Zaman Soeharto, bagaimanapun kayanya seseorang tetap saja tidak ada pengaruh politiknya dihadapan Presiden. Kekuasaan bertumpu kepada ABC yaitu, ABRI, Birokrat dan Civil (Golkar). Setiap konglomerat pasti terhubung dengan ABC itu. Bisa saja jalur ABRI, atau Jalur Birokrat atau Jalur Golkar. Kalaupun secara personal para konglomerat itu dekat dengan Soeharto, namun Soeharto secara formal menjauh dari mereka dan lebih mengarahkan mereka dekat secara formal dengan ABC lewat jabatan komisaris. Jadi benar benar konglomerat hanya jadi pelayan ABC saja. Tidak ada posisi tawar konglomerat di hadapan ABC itu, apalagi dihadapan Soeharto.
Era reformasi terjadi demokratisasi ekonomi. UU Migas disahkan. Sehingga SDA Migas menjadi open source. Pertamina tidak lagi sebagai regulator. Sudah digantikan dengan SKK-MIGAS. UU Otonomi Daerah membuat kekuasaan tidak lagi centralistik. Sebagian diserahkan kepada daerah terutama hak otonomi atas tanah. UU BUMN sehingga privatisasi BUMN berlanjut seperti layaknya korporat yang berorientasi kepada laba semata. UU-BI Nomor 3 Tahun 2004 dan UU OJK No. 21 Tahun 201. Antara BI dan OJK dipisahkan. UU Minerba. Dan puncaknya adalah disahkannya UU Cipta Kerja.
Hampir semua pengusaha konglomerat yang ada di era reformasi terhubung dengan konglomerat era Soeharto. Walau sebagian besar mereka tersangkut kasus BLBI namun terselamatkan oleh adanya MSAA. Sehingga memungkinkan mereka berinkarnasi lewat anak dan keluarganya. Tentu mereka lebih cepat berkembang dibandingkan newcomer. Maklum dalam skema BPPN memungkinkan harga lelang asset 30% dari harga buku. Pembeli lelang adalah proxy dari obligor BLBI itu sendiri, dan dari sini mereka bisa leverage asset itu lewat perbankan lokal maupun luar negeri untuk mengembangkan bisnisnya.
Mereka juga cerdas. Menunggangi banyak kuda ( proxy). Munculnya OKB atau konglomerat baru di era reformasi, terafiliasi dengan mereka secara tidak langsung maupun langsung. Misal Kelompok Salim tersebar ke Para group milk CT, Medco, milik keluarga Arifin Panigoro. Group Cendana: BCA, 16% saham BCA milik Sigit dan ASTRA, 10% saham milik Nusamba Group. Indika group, Agus Lasmono. MNC group, Hari Tanoe. Humpus group, Darma Mangkuluhur. Media Group, Surya Paloh. Wilmar, Wiliam Kuok, wakil dari Robert Kuok mitra Sigit di GMP. Kalau diuraikan satu persatu, bisa seperti jaring laba laba. Rumit tetapi terstruktur. Praktis sebenarnya antara konglo lama dan yang baru sama saja. Orang nya itu itu aja.
Mereka juga adalah aktor dibalik Pendirian partai. Partai Nasional Demokrat oleh Surya Paloh, Partai Gerindra oleh Hashim Djoyohadikusumo, Partai Perindo oleh Hari Tanoesoedibjo dan Partai Berkarya dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. PKB oleh Kirana. PAN oleh Soetrisno Bahir. PD oleh TSPC dan Salim. Bahkan Golkar dalam Munas memberi peluang diakusisi oleh Pengusaha sebagai pengendali di DPP dan Dewan Pembina. Kalau ditotal jumlah kursi di parlemen lebih dari 50% dikuasai oleh mereka. Hanya PKS, PDIP dan PPP yang tidak ada kaitannya dengan pengusaha. Tapi semakin besar kapitalisasi pengusaha dalam perekonomian semakin kuat bargain mereka dihadapan politik kekuasaan dan partai yang tidak terafiliasi dengan mereka sangat mudah dijadikan pecundang.
Dengan demikian mereka bisa memiliki titik masuk yang lebih terdiversifikasi untuk mengakses aktor-aktor negara, dan karenanya mengakses izin dan kontrak, yang memungkinkan mereka memperluas kerajaan bisnis mereka. Mereka juga melakukan internasionalisasi modal ekonomi mereka dengan cara yang lebih inovatif. Bukan rahasia umum sebagian besar holding tambang dan Perkebunan Sawit terdaftar di Singapore. Biasanya kepemilikan hoilding itu disamarkan atas nama offshore company dan menunjuk asset manager sebagai special assignee. Tentu semakin mudah menyembunyikan kaitan mereka dengan deforestasi dan metode konsesi yang tidak adil.
Akibatnya, mereka bisa mendefinisikan ulang hubungan negara-bisnis. Meskipun sistem trias politik adalah diversifikasi kekuasaan, munculnya kelompok-kelompok seperti partai politik Islam, mereka para konglo itu dengan terampil berhasil menentukan bandul politik dalam situasi dimana pengaruh politik tidak dapat diprediksi atau pilihan politik penuh kontroversi. Hingga pada akhirnya menciptakan pola unik hubungan antara negara dan bisnis. Dengan demikian, demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah ruang politik baru di mana nilai-nilai kapital direstrukturisasi dan kemudian diubah oleh berbagai aktor agar sesuai dengan kepentingan mereka.
Nah, dibalik Paslon Prabowo-Gibran tentu ada sederet konglo. Tentu mereka didukung sumber daya keuangan yang besar. Kekalahan versi quick count paslon AMIN dan GAMA sudah diprediksi dari awal. Mengapa sampai mereka tetap mau melanjutkan kontestasi pemilu? Itu juga peran pengusaha sebagai Aktor dibalik pancalonan mereka. Yang menjanjikan dana kampanye. Nyatanya baik paslon 1 maupun paslon 3 hanya dapat janji. Tanpa dana kampanye besar tidak mungkin bisa menghadapi Jokowi yang jelas mendukung kemenangan Prabowo Gibran. Kalau benar hasil perhitungan akhir KPU menempatkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang, yang menang adalah para konglomerat.
Di masa depan peran Konglo semakin significant dalam politik nasional, apalagi dengan UU Cipta kerja hak otonomi daerah sudah dibonsai dan terbuka kemudahan mengakses semua sumber daya ekonomi nasional termasuk RS dan Lembaga Pendidkian. Uang sebagai raja. Selebihnya kacung.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.