Tuesday, May 5, 2020

Jangan sampai seperti Venezuela

“ Tolong baca analisa saya.” kata teman via WA. Saya tahu dia kirim dengan lampiran tentang situasi ekonomi dan politik. Setelah saya baca, saya terpanggil untuk meladeninya diskusi.

“ Kalau kamu baca PERPPU 01/2020, ada tiga UU yang di bypass, yaitu UU APBN 2020, UU BI tahun 1999 dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.  itu masih sekadar rancangan dari Pemerintah. Meliat isinya masih banyak yang harus dicermati. Itu akan membahayakan sistem tata negara kita. Itu sebanya sampai saat ini belum ada pembahasan apa pun terkait Perppu antara Pemerintah dan DPR RI. “ katanya.

“ Kalau saya baca analisa kamu lebih kepada retorika dan penuh prasangka buruk kepada pemerintah. Namun kamu tidak pernah menyinggung betapa sekarang negara sedang menghadapi dua ancaman. Krisis ekonomi yang bisa berujung resesi da pandemi. “

“ Oh saya paham sekali soal ancaman itu. Saya minta kamu jangan campur adukan krisis ekonomi dan pademi. Itu dua hal yang berbeda. Jangan dijadikan alasan ketidaksiapan pemerintah sekarang karena pandemi COVID-19. Jangan dong. Akui saja keadaan sekarang yang membuat kita tidak siap secara ekonomi karena memang selama tiga tahun ini pemerintah gagal membangun fundamental ekonomi”

“ Sebaiknya kamu melihat faktor eksternal. Bagaimanapun kita menganut sistem ekonomi terbuka, yang tentu faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap kinerja ekonomi kita. Bahkan bukan hanya kita, tetapi juga dunia. Menurut OECD, sejak perang dagang antara AS-China, telah berdampak serius terhadap pertumbuhan ekonomi global. Laurence Boone, kepala ekonom di OECD, mengatakan ”Ketegangan perdagangan telah menggagalkan pertumbuhan global sejak tahun 2017. Apa yang terjadi sangat mengkhawatirkan," Nih lihat data OECD.  

Perang dagang AS-Cina berdampak kepada ketidakpastian bagi pasar keuangan. Ketidakpastian itu telah membebani kepercayaan investor di seluruh dunia, dan telah berkontribusi pada kerugian pada semua bursa utama. Pada tahun 2018, indeks Hang Seng Hong Kong turun lebih dari 13% dan Shanghai Composite merosot hampir 25%. Sebetulnya tahun 2019 ketegangan antara AS-China sudah mengendur. Ada harapa akan tercapai kesepakatan. 

Itu sebabnya indeks berangsur pulih dan naik masing-masing 12% dan 16% pada tahun 2019. Walau masih lebih rendah dari tahun 2018 namun harapan begitu besar pada tahun 2020, ekonomi dunia akan pulih kembali. Itu juga tercermin dari fostur APBN kita yang mematok pertumbuhan diatas 5%. Namun masuk awal tahun 2020, terjadi pandemi COVID-19, keadaan terus memburuk. Ekonomi bukan hanya slowdown tetapi shutdown akibat kebijakan social distancing dan lockdown. Jadi bukannya excuse soal pandemi. Tetapi memang masalah pandemi ini tidak pernah satupun negara di dunia ini mempridiksi akan terjadi. Dan karenanya tidak ada satupun negara siap. “

“ Tetapi mengapa sampai APBN defisit begitu besar dan menabrak pagu yang ditetapkan oleh UU 17/2003 tentang keuangan negara?

“ Kalau kamu baca data ekonomi makro secara global, pendapatan negara sejak tahun 2018 semua turun akibat perang dagang AS-China. Ini tentu berdampak pada defisit APBN. Bukan hanya kita tetapi seluruh dunia defisit. Walau begitu masih bisa diatasi karena ekonomi dan mesin produksi masih bergerak. Tetapi ketika pandemi COVID-19 melanda, Ekonomi Shutdown dan stuck. Negara dengan beban penduduk 260 juta seperti Indonesia sangat rentan terhadap penurunan pendapatan. Karena ini berhubungan dengan cashflow atau likuiditas. Sebulan saja stuck, itu ratusan triliun uang hilang. Apalagi kita menerapkan PSBB 3 bulan atau mungkin lebih. Itu besar sekali dana hilang, hilang bukan hanya untuk belanja pegawai dan sosial tetapi juga ongkos menjaga stabilitas moneter agar rupiah tetap dipercaya. Jadi wajar defisit melebar diatas pagu. Tetapi pelebaran hanya 5% dari PDB. Masih jauh lebih rendah dari negara G20 lainnya. “

“ OK lah. itu bisa dipahami. Masalahnya adalah aturan turunan dari Perppu itu berupa Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 juga tidak kalah kontroversialnya. Dalam Perpres tersebut dicantumkan dasar hukum pembuatannya, yaitu Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Perppu 1/2020. Dari sini dapat disimpulkan, tampaknya Pemerintah ingin mengebut sendiri dengan mengabaikan rambu-rambu hukum.”

