Friday, May 1, 2020

Prasangka baik.


Ada pengalaman yang tak terlupakan berbisnis dengan China. Tahun 80an saya membuka pabrik Corrugated Box bersama mitra saya dari Korea. Ketika itu usia saya 25 tahun. Dari ITC saya dapat informasi pemasoknya. Setelah berkomunikasi via TELEX, akhirnya saya memutuskan untuk terbang ke Shanghai. Teman saya menasehati agar saya berpikir 100 kali berbisnis dengan China. Mereka punya pengalaman buruk.  Orang China tukang tipu. Pelit dan engga commit. Lebih baik beli dari Singapore aja.  Walau harganya agak mahal tetapi kita aman.  

Tetapi dasar sifat saya dari dulu memang keras kepala. Saya engga mudah diprovokasi untuk takut. Saya berpikir sederhana. Singapore itu agent. Tidak punya barang sendiri. Mereka beli tentu dari China atau Taiwan. Kalau mereka bisa , mengapa saya tidak bisa. Apalagi saya ada uang untuk beli. Dulu era Mbah Harto untuk dapatkan izin ke China engga gampang. Walau kita sudah punya passport tapi kita masih diharuskan mendapakan exit permit dari pemerintah. Prosesnya tidak mudah.  Harus melewati BAKIN ( Badan intelijen Nasional) dan pengadilan. Itu semua saya lewati prosesnya.

Ini kali pertama kali saya pergi ke Luar negeri. Dan pertama itu, ke  China. Negara yang diaggap ancaman bagi rezim Soeharto. Semua masih serba membingungkan. Suasana bandara sangat crowded. Saya perhatikan, memang tidak ada disiplin. Tidak ada antrian. Orang beradu cepat menyelesaikan proses imigrasi. Tadi saya berharap sampai di bandara, relasi bisnis saya akan menjemput saya tapi ternyata tidak ada jemputan. Padahal dia sudah tahu eda dan eta saya.

Ketika sampai Hotel di kawasan pudong, saya segera menghubungi nomor telpnya. Dengan bahasa inggeris terbata bata dia memastikan akan segera menemui saya di hotel. Dari lounge executive, saya melihat seorang pria sebelum masuk pintu loby dia mengeluarkan sesuatu dari tas nya. Ternyata itu sepatu. Dia mengenakan sepatu dan segera masuk ke dalam loby. Jadi pria itu berjalan ke hotel ini dengan telanjang kaki. Saya tahu pasti pria itu adalah relasi bisnis saya. Karena ciri cirinya yang dia beritahu tadi via telp sangat tepat. Saya segera menegurnya. Dia tersenyum sambil mengangguk dan bersegera menyalami saya dengan hangat. Kami bicara sebentar di loby. Dia setuju mengajak saya kelokasi tempat gudang penyimpanan mesin yang akan saya beli.

Apa yang saya tahu ternyata itu bukan gudang tapi hanya toko dua lantai. Di dalamnya memang ada beberapa mesin corrugated boxes. Pemilik toko itu tidak mengenal dia sama sekali. Jadi saya paham saya sedang berbisnis dengan broker. Tapi dia tidak nampak sekalipun kawatir akan kehilangan peluang. Dia berusaha menjadi penerjemah ketika saya bertanya soal mesin itu kepada pemilik toko. Saya perhatikan mesin itu sangat sederhana dan tidak sulit dirawat di Indonesia. Banyak tekhnisi yang bisa perbaiki kalau rusak. Yang menarik harganya 60% lebih murah dari mesin buatan Taiwan atau 20% dari harga penawaran Singapre. Atau hanya 10% dari mesin buatan Jerman.

Nah sekarang bagaimana transaksinya ? Pemilik toko tidak paham LC. Mereka tahunya uang kontan atau TT. Saat itu memang saya ingat nasehat teman  agar hati hati berbisnis dengan China, terutama soal uang. Entah mengapa saat itu saya membuat keputusan untuk membayar tunai. Saya bayar tidak kepada pemilik toko tapi ke relasi saya itu. Kalau ternyata barang tidak dikirim ya sudah. Itu derita saya. Tapi saya berusaha menjalin akrab dengan dia. Saya usahakan agar dia nyaman bersama saya. 

