Friday, May 1, 2020

Bisnis dan pengendalian emosi



Aku sengaja datang ke Singapore karena dia tidak mau masuk Jakarta. Waktu makan malam dengannya di Marina bay hotel, dia berkata kepadaku ” Kamu tahu, Mr B,   bisnis model yang bagus itu bila berhubungan dengan emosi orang.”

“ Emosi apa itu ? kataku dengan mengerutkan kening.

“ Ada tiga yaitu pertama, rakus. Kedua, paranoid. Ketiga , tinggi hati.”.

Aku  tersenyum. Siap menyimak. “ Ok. Coba jelaskan” 

“ Ketiga sifat itu satu kesatuan yang membuat orang mau lakukan apa saja termasuk hal yang tidak rasional. Ketiga sifat tersebut akan selalu menjadikan bisnis model yang tak akan pernah sepi selagi dunia masih terkembang dan setan belum dimusnahkan. “ katanya.

“ So…”

“ Coba kamu bayangkan, kamu datang ke bank bawa duit. Petugas hanya kasih kamu secarik kertas sebagai bukti titipan dan janji akan dapat imbalam berupa bunga. Tanpa jaminan apapun. Tetapi ketika kamu mau pinjam dari bank, kamu harus gadaikan harta. Tanpa itu mereka tidak akan kasih uang. Tetapi mengapa orang mau tempatkan uangnya di Bank. Itu karena sifat rakus. Orang takut uangnya dicuri orang lain dan tak ingin uangnya tak menghasikan ketika dia lagi tidur.

Karena sifat rakus juga maka kamu selalu takut akan resiko. Resiko atas sesuatu yang belum terjadi menghantui pikiramu. Maka jadilah kamu paranoid. Makanya bisnis asuransi laku. Apapun ada jaminan resiko. Mengapa? Karena kamu menganggap apapun itu adalah milik kamu. Padahal apapun itu bukanlah milik kamu. Itu milik Tuhan. Kamu hanya dapat titipan. Mengapa orang berusaha menghadapi resiko lebih percaya kepada asuransi daripada kepada Tuhan pemilik sebenarnya? Karena itu akibat sifat tinggi hati. Merasa sombong apapun yang ada pada dirinya adalah miliknya. Sehingga takut berkurang atau hilang. Lebih luas lagi sifat tinggi hati bersatu dengan paranoid kepada orang lain. ini membuat kamu ingin berbeda dari orang lain. Maka apapun barang dan indentitas jadi serba eklusif. Pakaian harus bermerek khusus agar kamu pantas menjadi orang berkelas.”

Dia dan aku bersahabat. Tetapi persahabatan kapitalis. Aku terpaksa menjadi pemain watak agar nampak jadi korban buruannya. Agar dia percaya dan mau mendukung bisnisku. Dia mengelola dana besar dan dipercaya oleh beberapa private investor.

"Bagaimana dengan kamu " tanyaku, karena dia Yahudi. Ingin tahu sikap Yahudi.

“ Kami ? ” lanjutnya,” hampir semua konglomerat Yahudi punya saham di bank namun kami tidak pernah menyimpan uang di bank. Uang kami ditanam dalam bentuk portfolio saham diberbagai business. Jarang pribadi kami punya credit card walau sebagian besar konglomerat kami adalah provider cardit card. Kami lebih suka gunakan cash card atau autopay credit card yang tidak ada utang. 

Kami punya banyak perusahaan asuransi tetapi kami sendiri tidak menyerahkan resiko kepada perusahaan asuransi tetapi melalui program philantropi. Ya semangat berbagi agar Tuhan semakin sayang kepada kami. Tentu badan bisa sehat. Hidup aman.

Kami produsen barang bermerek tapi kami bukan konsumen. Kami tidak perlu naik pesawat first class kalau bisa economi class. Tidak perlu rumah mewah di lingkungan mewah kalau bisa tinggal lingkungan sederhana. Karena semua yang mewah, berlebih itu perlu ongkos mahal dan itu hanya untuk memuaskan emosi rendah dan membuat kita tidak rasional. Dari mindset itu kami bisa kuat tanpa diperbudak oleh diri sendiri yang rakus, padanoid dan tinggi hati.” katanya.

Aku tersenyum dengar celotehnya. Kami keluar dari restoran itu dan pindah ke bar.  “ Ya. Tuhan suruh kita memerangi sifat Rakus, paranoid, tinggi hati. Agar kita tidak menjadi hamba setan. “. Kataku ketika bayar bill. Dia lihat card ku. “ hmm.” dia mengedipkan mata. “ Black Card AMEX Centurion, Cash card. Ternyata kamu Yahudi juga.” katanya tersenyum. 

Mungkin karena minuman Macallan di cafe Sentosa Marina Bay Hotel, kupastikan dia benar benar mabuk. Kuantar dia kekamar hotel. Terdengar suaranya mendesiskan kata-kata aneh di bawah kucuran air dari gagang shower, kadang-kadang meloncat-loncat seperti kanguru, kadang-kadang melenggak-lenggok bagai Medusa menari di ujung jalan, dan tak jarang berdiri tegak seperti patung gladiator sesaat sebelum berkelahi dengan singa kelaparan. Aku sebenarnya keberatan melihat tingkah sablengnya, tetapi dia sahabatku.

”Jangan  takut disambar ikan setan?” Katanya. Aku mendengus tak mampu menyembunyikan kepanikan.
”Tak akan ada binatang buas dari samudra paling ganas yang berani memangsaku, Sayang. Hanya binatang rakus sepertimu yang boleh melahapku. Bukan gurita sialan. Bukan hiu urakan.Mengapa kamu tidak ikut menyelam bersamaku.?  ” Lanjut celotehnya. Aku tak segera menjawab pertanyaannya. Aku berusaha membalut tubuhnya yang bugil dengan kimono handuk hotel ketika dia keluar dari kamar mandi. 
”Selami aku, sampai dasar. Kamu akan tahu betapa dahsatnya sensasi itu.” Celotehnya seraya merebahkan tubuhnya di tempat tidur. 

Aku hanya tersenyum melihat gerakan erotisnya. Tanpa ada niat  membuka baju ikut cemplung ke dasar samudera.  Dia sedang stress. Perkawinan yang gagal. Untuk ketiga kalinya. Entah mengapa bisa begitu. Berkali kali ketika hubungannya memburuk dia sengaja mengajaku mendaki bukit. Mungkin dengan setengah terpejam, ia menyangka menggandengku dengan lembut sebagaimana Bapa Abraham membimbing putra terkasih ke gunung untuk disembelih. Mungkin ia malah membayangkan diri menjadi Musa yang menyeret rasa cinta untuk bertemu dengan Tuhan di Puncak Sinai.

Malam itu, tak kupedulikan setiap kata katanya. Dia menjulur-julur lidah dan tertatih-tatih menyusup ke telingaku seperti lipan kepanasan itu. Aku harus pastikan aku pria terhormat, tanpa ada niat menggoda dan menidurinya. Apapun godaan, itu akan berujung kehancuran. Aku akan di bawah kendalinya. Itu bahaya.  Karena sex dan emosi akan bertaut sehingga membuat business yang rasional menjadi irasional. Setelah dia tertidur, akupun melangkah keluar menuju kamarku sendiri. Kadang aku berpikir , kapan kehidupan seperti ini harus aku akhiri. Membujuk investor,  menggoda dengan melunakan hati, kadang merendahkan diri seperti budak. Merebut hati orang kaya tidak mudah, dan menjaganya jauh lebih sulit. Tapi tanpa mereka bagaimana bisa bisa berkembang?

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.