Pemerintah menjadikan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai sumber daya keuangan dalam bentuk utang. Setiap tahun setelah pagu hutang terhadap APBN disetujui DPR, selanjutnya pemerintah mulai sibuk terbitkan SBN. Tahun 2023 saja target menerbitkan SBN mencapai Rp. 693 Triliun. Hingga Juli 2023, realisasi mencapai Rp 194,9 triliun. Situasi berhutang ini sudah menjadi keniscayaan. Kalau engga, kita tidak bisa menutupi defisit APBN. Maklum total pendapatan negara tidak cukup untuk pengeluaran. Ini sudah berlangsung sekian dekade.
Kita sepakat bahwa apapun kebijakan ekonomi harus berdampak langsung ke sektor real dan keadilan ekonomi, bukan hanya sekedar mengamankan makro dan APBN. Yang ingin saya bahas adalah apakah struktur utang lewat SBN ini sudah sesuai dengan tujuan memperkuat fundamental ekonomi? Nah mari kita lihat data berikut. Secara rinci, kepemilikan SBN domestik oleh Bank Conversional sebesar Rp1.620,07 triliun dan Bank Syariah sebesar Rp92,52 triliun. Selanjutnya ada asuransi dan dana pensiun dengan kepemilikan SBN domestik sebesar Rp979,43 triliun per 14 Agustus 2023. Artinya, hampir 50% sumber dana SBN itu berasal dari Perbankan dan LK.
Mari lihat data berikutnya. Dana Pihak Ketiga (DPK) pada maret 2023 sesuai yang dilaporkan OJK sebesar Rp8.006 triliun. Terdiri dari deposito, rekening giro, rekening simpanan. Umumnya yang ditempatkan pada SBN adalah dana deposito. Total dana deposito (jun 2023 ) mencapai Rp. 2.672 Triliun. Disalurkan oleh bank ke SBN sebesar Rp1.620,07 ( Bank konvensional dan syariah). Tapi kan data menyebutkan ada 800 ribu lebih pemegang SBN. Itu bukan direct buyer tapi lewat skema Ritel ORI, yang sudah di restruktur oleh agent, yang bisa saja bank juga ( rent seeking).
Benarkah ? mari kita lihat data berikutnya. Rasio DPK terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada 2022 ada di angka 38,38 persen. Mengapa? Mari kita lihat data LPS. Per Januari 2023, jumlah rekening nasabah di bank mencapai 506.565.057 rekening. Rinciannya 506.230.852 rekening yang saldonya dibawah Rp. 2 miliar. Itu dijamin LPS. Sedangkan 334.205 rekening atau 0,06 % dari total nasabah bank saldonya lebih dari Rp 2 miliar, tidak dijamin oleh LPS. Artinya 99,94 % bukan nasabah investor. Hanya 0,06 % yang investor. Itupun dari 0,06% tidak semua dana mereka ditempatkan dalam negeri. Sebagian besar dana mereka di tempatkan di bank luar negeri. Jadi paham ya mengapa rasio DPK terhadap PDB di bawah 100% atau hanya 38,38%. Di bawah Filipina dengan rasio 77,74 persen, Malaysia 122,59 persen, Thailand 135,69 persen, dan Singapura 141,14 persen.
Dengan data tersebut. Bagaimana peran bank sebagai penggerak sektor real? Loan to Deposit Ratio ( LDR = (Jumlah kredit yang diberikan/(total modal + total dana pihak ketiga) x 100% per Maret 2023 80,5%. Walau relatif baik tetapi belum efektif sebagai intermediary. Mengapa? sebanyak 64,2 juta atau 99,99% adalah UMKM. Rasio kredit UMKM terhadap total kredit perbankan masih dibawah 30%. Sisanya diatas 50% porsi kredit korporat yang jumlah dibawah 1% dari populasi dunia usaha. Ya, itu karena sebagian besar dana deposito disaluran ke SBN. Negara bersaing dengan rakyat dapatkan uang bank. Padahal rasio DPK terhadap PDB hanya 38,38 %. Keterlaluan. Pintarnya berburu di kebun binatang.
