN Indonesia (60%) dan China (40%), PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).  Dari Indonesia adalah PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) menguasai saham 60%, yang merupakan konsorsium KAI (51,38) persen, PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VII (1,21 persen) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (8,3 persen.). Dari China diwakili oleh Beijing Yawan HSR Co Ltd.


Total investasi awalnya mencapai Rp86,67 triliun. Dari sebesar ini, 75% atau Rp. 65,25 trilun adalah pinjaman dari China Development Bank (CDB). Dan sianya 25% atau Rp. 22 Triliun ditanggung oleh PT. KCIC dengan beban proporsional terhadap saham. PSB menangung sebesar 60%  atau Rp. 13 trilun dan Beijing Yawan HSR  sebesar Rp. 9 triliun.  


Apa yang terjadi kemudian ? Dalam perkembangannya tanah yang direncanakan untuk TOD di Halim, Karawang, Tegalluar, Walini tidak bisa dikuasai. Karena harga sudah terlalu mahal dan dibawah penguasaan para developer. Walau kita udah ada Undang-undang (UU) No. 2 Tahun 2012 namun KCCI tidak bisa berbuat banyak. Para pengembang yang kuasai lahan itu punya koneksi kuat dengan elite politik dan penguasa. Makanya sampai  28 November 2018, Beijing Yawan HSR baru menyetor modal sebesar Rp 4,25 triliun. Ya wajar. Pihak Beijing Yawan HSR sebagai creator business plan dan exit strategy proyek  menilai proyek KC tidak berjalan sesuai dengan design TOD terintegrasi KC. Tentu skema B2B sesuai rencana awal tidak diteruskan.


Akhirnya diputuskan rencana TOD ditunda. Focus kepada pembanguna kereta cepat seja dan sumber pendapatan dari ticket dan lainnya. Wika sebagai ketua konsorsium digantikan oleh PT. KAI. Anggaran proyek terjadi coct overrun tembus Rp. 100 triliun akibat adanya covid. Disisi lain sejak proyek digagas sampai tahun 2022 masing masing BUMN anggota konsorsium KCIC belum memenuhi setoran modal. Sementara pengerjaan proyek terus berlangsung. Bahkan sudah mencapai diatas 70% mendekati limit LTV.


“ Nah, mengapa CDB sebagai lending bank tetap mencairkan pinjaman. Padahal setoran modal belum settle. Itu kan standar kapatuh pencairan kredit.  “ tanya saya kepada teman.


“ Walau alokasi pinjaman itu kepada KCIC , tetapi sebenarnya CDB cairkan pinjaman karena adanya jaminan dari pemerintah. Walau belum ada perjanjian mengikat semacam sovereign guarantee atas persetujuan DPR, namun trust dari pejabat pemerintah tertinggi pastilah dipegang oleh CDB. Kalau engga mana mungkin CDB bisa cairkan kredit.” kata teman saya.


Minggu lalu LBP berangkat ke Beijing untuk berunding dengan CDB. LBP merasa gagal membujuk China memberikan bunga 2% dan tanpa jaminan APBN.


“ Pinjaman yang diberikan oleh CDB itu bukan G2G atau skema soft loan tapi kommersial. Ya tidak mungkin 2%/pa seperti bunga soft loan. Bagaimana CDB akan memberikan tambahan kredit kalau setoran modal belum settle. Dan secara official pemerintah belum teken sovereign guarantee. “ Kata teman.


Masalah pembiayaan kereta cepat ini sangat riskan terhadap komitmen pemerintah dihadapan investor asing. Apalagi CDB itu lembaga kredit international. Reputasi dan pengaruhnya sangat besar kalau Indonesia sampai terjadi default atas standar kapatuhan kredit. Ini akan berdampak kepada credit rating Indonesia. 


Solusinya. Serahkan saja proyek ini kepada pihak China dan penuhi requirement skema investasi B2B yang melibatkan TOD sebagai exit. Paksa developer dan mafia tanah hengkang dari lokasi TOD. Tidak ada lagi urusan dengan utang yang dijamin APBN. Waktu konsesi BOT berakhir, negara ambil alih sesuai kesepakatan KPBU ( harus zero settlement/ tanpa utang). Hanya itu solusinya. “ Kalau engga, ini akan jadi skandal dan badai tsunami politik. Mengapa ? CDB kan cairkan pinjaman dengan adanya jaminan. Itu jelas melanggar UU Keuangan negara, dimana setiap utang luar negeri atau penjaminan negara harus persetujuan DPR lewat pengesahan APBN.  Lah ini belum ada di APBN tetapi sudah ada jaminan.” kata teman. Saya terhenyak. Semoga solusi saya didengar.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.