Thursday, May 14, 2020

Kebijakan Ekonomi di tengah Krisis



Ada yang menarik ketika saya diskusi dengan teman. Kebetulan dia sedang sibuk mempersiapkan rencananya untuk investasi  Kawasan Industri. Keadaan ekonomi Indonesia sejak tahun lalu memang tidak begitu bagus. Menurut Moody's itu disebabkan oleh rendahnya penerimaan negara dan ini bisa berdampak kepada turunnya credit rating Indonesia. Ketergantungan Indonesia terhadap pendanaan eksternal dan struktur ekonomi Indonesia yang masih riskan terhadap siklus pada sektor komoditas. Kalau tidak ada trobosan berarti, maka tahun tahun depan, ekonomi Indonesia akan terjun bebas.

“ Selama ini pembangun proyek sebagian besar dilakukan di luar APBN dengan menjadikan BUMN sebagai ujung tombak. Tetapi dananya bukan berasal dari akumulasi laba dan setoran modal. Sebagian besar berasal dari utang. Sejak era Jokowi utang BUMN meningkat 100 % lebih. Sekarang utang BUMN sudah tembus Rp. 1 kuadriliun. Yang mengkawatirkan adalah 65% utang berupa obligasi dan sisanya utang langsung melalui kreditur luar negeri. Di tengah situasi Pandemic ini, penerimaan negara turun, hampir tidak mungkin ada celah untuk membantu BUMN. Kamu bisa bayangkan apabila BUMN dengan utang begitu besar, dan akhirnya default. Itu akan menimbulkan moral hazard . “ Katanya.

“ Saya rasa tidak perlu terlalu kawatir. Karena utang BUMN sekarang ini rasio  rata ratanya masih sangat rendah dibandingkan dengan total Asset nya. Yang bermasalah soal utang kan hanya PT Waskita Karya Tbk. (WSKT), PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), PT Adhi Karya Tbk. (ADHI), PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) dan PT Indofarma Tbk. (INAF). Yang lain masih sehat walau memang kesulitan likuiditas. Secara bisnis engga salah. Itu hanya masalah struktur permodalan yang tidak sehat. Solusi juga tidak sulit. “

“ Engga sulit? gimana ? Kan engga mungkin mereka bisa berhutang lagi. Lah kondisi neracanya engga sehat. Engga mungkin right issue, lah harga sahamnya lagi jatuh. Belum tentu ada yang mau beli. PMN juga sulit. Karena mereka sudah IPO. Apalagi untuk dapatkan PMN, prosesnya di Kemenkeu dan DPR tidak mudah. Utang bank jelas susah. Mana ada bank mau kasih perusahaan yang sakit. “

“ Kalau begitu mereka bisa menerbitkan preferred stock untuk refinancing utangnya. “

“ Preferred stock ? Apa itu ?

“ Ya semacam obligasi yang basisnya saham, atau instrument utang  bersifat hybrid.”

“ Apa bedanya dengan Obligasi ?

“ Bedanya, dia tidak ada bunga dan tidak ada jatuh tempo, namun penerbit preferred stock  bisa melakukan buyback. Namun Pemegang preferred stock berhak mendapatkan deviden lebih dulu atas laba yang ada. Kalau terjadi bangkrut, pemegang preferred stock punya hak dibayar lebih dulu. Dan kalau kelak saham dalam kondisi bagus. pemegang Preferred stock dapat menukarnya dengan saham biasa. Ya mereka punya hak preferen. “

“Emang siapa yang mau beli ?

“ Loh pasti banyak yang mau beli. BUMN itu kan bisnisnya captive. Tidak ada masalah soal marketing. Kalau likuiditas mereka bagus, struktur permodalan mereka sehat, kan engga sulit dapatkan laba, dan bisa tumbuh cepat. Selama ini mereka terjebak biaya tetap berupa cost of money yang besar, sehingga tidak  efisien. Dan lagi dengan mereka mengeluarkan preferred stock, otomatis kebijakan restruktur bisnis dan management akan berlangsung efektif. Investor pasti menuntut transparansi dan akuntabilitas. Semakin besar preferred stock diterbitkan semakin kecil pihak politik ngerecokin. Kan bagus.” 

“ Tapi faktanya sumber utang BUMN lebih banyak dari luar negeri. Itu artinya sumber dana dari dalam negeri sulit. Apa iya semua tergantung investor asing beli preferred stock itu.? Lama lama BUMN kita dikuasai asing. “

“ Dana dalam negeri itu banyak. Contoh dana pensiun tahun 2019 totalnya mencapai Rp273,9 triliun. Uang sebanyak itu lebih dari cukup mengatasi BUMN yang bermasalah. Tinggal pemerintah membuat kebijakan pelonggaran portfolio investas bagi Dapen. Lebih bagus lagi dengan adanya PERPPU 01/2020 yang sudah disahkan jadi UU, pemerintah bisa memberikan program penjaminan agar resiko Dapen jadi kecil atau sesuai dengan aturan dari OJK. Beres, kan. Nanti kalau BUMN sudah sehat, bisa refinancing lewat bank “

“ Apa iya bank kita ada duit ?