“ Loh coba kamu berpikir secara sederhana. Lupakan dulu soal normatif hukum dulu. Coba lihat faktanya. Dunia usaha termasuk perbankan itu sudah suffering sejak tahun 2018 ketika Perang dagang AS-China dimulai. Coba liat penerimaan pajak, kan drop. Kalau pendapatan dunia usaha menurun, tentu berdampak kepada kinerja kredit bank juga menurun. Bukan tidak mungkin bank sudah berjuang selama dua tahun belakangan ini menahan tekanan NPL, dan puncaknya pada saat Pandemi ini. Kalau sistem perbankan dan keuangan rutuh, maka sistem apapun akan runtuh. Fiskal kita akan collapse. Utang pasti tak terbayar, dampaknya sangat sistemik. Itu sebabnya harus ada langkah extra ordinary untuk mengatasi masalah pandemi dan krisis ekonomi sekaligus.”

“ Tetapi mengapa dalam PERPPU 01/2020 itu menempatkan pemerintah sangat berkuasa. Tak bisa kebijakan pemerintah diperdata atau dipidanakan “

“ Kontek pasal dalam PERPPU 01/2020 adalah lebih kepada stabilitas moneter dan keuangan. Dalam konteks negara dalam keadaan genting, kalau semua kebijakan pemerintah harus mengikuti aturan hukum dan harus dapat persetujuan DPR, pasti semua kebijakan itu tidak akan efektif. Tahu sebabnya mengapa ?

“ Mengapa ?

“ Contoh, pemerintah memberikan suntikan modal dan likuiditas kepada Perbankan. Kalau ini mengikuti aturan, harus ada persetujuan DPR, belum sempat dana itu dikucurkan, orang sudah ramai ramai rush bank itu. Sekuat apapun bank, kalau di rush pasti  bangkrut. Kalau tadinya ongkos recovery 10, tetapi dengan di rush akan bertambah berlipat. Kita sudah pengalaman tahun 1998. Makanya perlu tindakan cepat dan terukur. Belum lagi, misal pemerintah memberikan suntikan uang kepada BUMN karena terjerat utang akibat ekonomi slowdown. Sebagian BUMN sudah IPO. Kalau sampai DPR tahu, pasti publik tahu. Apa yang terjadi? Pasti saham BUMN terjun bebas. Kerugiah lebih besar. “

“ Oh artinya pemerintah sengaja menyembunyikan kebobrokan perbankan dan BUMN  serta  dunia usaha ?

“ Bukan merahasiakan dengan tujuan jahat. Tetapi informasi dibatasi agar proses financial engineering dapat dilakukan efektif da efisien “

“ Engga ngerti saya “

“ Semua bisnis itu 90% adalah asset. Hanya 10 persen likuiditas. Tapi 10 % itu bisa menggerakan asset yang 90% itu. Karena 10 % itu, asset yang 90% bisa terus meningkat valuenya. Nah kalau sampai 10 % itu tidak ada, maka 90% asset itu bisa terjun bebas nilainya. Makanya tugas negara itu menjamin likuiditas uang dipasar agar 90% asset bisa terus dikelola dan ekonomi terus bergerak. “

“ Kamu belum jawab mengapa dibatasi informasinya  ?

“ Duh bisnis itu kan berhubungan dengan trust. Kalau sampai ada perusahaan atau perbankan dapat kucuran likuiditas, pasti kehilangan trust dari pasar. Apapun langkah pemulihan tidak akan efektif.  Makanya jaga likuiditas dan jaga trust. Itu tugas pemerintah disaat krisis melanda.

“ Nah sekarang saya paham. Terus bagaimana memastikan kucuran likuiditas itu tidak terjadi penyimpangan?

“ Akhir tahun kan ada L/K yang akan diaudit oleh BPK. Kalau ada penyimpangan pasti akan berujung ke KPK. Sistem kita itu sudah solid. Engga usah kawatir. Yang penting program stimulus itu disampaikan secara terbuka kepada publik termasuk besarannya. Dan dari sana mudah kok melacaknya. “

“ Ini semua karena Jokowi selama berkuasa jor joran membiayai infrastruktur sehingga ekonomi kita terjebak dengan utang, dan sekarang solusinya juga utang” 

“ Kalau kamu baca data. Jumlah utang selama era Jokowi tidak terlalu jauh bedanya dengan jumlah uang yang dibayarnya. Artinya, proses pembangunan di era Jokowi memang melanjutkan proses utang sejak negeri ini merdeka namun di era Jokowi utang lebih bermartabat. Kita memang berhutang namun syarat dan ketentuan kita yang tentukan. “

“ Kenapa engga cetak uang aja? 

