Sebelumnya ketika krisis 2008, dunia bisa melakukan transformasi ekonomi dengan focus kepada perbaikan lingkungan, dengan istilah ecogreen. Dalam lebih 10 tahun terjadi kemajuan tekhologi energi diperbarui dan investasi meluas di sektor ini. Ketika harga minyak jatuh, dunia sudah sangat siap. Karena era energi fusil memang sudah seharusnya meredup. Kalau harga minyak jatuh. Itu tidak akan membuat dunia panik. Bahkan happy. Tetapi kalau harga pangan naik, itu akan jadi masalah serius. Krisis kesehatan COVID-19 telah menyebabkan krisis ekonomi, dan dengan cepat memperburuk krisis ketahanan pangan dan gizi. Dalam hitungan minggu, COVID-19 telah menunjukkan risiko, kerapuhan, dan ketidakadilan yang mendasarinya dalam sistem pangan global, dan krisis pangan sudah di depan mata.
Minggu lalu saya bertemu dengan teman yang juga trader pangan berbasis di Hong Kong.
“ Harga beras melambung tertinggi sejak 7 tahun lalu. Kenaikan harga beras itu sangat serius. Maklum itu makanan orang Asia kebanyakan. Akibat pandemic C-19, eksportir menahan penjualan, sementara pembeli berusaha ingin membeli banyak untuk menimbun stok. Menurut Asosiasi Eksportir Beras Thailand, harga dengan standar kualitas 5% beras putih pecah -naik 12% sejak 25 Maret. Itu harga tertinggi sejak akhir April 2013”
“ Mengapa terjadi kenaikan begitu tinggi ?
“ Itu disebabkan oleh ekspektasi permintaan yang lebih tinggi untuk beras Thailand setelah sesama eksportir top India dan Vietnam sama-sama nahan engga jual. Maklum mereka itu di Asia menghasilkan 90% dari pasokan beras dunia. “
“ Ya apa alasan sebenarnya nahan engga jual ?
“ Contoh di India, mereka kekurangan tenaga kerja dan gangguan logistik karena angkutan sulit. Vietnam juga sama. Nah Thailand masalahnya karena akhir 2019 terjadi kekeringan parah. Produkis turun sementara stok yang ada diborong oleh Trader untuk pasar Asia dan Afrika. Thailand adalah eksportir terbesar kedua di dunia setelah India dan Vietnam.”
“Wow…” kata saya melongo. “ jadi serius sekali ya.”
“ Problemnya bukan hanya dari segi ketersediaan stok tetapi juga sulitnya dapatkan angkutan ke pusat pelabuhan eksport. Dan yang lebih serius lagi adalah akibat adanya COVID-19 ini, masa tanam jadi tertunda. Kamu kan tahu. Pertanian ini tidak seperti sektor lain. Pertanian sangat dipengaruhi oleh waktu tanam dan panen. Durasi kalender penanaman dan panen sangat ketat. Jika musim tanam terlewatkan, tidak akan ada panen untuk sepanjang tahun. Bencana kelararan di depan mata."
“ Ya, benar itu. Amerika Utara, Eropa dan Cina sekarang menghadapi kekurangan tenaga kerja dan gangguan jalur pasokan untuk penanaman musim semi. Bayangkan, jika mereka melewatkan jadwal tanam, benar benar produksi drop dan harga pasti melambung.”
“ Nah bagaimana dengan Indonesia ?
“ Jokowi meminta jajarannya memperhatikan stok bahan pangan di masa pandemi COVID-19. Jokowi menyampaikan peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) soal ancaman krisis pangan akibat virus Corona. Apalagi tingkat swasembada pangan kami 54,8 pada tahun 2018. Ini sangat mengkawatirkan. “
“ Tapi, Bro” Sepertinya COVID 19 akan membuka tabir kekuatan ekonomi real dunia. “
“ Apa itu ?
“ Pangan. Mau tahu siapa penguasa pangan dunia sebenarnya?