“ Loh kamu baca aja data rasio kredit terhadap PDB, masih berkisar 46%. Itu terendah di dunia. Bandingkan dengan Vietnam rasio kredit terhadap PDB mencapai 141%.  Artinya perbankan kita masih punya ruang besar untuk ekspansi “

“ Kenapa selama ini tidak dilakukan ?

“ Itu karena sikap hati hati pemerintah yang merantai tangan bank agar tidak terjadi seperti tahun 1998. Namun dengan adanya PERPPU 01/2020 yang sudah disahkan DPR itu, OJK bisa longgarkan rantai itu melalui pelonggaran Giro Wajib Minimum dan CAR.  Dengan demikian bank punya likuiditas untuk ekpansi kredit.”

“ Bagaimana dengan dampak penurunan pendapatan dunia usaha akibat PSBB? Kan bisa terancam macet kredit mereka di bank?

“ Dengan disahkannya PERPPU 01/2020 menjadi UU, terjadi relaksasi,  likuiditas bank sudah bisa dibuat longgar dan masalah kredit dunia usaha yang terancam macet  akan bisa ditalangi pemerintah lewat program stimulus, yang mencapai Rp. 150 Triliun. Sehingga resiko NPL bisa diatasi. Bank tetap sehat dan tetap tangguh sebagai sumber pembiayaan”

“ Wah artinya semua resiko akibat adanya krisis dan pendemic ini sudah diperhitungkan pemerintah, lengkap dengan solusinya.”

“ Benar dan itu berkat disahkannya PERPPU 01/2020 jadi UU. Kalau engga, Indonesia bisa masuk resesi seperti tahun 1998, bahkan lebih buruk”

“ Gimana dengan tanggapan oposisi dan pengamat yang menolak PERPPU 01/2020, yang katanya memberikan imunitas kepada Menteri dalam membuat kebijakan? 

“ Hak imunitas itu ada pada kebijakan Pejabat, yang bersifat kolektif. Kamu kan tahu. Team KKSK itu kan terdiri dari Menteri Keuangan, BI, OJK. LPS. Nah kalau karena kebijakan itu terbukti menguntungkan mereka maka itu jelas masuk ranah hukum pidana korupsi. Tetapi kalau tidak, apapun hasilnya,  kebijakan itu tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana. Sebetulnya sama dengan jabatan Gubernur dan Bupati dimana kebijakan politik tidak bisa diadili, kecuali perbuatan korupsinya. Jadi harus pahami perbedaan antara kebijakan publik dan perbuatan korupsi. Itu dua hal yang berbeda. “

“ Oklah. Setelah masalah likuiditas dan resiko BUMN serta dunia usaha bisa diatasi, lantas what next?. Kan bagaimanapun kita butuh arus investasi masuk. Kalau engga kebijakan sektor keuangan itu akan jadi beban APBN. Apalagi karena itu Pemerintah harus berutang sebesar Rp. 150 triliun. Dan ada kewajiban mengembalikan defisit APBN terhadap PDB sebesar 3% maksimum.”

“ Ya pemerintah sudah mempersiapkan jauh hari dengan mengajukan RUU Cipta Kerja atau UU Omibus Law. “ 

“  Kamu tahu kan, satu UU Omnibus Law  ini akan menjadi entry point untuk masuk ke 79 UU lainnya. Bayangkan kalau ada beberapa UU yang dijadikan sebagai Omnibus Law, berapa UU yang dapat dikendalikan langsung di tangan Presiden? Presiden akan menjadi sole maker of law. Timbul pertanyaan, apakah kewenangan pembuatan hukum merupakan bagian dari diskresi?  Mengingat output utama diskresi adalah action based policy,  bukan hukum. Bayangkan, Pasal 166 dan Pasal 170. Pasal 166 menyebutkan bahwa peraturan daerah bisa dicabut dengan peraturan presiden. Ada berapa banyak Perda yang jadi sumber pemerasan oleh elite PEMDA dicabut. Tentu Pemda akan meradang. Adapun Pasal 170 menyebut pemerintah dapat mengubah UU menggunakan peraturan pemerintah. Lantas dimana trias politika? Apakah ingin menempatkan presiden diktator secara konsitusi?

“ Menurut saya, terlepas dari itu semua yang diperdebatkan, keadaan sekarang di tengah krisis global dan terjadinya penurunan permintaan eksport serta semakin ketatnya likuiditas investasi global, kalau kita masih berpikir dan bekerja dengan metode trias politika, kita sedang mengubur diri kita sendiri. “

“ Mengapa? 