Sorenya dia datang lagi ke Hotel saya bersama empat orang. Satu anak balita dan tiganya orang dewasa. Dia memperkenalkan bahwa yang balita itu anaknya dan yang lainnya istri bersama kedua orang tuanya. Dia datang bersama keluarganya hanya minta izin untuk numpang mandi. Karena sudah lebih seminggu mereka tidak mandi. Harga air sangat mahal di Shanghai dan PEMDA belum mampu menyediakan air untuk seluruh penduduk. Saya sempat tersenyum. Benar benar menderita mereka. Tetapi mereka punya semangat tinggi. Itu terpancar dari wajahnya.

Mesin yang saya beli itu memang datang sesuai jadwalnya. Tak ada satupun yang kurang. Diapun selama beberapa bulan selalu komunikasi dengan saya untuk sekedar menanyatakan apakah mesin yang saya beli ada masalah. Padahal saya tahu dia hanya dapat fee tak lebih 0,5 % dari harga Mesin. Tapi rasa tanggung jawabnya besar sekali. Beberapa bulan kemudian, dia tidak lagi menghubungi saya. Mesin bekerja dengan baik. Saya pun disconnect dengan dia.

Tahun 2008 saya bertemu lagi dengan dia di suatu KTV di Shanghai. Dia masih mengingat saya walau saya sudah lupa. Dia berusaha menceritakan kenangan masa lalu ketika menjual mesin. Bagaimana keadaannya tahun 2008? Dia sudah berubah menjadi pengusaha hebat. Pemilik KTV mewah. Dia juga punya 5 pabrik di Huangzou. Dia sudah kaya raya seiring berubahnya Shanghai menjadi kota terbaik di dunia. Sama dengan kota kota lainnya di CHina.

Walau dia sudah kaya raya namun sejak pertemuan itu dia terus berkomunikasi dengan saya, dan selalu luangkan waktu kalau ke hongkong untuk mengajak saya makan malam. Tetap rendah hati dan bersemangat. Balita nya yang dulu dia ajak kehotel saya untuk numpang mandi, kini sudah sarjana dan juga membuka pabrik di Zuhai. Sampai kini dia jadi mitra saya dalam bisnis, dan kami bersahabat. Dulu saya ambil resiko deal dengan dia karena lebih mendengarkan suara hati saya, dan dasarnya memang saya tidak pernah punya prasangka buruk. Cara berpikir saya sederhana. Kalau tidak ada cara lain untuk sebuah sollusi rasional, saatnya saya harus mendengar kata hati saya. Dan setelah itu saya berdoa dan berserah diri kepada Tuhan.

Kini memang Shanghai berubah segala galanya. Tak ada lagi kawasan kumuh berjejal di pinggir sungai. Kawasan kumuh itu sudah disulap jadi WTC berkelas dunia. Yang kumuh direlokasi ke kawasan modern dengan standar fasilitas umum yang manusiawi. Tak ada lagi angkutan bus yang penuh sesak dan kumuh. Tergantikan dengan MRT. Kota berubah dan peradaban berubah, mereka semakin yakin bahwa mereka di bawah kepemimpinan yang benar bukan hanya sibuk retorika dan cari kesalahan orang lain.Ya karena para pemimpinya membangun kota dengan cara terpelajar dan by design. Semua rakyat percaya bahwa tidak akan ada perubahan tanpa pengorbanan. Yang kini sukses menjadi pengusaha besar di Cina adalah mereka yang memang petarung pekerja keras dan rendah hati serta jujur. Mereka bagaikan ulat yang berada di dalam kepompong yang berusaha keluar dengan derita dan nestapa agar bisa berubah menjadi kupu kupu yang indah.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.