Ketika melihat fenomena perkembangan tekhnologi digital, saya perhatikan KODAK tetap yakin dengan produk kameranya. Kodak yakin dengan kehebatan culture perusahaan yang solid . Sekian decade KODAK mampu bersaing. Para manager penjualan yang handal, para insinyur yang kompeten mendesain produk telah terbukti unggul bersaing sekian dekade. Saya yakin kalau KODAK tidak melakukan killing product dia akan tumbang.
Mengapa ? persaingan KODAK bukan pada pesaingnya tetapi pada minat konsumen yang berubah karena faktor tekhnologi. Saat kamera digital ditemukan, KODAK berusaha menyesuaikan tekhnologi filem selotit menjadi digital. Dia berusaha menempatkan KODAK sebagai produk premium. Sehingga produk kamera lain walau menggunakan digital tetap generik. Namun saat kamera masuk dalam genggaman orang lewat Hape, KODAK shock dan akhirnya menanti kematian. Tahun 2013 KODAK dead. Terpaksa dilepas kepada UK Kodak Pension Plan. Karena dana pensiun karyawan juga ludes. Setelah itu para Hyena datang menelan satu persatu aset KODAK.
Tahun 2010 Indonesia membuat program MP3EI ( Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia ) sebagai basis membangun infrastruktur ekonomi. SBY sediakan payung hukum atas program MP3EI itu. Lengkap dengan perizinan, akuisisi tanah dan skema KPBU. Itu rampung di penghujung jabatan SBY tahun 2014. Dan Jokowi lanjutkan program Mp3EI dalam pembangunan infrastruktur ekonomi. Namun sebenarnya tahun 2012 MP3EI sudahn jadul. Mengapa ? Konsep MP3EI itu konsep tahun 80an. Tadinya pusat pertumbuhan ekonomi selalu berada pada wilayah yang punya potensi SDA. Tapi terjadi trend berubah. Downstream industri berkembang mendekati pasar dengan alasan efisiensi supply chain dan logistic.
Apa yang terjadi kemudian?. Semua pelabuhan berserta akses infrastruktur jalan, pembangkit listrik untuk KEK, yang sudah dibangun tidak tengok oleh pasar. Pelabuhan sepi kapal bongkar muat. Akhirnya merugi. Jalan toll dengan traffic dibawah BEP, merugi juga. BUMN karya yang ditugaskan bangun jol terjebak utang gigantik. KEK sepi tennan, merugi juga, bahkan mangkrak. PLN overload di Jawa tapi di daerah lain kurang pasokan energi. Akhirnya bleeding membayar utang jumbo. Tanpa dana kompensasi dari APBN, PLN bisa bankrut. Dari 35 bandara international yang dibangun terpaksa 15 dimatikan. Karena sepi penumpang.
Saya pernah menulis perlunya kembali kepada geopolitik negeri ini. Apa itu ? Negara maritim. Itu tidak lekang oleh perubahan. Karena itu sudah takdir, yang geopolitik kita bersinggungan dengan geostrategis negara lain di empat selat sebagai jalur pelayaran international. Focus kesana. Tapi belakangan justru kita memindahkan IKN ke kalimantan, yang jauh dari laut. Ya semacam killing product tapi bukan bagian marketing strategi. Itu tak ubahnya dengan jatuhnya KODAK. Kejatuhan karena merasa hebat dan kebal terhadap perubahan.
Saya belajar ilmu marketing tahun 90an tentang Killing Product. Awalnya saya sempat mikir sendiri. Mengapa membunuh produk harus dipelajari? kalau mau bunuh yang tutup aja bisnis dan stop produksi, Kan selesai. Tapi setelah mempelajari secara tuntas ilmu itu, saya baru paham. Apalagi setelah belajar financial engineering. Oh ternyata, killing product itu bukan hanya diperlukan untuk bersaing. Tapi juga sebagai cara memasukan toksin ke pesaing. Caranya? memancing terjadinya exit lewat merger dan akuisisi atau IPO. Agar mati dan bisa diakuisi balik dengan harga murah. Jadi walau pada akhirnya produk itu memang mati, tetapi pesaing utama mati duluan. Makanya diperlukan ilmu untuk itu. Paham ane.
Kalau akhirnya Ganjar merger dengan Prabowo. Saya engga akan kaget. Itu cara jenial killing product dan killing competitor, agar PDIP focus ke Pileg saja…lebih baik kuasai parlemen daripada kuasai istana… Karena trend sekarang kekuatan real poitik bukan pada presiden tapi pada partai. Dan lagian toh menang Pilpres karena koalisi pun useless. Para Hyena juga yang akan ngerubutin...
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.