“ Karena kita berpacu dengan waktu. Berpacu dengan pertumbuhan penduduk. Berpacu dengan ledakan angkatan kerja. Berpacu dengan harga terus naik.”

“ Ya saya dapat maklumi. Andaikan DPR periode pertama kerja yang benar, dan ketua DPR serius kerja, tentu tidak perlu ada UU Omnibus Law, dan sekarang kita sudah booming investasi seperti vietnam. Tapi DPR kita yang lalu membuang waktu 5 tahun dengan omong kosong, sementara mereka menghabiskan APBN sebesar kurang lebih Rp. 25 triliun. Memanfaatkan sistem presidentil dan hak prerogatif presiden dalam membuat UU tidak salah. Apalagi disaat krisis. Entah kalau DPR dan oposisi memang tujuannya untuk menghambar ekonomi dan berharap hidup dari produksi UU yang bertele tele. “ Katanya.

“ Bro," seru saya " Di dunia ini apapun itu, stabilitas politik, keamanan, tergantung dari stabilitas ekonomi. Sejak dunia ini terkembang, konflik dan perang datang silih berganti, itu semua karena masalah ekonomi. Lahirnya idiologi, juga karena masalah ekonomi. Terbentuknya bangsa dan negara, itu juga karena masalah ekonomi. Cerai dan nikah, juga karena masalah ekonomi. Bicara ekonomi, artinya bicara soal survival. Apa artinya?, Kalau kita focus kepada ekonomi, maka masalah sosial, politik keamanan, kebahagiaan keluarga akan ikut. Jadi jangan di balik, bicara politik atau sosial atau keamanan atau agama, barulah bicara ekonomi. Kalau itu yang terjadi, pasti frustrasi.

Hal yang paling rasional di dunia ini adalah soal ekonomi. Mengapa saya katakan rasional? Anda boleh punya mimpi apapun. Membangun rumah tangga sakinah. Membangun negara di bawah lindungan Tuhan dan berkeadilan. Membangun bisnis membela buruh dan karyawan. Menciptakan kegiatan sosial yang membela orang miskin. Apapun itu. Tetapi kalau engga ada uang. Semua mimpi tinggalah mimpi. Sekuat apapun negara yang dibentengi tentara dan senjata, kalau ekonomi tumbang, semua ikut tumbang. Mau profesor, doktor, insinyur, ekonom, pengacara, tentara , apapun itu, kalau engga ada uang pasti bego.

Arab Saudi melepaskan dokrin agama yang sempit, membuang paham wahabi ke tong sampah, mengarah kepada moderenitas karena masalah transformasi ekonomi dari migas ke industri dan wisata. AS sebagai mbah kapitalisme, beralih ke market regulated, karena engga mau bangkrut dimakan kompetisi China. China yang komunis bertransformasi menjadi kapitalisme karena alasan ekonomi. Engga mau jadi konsumen tetapi produsen.

Apapun etnis, agama, idiologi, yang paling baik, bukan yang hebat dalam retorika tetapi yang bisa produksi dan mendatangkan manfaat ekonomi. Karena dari aktifitas produksi dan ekonomi itu, menurut Amartha Sen, keadilan sosial bisa tegak, keamanan terjamin, politik kondusif , kehidupan beragama bisa tegak, peradaban berkembang. Sebaliknya semakin bangga dan sibuk membahas soal etnis, agama, idiologi, semakin frustrasi kalau ekonomi lesu dan kantong bokek.

Anehnya di kita. DPR sibuk membahas RUU Ketahanan Keluarga, sementara hal yang maha penting soal UU Omnibus law diperdebatkan dengan sejuta argumen populis. UU Omnibus Law ini UU akal sehat, paling rasional. Ini soal ekonomi. Soal perut. Bahkan, sangking petingnya, draft RUU nya di back up dengan kajian akademis yang sangat lengkap. Paling tebal halamannya dibandingkan RUU lainnya. DPR harus focus ke ekonomi."

" Mengapa ?

" Walau ada UU ketahanan keluarga, UU Kerukunan agama, Pancasila, dengan pasal berlapis, kalau ekonomi jatuh, PHK terjadi di mana mana, bukan hanya rumah tangga, negeri ini akan bubar dengan sendirinya. Dan lagi mereka duduk di DPR itu engga gratis, Kalau engga ada uang, emang mau duduk. Kalau tanpa uang emang bisa duduk. Pahami itu. Jadi, berhentilah omong kosong.” Kata saya. 

“ Semoga DPR  bisa berdamai dengan krisis dan tanpa hambatan untuk mengesahkan UU Omnibus Law. Saya yakin seyakin DPR akan mensahkan PERPPU 01/2020. Memang benar, selain masalah ekonomi, semuanya omong kosong.”

" Amin. Jadi tetaplah semangat dan teruslah lanjutkan rencana investasi di kawasan industri. Kalau kamu lambat, orang lain akan masuk, dan itu bukan tidak mungkin asing." 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.