“ Dari 24 negara eksportir utama pangan dan pertanian dunia ternyata 10 negara merupakan kelompok negara maju atau negara industri, yaitu: Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Kanada, Belgia, Italia, Australia, Selandia Baru, Inggris, Denmark. Jumlah negara tersebut akan bertambah apabila Rusia, Chili, dan Polandia dimasukkan. Artinya, perdagangan pertanian dan pangan yang bersumber dari negara maju mendominasi dunia”
“ Ya saya tahu itu. Yang menyedihkan. 17% lahan dunia yang layak tanam sepanjang tahun adalah Indonesia. Tapi dari 24 negara pengekspor pangan dan pertanian utama dunia tersebut, Indomesia urutan ke-24. Itupun hanya memberikan kontribusi terhadap nilai ekspor pangan dan pertanian dunia sebesar 1.0 persen pada tahun 1995 menjadi 1.1 persen pada tahun 2017. “
“ Nah, dengan komposisi perdagangan pangan dunia tersebut, dan disituasi krisis ekonomi bersamaan dengan krisis COVID-19, negara negara maju tersebut akan menggunakan bargain posisi mereka sebagai pengekspor pangan. Ini akan memacu kenaikan harga pangan dunia. WTO sudah mengkawatirkan hal ini jauh sebelumnya. Pada tahun 1993, selama fase terakhir negosiasi perdagangan Putaran Uruguay di bawah Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan, sebagian besar negara produsen pertanian menolak kebebasan negaranya membatasi eksport. Alasannya mereka lebih utamakan pasokan dalam negeri.
Bagi negara yang kaya dan populasi kelas menengahnya besar, kenaikan harga tidak ada masalah. Mereka tetap bisa beli. Tetapi bagi negara yang populasi rakyat miskin banyak seperti India, philipina kenaikan harga ekpor pangan aakn berdampak serius bagi rakyatnya. Dengan tingginya harga pangan dunia akan mendorong pengusaha melakukan ekspor dan memangkas suplai ke dalam negeri. Harga pangan dalam negeri tentu akan menyesuaikan dengan harga international. Hal itu menyebabkan kelaparan karena orang miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk makanan tidak akan bisa membeli makanan jika harga naik dua atau tiga kali lipat.
Untuk diketahui Amerika Serikat, Kanada dan Australia adalah raja pangan dunia. Mereka mengekspor sebagian besar dari output mereka. AS umumnya mengekspor 50 persen gandumnya, sementara tahun lalu Australia dan Kanada masing-masing mengirimkan 60 persen dan 70 persen produksi panganya ke luar negeri. “
“Wow..” Apa yang terjadi bila eksportir biji-bijian utama seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia mengurangi ekspor mereka? dan menjadikan hegemoni pangan sebagai bargain politik dunia. “
“ Ya, kalau mereka mengurangi ekspornya, harga pangan dunia akan melambung. Maka dapat dipastikan dunia ketiga seperti Timur tengah, Afrika, Asia akan mengalami krisis pangan.”
“ Tetapi menurut saya, dalam jangka pendek bisa saja menimbulkan kenaikan harga pangan. Tetapi tidak akan efektif sebagai alat menekan berjangka panjang. AS, eksportir pertanian terbesar di dunia, memperkenalkan pembatasan ekspor dua kali di masa lalu. Pada tahun 1973, ketika AS menderita akibat ikan teri yang digunakan untuk pakan ternak berkurang, AS melarang ekspor kedelai untuk memprioritaskan pasokan bagi petani ternak domestik. Jepang, yang membeli kedelai dalam jumlah besar untuk membuat miso, tahu dan kecap, terjebak dalam kepanikan. Khawatir tentang kemungkinan ketidakstabilan pasokan di masa depan, Jepang membantu Brasil mengembangkan lahan pertanian yang luas di daerah sabana yang luas. Produksi kedelai Brasil sejak itu meningkat tajam untuk dengan cepat mengungguli AS, yang digunakan untuk memonopoli ekspor kedelai.
