Tuesday, March 5, 2024

Diamnya orang baik dan tumpulnya akal sehat.

 




Tahukah anda?. Venezuela adalah negara yang sangat kaya SDA Migasnya. Bahkan cadangan MIGAS nya lebih besar dari Timur Tengar dan Asia Tengah. Makanya Venezuela pernah menjadi salah satu negara paling makmur di Amerika Latin. Namun dalam satu dekade terakhir mengalami perubahan drastis. Itu bukan karena SDA nya habis. Tetapi karena chaos politik yang berdampak kepada chaos ekonomi. Lebih 50% rakyat kelaparan. Seorang ayah rela menyerahkan anak gadisinya ditiduri orang asing untuk sekilo gandum. Karena tidak ada lagi yang bernilai untuk dijual. Nilai mata uang lebih rendah dari tissue toilet. 


Ekonomi jatuh ketitik tanpa harapan. Kekurangan sumber daya penting seperti makanan, obat-obatan, dan listrik. Tahun 2023 saja lebih 7,7 juta orang jadi pengungsi di uar negeri seperti Brasil, Kolombia, Ekuador, dan Peru. Anak anak berjalan kaki melintasi Celah Darién yang berbahaya antara Kolombia dan Panama. Menurut UNICEF  jumlahnya tujuh kali lebih banyak dibandingkan jumlah pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara Negara tempat mereka ngungsi juga bukan negara kaya. Akibatnya keberadaan mereka menimbulkan masalah sosial baru.


Tahun 2009 saya pernah berbisnis ke Caracas, ibu kota Venezuela. Jadi sedikitnya tahu tentang politik di sana. Jadi kalau ada pertanyaan, mengapa sampai rakyat tidak mampu bersatu memilih pemimpin yang qualified memperbaiki ekonomi ? Jawabnya adalah tidak adanya tokoh pemersatu. Sementara sistem politik memang sengaja by design membuat masyarakat terpolarisasi.  Andai polarisasi itu didasarkan kepada idiologi mensejahterakan. Itu tidak ada masalah. Yang jadi masalah  adalah polarisasi itu terjadi karena faktor elektoral Pemilu. Karena memang setiap pemimpin yang tampil menawarkan populisme ditengah lautan rakyat miskin. Akibatnya yang menang ya bandit.


Setelah menang pemilu. para pemimpin baik di DPR maupun presiden tidak berusaha menjadi agent pemersatu. Tetapi justru mereka memelihara polarisasi. Setiap protes rakyat kepada pemerintah dibenturkan dengan masyarakat yang pro pemerintah. Setiap demo selalu dua kubu berada di tempat yang sama. Ini memancing benturan horisontal. Karenanya para akademisi dibalik group protes memilih menghindari Parlemen jalanan. Kaum oposisi di kriminalisasi. Dalam pemilu terakhir, yang berlangsung sengit, Presiden Nicolas Maduro menang besar dalam Pemilu Legislatif Venezuela. Partai sosialis yang ia pimpin memenangkan 67,7 persen suara.


Sementara Juan Guaido, Pemimpin oposisi Venezuela yang paling terkenal memang tidak dapat dukungan dalam Pemilu karena semua intititusi Pelaksana Pemilu dibawah kendali Maduro. Tetapi kekuatan masyarakat civil dari akademisi mendukungnya. International juga mendukungnya. Akal sehat mendukungnya. Nicolás Maduro sebagai presiden menggunakan popularitas dan kekuatan elektoralnya menghabisi karir Juan Guaido. Dia dituduh sebagai antek asing, antek AS. Dan terpaksa hengkang ke AS. Dia tidak akan kembali ke Venezuela.


" Dulu kakek saya " Kata sahabat saya Aliana di Caracas. " sangat membanggakan para pemimpin kiri Venezuela. Hampir semua kebutuhan kami disubsidi negara. Bahkan pengangguran dapat gaji. PNS dapat gaji sama dengan standar negara maju. Para buruh mendapatkan gaji diatas rata rata. Tapi berjalannya waktu, kami baru menyadari. Peradaban tidak bergerak ke depan bagi Venezuela. Tetapi bergerak mundur.  Negeri kami dihabisi oleh mindset korup.Bukan hanya pemimpin disemua lini yang korup tetapi juga semua rakyat Venezuela menikmati korupsi itu lewat Bansos yang tidak rasional dan subsidi yang meracuni kemandirian.  


Ramon sahabat saya di Panama mendengar itu mengerutkan kening. Dia geleng geleng kepala.  Mungkin dia tidak habis pikir. Bagaimana Aliena yang terpelajar mengeluhkan sesuatu yang sudah terjadi. Padahal dari dulu para cendikiawan dan akademis sudah mengingatkan. Bahwa tidak ada masa depan bagi Venezuela. Kemakmuran yang dijanjikan politisi itu hanya omong kosong. Karena saat mereka bicara, mereka sedang meniduri pelacur dan mulut bau Tequila dan mereka berpesta diatas tumpukan surat utang negara yang tidak terkendali. Walau ratio utang terhadap PDB Venezuela hanya 30%. Tetapi saat harga komoditas jatuh, cash flow macet. Kejatuhan ekonomi pun terjadi.


Padahal demokrasi dan Pemilu itu, kata Ramon,  sejatinya adalah proses pendidikan politik bagi semua orang. Agar setiap orang yang punya hak pilih melakukan perbaikan dan perubahan secara akal sehat. Bahwa apapun yang gratis dari pemerintah itu bagian dari korupsi dan destruktif terhadap hukum kausalitas. Dan ketika kaum cendekiawan yang tidak memihak di stigma partisan, itu artinya negara sudah kehilangan akal sehat, termasuk rakyatnya. Kehancuran adalah keniscayaan. Hanya masalah waktu. 


Dulu nasionalisme rakyat Venezuela sangat militan seperti militan kaum kiri. Tetapi kini mereka eksodus ke luar negeri. Nasionalisme yang meraka pahami selama ini ternyata menjadikan mereka pengungsi di negeri orang, menjadi stateless.. Ya dosa keturunan dari sikap orang tua mereka yang bodoh dan diamnya orang baik. Hanya akan melahirkan pemimpin bandit dan gerombolan gengster, demikian kata Ramon . 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.