Idealnya sebagian besar SBN itu dikuasai oleh rakyat banyak. Ini sebagai bentuk partisipasi publik dalam skema pembiayaan pembangunan di luar pajak. Dan sekaligus sebagai passive income publik sebagaimana rumus I=C+S. Ya demokratisasi ekonomi. Tapi nyatanya tidak begitu. Dari data tersebut. Bisa disimpulkan bahwa Skema SBN tidak efisien. Itu terbukti dengan suku bunganya rata rata diatas 2% dari suku bunga acuan BI.
Padahal seharusnya SBN itu bukan hanya sekedar saluran investasi tapi yang lebih penting adalah safe haven. Artinya pilihan trust terhadap SBN harus lebih tinggi motive nya daripada berharap bunga. Nyatanya pemerintah tidak yakin punya trust tinggi selain menawarkan suku bunga tinggi. Dan ini pada akhirnya rakyat juga yang bayar lewat belanja rutin APBN. Bagi perbankan dan lembaga keuangan ini cara mudah menyalurkan dana publik. Nikmati spread aja ( rent seeking motive) dan sekaligus memanjakan 0,06% nasabah menikmati bunga deposto ,dan kredit mudah. Yang 99,94% EGP aja soal keadilan ekonomi.
***
Saya mengenal bank pertama kali tahun 1985. Saat itu saya sudah punya rekening pribadi. Usia 22 tahun saya sudah jutawan. Karena saldo saya sudah jutaan. Setelah itu saya punya perusahaan trading. Saya dapat fasilitas LC untuk ekspor dan impor. Dapat fasilitas modal kerja untuk pengadaan barang dan produksi sampai diatas 1 miliar. Usia 25 tahun saya sudah miliarder. Itu semua berkat dukungan sistem perbankan. Tanpa akses ke perbankan, engga mungkin saya hanya tamatan SMA dari keluarga miskin bisa berkembang.
Apa artinya? sumber kemakmuran itu adalah uang. Dengan uang, kreatifitas anda berkembang, otak jadi cerdas dan masa depan ditapaki dengan semangat. Jadi dapat disimpulkan, bahwa yang menggerakan proses menuju kemakmuran itu adalah sistem perbankan. Makanya kalau sampai perbankan itu bermasalah akan menimbulkan resiko sistemik: kerusakan atau runtuhnya sistem secara keseluruhan. Ingat tahun 1965 dan 1998.
Walau jumlah penduduk diatas 250 juta orang namun akses rakyat kepada sistem perbankansangat kecil. Data Per Januari 2023, jumlah rekening di bank mencapai 506.565.057 rekening. Rinciannya 506.230.852 rekening yang saldonya dibawah Rp. 2 miliar atau 99,94%. Sedangkan 334.205 rekening atau 0,06 % dari total nasabah bank saldonya lebih dari Rp 2 miliar. Itupun dari 334.205 rekening bisa jadi kalau setiap nasabah kaya punya rekening 3 maka jumlahnya hanya 112.000 orang saja.
Data LSM asal Inggris Oxfam mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia itu setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk. Bisa jadi kalau total Dana Pihak Ketiga (DPK) pada maret 2023 sebesar Rp8.006 triliun. Rupanya, sebanyak Rp4.231 triliun atau sekitar 53% dari total DPK perbankan dimiliki oleh hanya 0,02% populasi penduduk Indonesia. Sekitar 54 ribu orang ( kapasitas Stadion JIS ) penduduk Indonesia, dengan rata-rata isi kantong simpanan mereka per orang sebesar Rp 98 miliar.
Dengan profile nasabah bank tersebut diatas, memang jadi politisi dan pemimpin di Indonesia itu nyaman. Mereka hanya mengurus segelintir atau 0,04% saja dari populasi. Dan segelintir penduduk itulah pemerintah dapat pajak ini dan itu untuk mengongkosi APBN yang boros. Segelintir itu juga tidak peduli soal korupsi dan rente. Karena toh mereka juga bagian dari bisnis rente dan terbangunnya sistem pemerintahan yang oligarki lewat sponsor dana Pemilu dan Pilkada.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.