“ Cetak uang mengatasi defisit, itu bisa saja. Ya namanya negara tentu suka suka saja. Tetapi mencetak uang jelas tidak sehat secara demokrasi. Karena tidak ada transfaransi. Semua ditentukan oleh negara. Kita terima uang aja. Hasilnya bisa dilihat yang terjadi pada Venezuela, Turki dan negara afrika lainnya. Karena tidak ada transparansi, uang yang dicetak itu melahirkan korupsi. Lebih banyak masuk ke konsumsi daripada ke sektor produksi. Maka yang terjadi adalah hype inflasi.”

“ Mengapa ?

“ Masalah negara itu bukan hanya soal uang. Tetapi juga masalah ekonomi. Uang itu hanya bagian dari sistem ekonomi. Jadi bukan pada cara bagaimana mendapatkan uang tetapi bagaimana sistem ekonomi bekerja menghasilkan uang. Cara yang paling efektif menciptakan demokratisasi dan transparansi pada uang adalah melalui utang. Dengan utang, ada parameter, jadwal cashflow, ada due diligent, ada tujuan dan standar kepatuhan lainnya yang harus dipenuhi. Begitulah sistemnya.

Sehingga negara tidak bisa seenaknya menarik utang. Kalau tidak jelas, tidak akan ada orang memberi pinjaman, dan uangpun tentu tidak ada. Artinya rezim engga becus. Sebaliknya semakin mudah negara menarik hutang, itu artinya semakin tinggi tingkat kepercayaan pasar kepada pemerintah dan tentu semakin likuid negara itu. Jadi uang itu adalah trust, bukan karena kekuasaan tetapi karena transparansi dan reputasi. “

“ Jadi selalu solusinya adalah utang? 

“ Utang adalah uang itu sendiri. Karena ia menciptakan likuiditas, baik untuk investasi maupun untuk konsumsi termasuk bayar utang dan bunga. Dengan itu proses pertumbuhan terjadi dengan ditandai meningkatkatnya PDB, dan tentu semakin besar akses kepada likuiditas akan membuat semakin besar peluang mencapai kemakmuran”

“ Mengapa AS dan Jepang bisa mecetak uang ?

“ Mereka create uang melalui sistem pasar uang. Mekanisme utang. Karena sistem pasar uangnya sangat likuid maka proses menarik hutang sama mudahnya dengan mencetak. Tetapi itu bukan berarti seenaknya create utang. Mereka sudah berada dipuncak persepsi tentang uang, yaitu membangun hegemoni melalui sistem yang kuat dan terpercaya. Makanya walau utang mereka diatas PDB, sistemnya mendukung.  Terbukti, sektor produksi terus tumbuh seiring terjadinya perluasan daya beli masyarakat dan meningkatnya investasi sektor real.” 

“ Paham saya. Sekarang mengapa DPR keberatan dengan PERPPU 1/2020? 

“ Sampai sekarang saya tidak tahu alasan konkritnya. Karena kalau hanya sekedar retorika hukum tanpa solusi, saya rasa bukan itu tugas DPR. Kalau memang DPR punya solusi lebih hebat dari pemerintah, ya DPR harus punya argumen itu. Tidak bisa hanya nyinyir tanpa solusi. Mereka kan mitra pemerintah, yang dibayar bukan hanya mengkritik tetapi juga memberikan solusi. Selagi tidak ada solusi yang lebih baik mengatasi ekonomi dan pandemi, sikap DPR hanya omong kosong dan memang tidak punya niat baik. Ingat, terlambat merespon situasi negara dalam keadaan genting, ongkosnya mahal sekali. Ini menyangkut trust pasar.  Pasar itu sangat kejam menghukum. Sehebat apapun politik, bahkan agama sekalipun,  tidak ada yang bisa melawan pasar. Negeri ini bisa jatuh seperti venezuela. Paham ya”

" Saran kamu gimana ?

" Sebaiknya DPR setuju saja PERPPU 01/2020 itu dan jadilah mitra pemerintah yang efektif untuk mengawasi dan memberikan solusi. Singkirkan dulu pikiran untuk menjegal pemerintah. Kalau sampai pemerintah ini jatuh, siapapun yang berkuasa, akan sulit melakukan recovery dan prosesnya akan makan waktu panjang. Korban kemanusiaan sangat besar sekali. Lihatlah Venezuela. Orang menjual anak gadisnya demi sepiring spaghetti." 

“ Thanks, bro. Sangat mencerahkan. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.