Dalam perang dagangnya baru-baru ini dengan AS, Cina, importir kedelai terbesar dunia, mengurangi impor dari AS dan alih-alih membeli lebih banyak kedelai dari Brasil. Jika AS tidak mengekang ekspor kedelainya pada tahun 1973, AS dapat mempertahankan dominasinya di pasar kedelai global, dan China tidak akan berani menaikkan tarif impor kedelai dari AS. Pada 1979, AS melarang ekspor biji-bijian ke Uni Soviet sebagai sanksi ekonomi terhadap invasi Afghanistan. Tetapi Uni Soviet berhasil mendapatkan gandum dari negara-negara lain seperti Argentina, dan petani Amerika kehilangan pasar Soviet. A.S. mencabut larangan ekspor pada tahun berikutnya, tetapi kerusakan serius telah terjadi pada sektor pertaniannya, membuat banyak petani bangkrut atau berhenti bertani.”
“Apa artinya ?
“ Ya, tidak ada negara yang dapat secara strategis menggunakan batasan ekspor sebagai alat diplomatik atau politik kecuali ia memonopoli pasar ekspor.”
“Pantas saja. Setelah mendapat pelajaran dari kedua kegagalan itu, AS tidak pernah lagi mencoba memperkenalkan pembatasan ekspor sebagai senjata politiknya. Walau pengaruhnya sangat besar terhadap harga international.” Katanya.
“ Masalahnya, pasal 12 Perjanjian WTO tentang Pertanian secara efektif diabaikan oleh negara-negara anggota WTO. Sementara harga biji-bijian global naik tiga kali lipat pada , indeks harga konsumen untuk bahan makanan naik hanya 2,6 persen.”
“ Kalau begitu. Yang lebih penting bagi ketahanan pangan global adalah pengentasan kemiskinan dan perluasan produksi pangan di negara-negara berkembang. Ada dua elemen dalam ketahanan pangan. Satu, adalah apakah orang punya cukup uang untuk membeli makanan. Kedua, adalah apakah orang benar-benar dapat mengamankan atau memiliki akses ke makanan. Faktor-faktor ini dapat diulang sebagai akses ekonomi dan akses fisik. Negara miskin mungkin kekurangan keduanya. Penurunan pendapatan yang signifikan karena pandemi COVID-19 akan menyebabkan kenaikan harga pangan. Pandemi virus Corona yang sedang berlangsung dapat menyebabkan krisis pangan di negara-negara miskin karena masalah dalam akses ekonomi dan fisik. Gimana dengan Indonesia ?
“ Bagi Indonesia, setidaknya dengan adanya COVID-19 ini , harus benar benar menyadarkan pemerintah agar masalah ketahanan pangan bukan hanya politik dalam negeri mengamankan stok, tetapi memastikan nasip rakyat tidak tergantung dari impor. “
“Caranya ?
“ Memperluas hasil pangan dan diversifaasi pangan. Sumber daya pertanian seperti tanah pertanian harus diamankan dari serobotan lahan property dan industri. Peningkatan luas lahan pertanian harus serius diupayakan terus. Agar tingkat swasembada bisa mendekati 100%.”
“ Wah hebat. Kalau kejadian krisis pangan, kalian bisa menghentikan ekspor dan mengkonsumsinya secara domestik. “
“ Ketergantungan ketahanan pangan dari impor sangat beresiko terhadap NKRI. Suriah hancur karena diawali oleh krisis pangan.”
“ Benar kamu. Moga pemerintah Indonesia cepat menyadari ini dan segera bertindak. Setidaknya dengan adanya pandemic C-19 ini bisa menjadi pemicu restart sistem dan produksi pangan Indonesia. Harus berubah lebih hebat dong setelah pandemi. Masa engga paham juga peringatan Tuhan. Ambil hikmahnya. Sudah saatnya pemerintah lebih focus kepada petani.”
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.