Ada seorang teman bertanya kepada saya. “Mengapa berita media massa tentang ekonomi tidak sesuai dengan fakta dan yang dirasakan rakyat?” Saya tersenyum. Tak langsung menjawab. Namun saya tahu persis apa yang sedang terjadi.
Pemerintah sedang menerapkan apa yang ditulis Robert J. Shiller dalam konsep narrative economics. Yaitu sebuah pendekatan yang menempatkan cerita, slogan, dan persepsi kolektif sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku ekonomi. Itu sama kuatnya dengan instrumen kebijakan formal.
Ketika pemerintah atau bank sentral mengusung tema seperti “Optimisme Baru, Ekonomi Tangguh dan Mandiri”, kita sedang menyaksikan praktik nyata narasi bekerja bukan sekadar sebagai dekorasi pidato, melainkan sebagai instrumen kebijakan yang berdiri sejajar dengan suku bunga, stimulus fiskal, atau intervensi pasar.
Mengapa narrative economics dilakukan?
Di saat ruang fiskal sempit, narasi menjadi penyangga murah untuk menahan ekspektasi publik. Ia bekerja seperti obat penenang, bukan obat penyembuh Dan lagi, ongkos intervensinya rendah (cheap intervention). Tidak memerlukan cadangan devisa. Tidak butuh perubahan APBN. Tidak menghadapi resistensi politik seperti reformasi struktural. Cukup mengongkosi influencer, buzzer, membuat konferensi pers, dan menggulirkan slogan. Dampaknya bisa nyata. Ya tentu dengan pra syarat : selama publik masih percaya, atau… tetap bodoh.
***
Dalam situasi krisis atau tekanan eksternal, ekonomi perilaku mengenal istilah compensatory signalling. Ketika kapasitas tindakan terbatas, volume retorika dinaikkan. Inilah yang kini terlihat pada presentasi resmi pemerintah. Grafik dipilih yang paling ramah visual. Dipilih indikator yang paling jinak, misalnya headline inflation, bukan inflasi pangan, surplus ekspor bukan trend surplus yang dari tahun ke tahun menurun. Tema besar yang diusung adalah resilience, agility, optimism.
Dalam teori komunikasi kebijakan, ini disebut strategi menahan ekspektasi negatif. Namun strategi ini sering dibangun di atas fondasi structural yang rapuh. Sepeti ruang fiskal tergerus, suku bunga tinggi menekan kredit UMKM, pertumbuhan melemah, imported inflation merayap, risiko geopolitik meningkat. Di titik inilah narasi mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ketiadaan hard measures.
In bisa juga upaya melakukan ahead of the curve dengan cara memanipulasi pasar. Cara ini punya basis ilmiah seperti aturan aturan Taylor, model New Keynesian, forward guidance, kanal ekspektasi. Ya, narasi bisa menjadi alat kebijakan yang efektif. Banyak negara maju memakainya untuk mengarahkan ekspektasi inflasi, menjaga kepercayaan pasar obligasi, menahan spekulasi kurs. Namun ketika ruang kebijakan sempit, istilah ini berubah menjadi hanya narasi, bukan kalkulasi. Yang bergerak bukan lagi state policy rate, tapi state storytelling rate.
Dalam banyak negara berkembang, pola retorika yang muncul hampir selalu sama. Menegaskan bahwa shock eksternal sudah diantisipasi. Menampilkan indikator sektoral yang masih “aman”. Menonjolkan visi jangka panjang yang tak terukur. Menghindari pengakuan eksplisit atas keterbatasan kebijakan.
Inilah yang oleh Shiller disebut contagious economic narratives—cerita yang viral seperti kini sosok media darling dari Menkeu. Ia menular, menyenangkan didengar, tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar. Bahkan menciptakan policy complacency: rasa nyaman palsu yang membuat pembuat kebijakan menunda tindakan. Bahkan dalam konteks politik tertentu, narasi berubah menjadi mekanisme menghindari akuntabilitas.
Misal, pasar dan publik tidak lagi percaya. Karena ekspektasi lepas jangkar. inflasi dan kurs tak lagi tunduk pada proyeksi resmi. Kredibilitas terkikis. Karena pidato dianggap “jualan”, bukan sinyal kebijakan. Policy lag membesar. Publik tahun, langkah yang seharusnya diambil hari ini digeser menjadi tahun depan. Pada tahap ini, narasi menjadi inflasional. Ia membengkak, kehilangan daya, dan akhirnya justru mendorong ketidakpastian lebih besar.
Penutup
Ekonomi membutuhkan angka, analisis, reformasi, keberanian membuat keputusan sulit. Namun ia juga membutuhkan cerita—cerita yang menjaga psikologi publik dan menghalangi irrational panic. Tetapi narasi bukan pengganti produksi nasional, bukan substitusi cadangan devisa, bukan alat menutup defisit, bukan obat inflasi pangan, dan bukan jawaban atas ketidakpastian global. Narasi adalah energi tambahan, bukan infrastruktur kebijakan.
Jika narasi digunakan tanpa eksekusi, ia hanya memperpanjang ilusi stabilitas sebelum realitas menuntut harga yang jauh lebih mahal. Tetapi bila narasi dipadukan dengan tindakan struktural nyata, ia bisa menjadi jangkar ekspektasi yang kuat.
Pada akhirnya, narrative economics mengajarkan satu hal sederhana. Ekonomi bukan hanya tentang angka, tetapi tentang cerita yang dipercaya oleh rakyat. Namun rakyat yang cerdas dan melek literasi hanya percaya pada cerita yang memiliki bukti. Tanpa bukti, semua narasi hanyalah retorika, alias bandit pasar.

No comments:
Post a Comment