Saturday, June 13, 2020

Utang BUMN ?


“ Babo, katanya tahun ini utang BUMN jatuh tempo mencapai Rp. 600 Triliun.” Tanya nitizen.

“ Engga sebesar itu. Yang benar itu utang jatuh tempo dari bulan Mei sampai dengan Desember 2020 sebesar Rp. 30,35 triliun dari 13 perusahaan BUMN.”

“ OK. Maksud saya. Utang BUMN sudah semestinya dicatat sebagai utang negara, sehingga penanganannya lebih komprehensif. Dengan alur logika ini pula, total utang sektor publik menjadi Rp8.925 triliun. Dengan asumsi Produk Domestik Bruto 2019 sebesar Rp14ribu triliun, rasio utang sudah mencapai 63%.  Melebihi ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang membatasi rasio utang terhadap PDB di bawah 60%”

“ Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bahwa BUMN itu dasar hukumnya tetap mengacu kepada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Artinya kekayaan BUMN tidak menjadi bagian dari kekayaan negara. Dengan demikian utang BUMN pun bukan utang negara. Itu kalau kamu mau ikuti alur dari UU Keuangan Negara. Jelas ya. Utang BUMN yang utang BUMN. Engga ada kaitannya dengan utang negara.”

“ Boleh saja Babo bicara atas dasar UU bahwa utang BUMN bukan utang negara. Kalau faktanya BUMN gagal bayar obligasi, kan assetnya bisa disita."

“ Kalau gagal bayar, yang harus bayar adalah mereka yang pegang CDS dari obligasi itu. Bukan BUMN dan tidak mungkin ada sita menyita. Dan lagi dengan skema obligasi itu, tidak ada istilah gagal bayar. Yang ada ada refinancing atau extend atau recycle. Contoh Garuda punya obligasi USD 500 juta. Jatuh tempo kemarin, toh diperpanjang obligasinya. Inalum juga jatuh tempo utangnya. Mereka bayar dengan menerbitkan Bond lagi. Engga pakai uang kas. Selesai masalahnya. Biasa saja.

“ Kenapa bisa begitu ? Enak betul utang jatuh tempo, bayarnya pakai bond atau extend. “

“ Kalau kamu punya persepsi utang BUMN itu sama seperti utang ke pegadaian atau utang leasing atau utang KPR, bisa dipahami. Tetapi utang BUMN itu adalah utang korporat. Bukan utang emak emak kredit panci. Sebagian besar dalam bentuk Obligasi. Proses Penerbitan obligasi itu sangat ketat. Harus mengikuti standar kepatuhan tentang kelayakan bisnis serta rasio keuangan perusahaan harus aman. Kalau engga, OJK tidak akan keluarkan izin. Setelah izin keluar, juga harus dapat peringkat dari lembaga pemeringkat Efek. Kalau engga ada peringkat, engga ada yang mau jadi investor atas obligasi itu. Karena peringkat efek itu menentukan berapa premium CDS yang harus dibayar agar aman dari resiko gagal bayar. Premium CDS menentukan besaran Yield obligasi.”

“Wah rumit juga ya. Engga seperti bayangan kita orang awam. Terus dari data yang saya tahu, utang BUMN cenderung meningkat kencang seiring dengan kegiatan ekspansinya. Kementerian BUMN menghitung kenaikan utang BUMN akan menembus angka Rp5,253 triliun. Padahal total asset BUMN sebesar Rp. 8400 T.”

“  Dari total utang BUMN Rp 5.253 Triliun itu,  89% utang itu atau Rp4.478 triliun, berasal dari Bank BUMN, dan itu bukan semua utang dalam arti umum. Itu sebagian besar DPK atau dana pihak ketiga berupa simpanan, hingga kuartal I/2020, senilai Rp2.469,32 triliun. Jadi kalau dikeluarkan DPK, utang  BUMN hanya sebesar kurang lebih Rp. 2.784 Triliun. Sementara Asset mencapai Rp. 8400 T. Jadi secara akuntasi sangat solvable”

“ Kenapa DPK dikeluarkan dari utang ?

“ Karena kerjaan bank memang menampung uang dan menyalurkan uang. Itu bisnis bank. Biasa saja. Dan lagi resiko DPK itu ditanggung oleh LPS. Bukan negara. “ 

“ Duh segitunya. Apapun skemanya negara engga tanggung jawab. Kenapa beda dengan Swasta?

“ Sama saja. Banyak kok perusahaan swasta yang keluarkan obligasi. Ukurannya gede gede. Tetapi ya itu, tadi. Bukan soal BUMN atau rakyat. Ini soal mindset bisnis. Dan itu perlu ilmu pengetahuan yang mumpuni. Kalau kamu terjebak dengan ilmu kaleng kaleng, ya harus terima dikejar debt collector. Udahan ya..”

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.