Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan alasan sederhana. Yaitu memberikan ruang kepada rakyat atau civil society untuk menggugat adanya UU yang dibuat oleh DPR bersama sama dengan pemerintah. Mengapa? Karena dalam demokrasi yang sehat, civil society dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dalam system kekuasaan. Jadi MK ini semacam Check and balance penguasa ( pemerintah dan DPR) di hadapan pemilik kekuasaan (rakyat) secara langsung.
Mengapa ? rakyat kan patuh kepada negara. Patuh bayar pajak dan trust terhadap IDR / mata uang. Patuh kepada Presiden. Bukan karena pemerintah dan DPR, tetapi karena adanya konstitusi atau UUD. Nah, tidak semua rakyat paham apa itu UU. Namun mereka bisa merasakan keberaaan UU itu. Apakah mensejahterakan atau malah diperlakukan tidak adil. Kalau dirasa tidak adil. Ya mereka ajukan gugatan atau Yudicial review ke MK. Itulah indahnya demokrasi. Ada cara terpelajar menggugat rezim tanpa harus chaos.
So, MK itu sebagai cara mengantisipasi adanya demokrasi liberal, yang bisa membunuh demokrasi lewat proses demokrasi. Artinya jangan sampai DPR dan Presiden sebagai Lembaga Demokrasi justru menjadi pembunuh demokrasi, hanya karena mereka bersekongkol atau oligarki. Itulah dasar awal ceritanya proses terbentuknya MK di Amerika serikat, dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796. Dan kemudian diterapkan oleh Indonesia dalam amandemen UUD 45.
Kini hampir semua negara demokrasi punya Mahkamah Konstitusi, terutama ketika negara itu melaksanakan konsep OECD dalam hal demokratisasi ekonomi lewat Standard Government Financial Statistic. Mengapa? Karena sejatinya investor sama juga dengan rakyat pada umumnya. Mereka tidak percaya kepada presiden dan DPR. Mereka hanya percaya kepada konstitusi ( UUD) yang umunya sangat ideal dan pro demokrasi atas dasar keadilan bagi semua. Makanya kasus penolakan DPR bersama pemerintah terhadap keputusan MK itu dianggap pembangkangan terhadap konsititusi. Itu berdampak negatif terhadap kurs dan yield surat utang negara. Ujungnya bisa distrust terjadap IDR dan SBN.
Makanya ketika MK meloloskan Gibran sebagai Cawapres, walau disikapi denga pahit dan marah. Namun Partai pengusung capres dari Ganjar dan Anies serta civil society tidak bisa berbuat banyak kecuali mematuhinya. Walau kemenangan paslon Pragib dinilai tidak bersih. Keputusan MK memenangkan mereka. Tetap dipatuhi walau berat. Kalaupun ada kecurigaan keputusan MK di-intervesi oleh ketua MK, diuji bukan oleh pihak lain, tetapi oleh MK sendiri melalui Mahkamah Kehormatan MK. Dan itu harus dipatuhi. Tidak bisa dibanding atau digugat oleh Lembaga lain atau MA. Begitu seharusnya. Tegaknya Konstitusi adalah jaminan berdirinya negara.
Saya yakin DPR dan President paham sekali soal keberadaan MK ini, yang lahir dari Rahim reformasi. Hanya saja selama ini mereka bisa seenaknya membangkang terhadap konstitusi dengan cara mempermainkan konstitusi lewat proses demokrasi yang legitimasi. Tapi mereka lupa. Civil society di Indonesia itu uniq dan lebih banyak sabarnya. Namun tentu ada batas kesabarannya. Sekali bergerak tanpa dikomando mereka melawan. Maka jadilah Gerakan moral yang massive. Kalau pemerintah dan DPR tidak patuh terhadap keputusan MK, maka yang terjadi, terjadilah. Chaos nasional. Ini bukan hanya soal politik tetapi soal ekonomi dan trust market. TNI pasti akan melindungi rakyat dan moncong senjata akan diarahkan ke istana. Rezim pasti jatuh!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.