Thursday, August 13, 2020

Pertamina, Inalum dan PLN konsorsium bangun Industri baterai



Kemarin diluncurkan program aliansi antara PT. Inalum, PT. Pertamina dan PLN untuk merespons transisi ke arah electric vehicle. Dalam kerja sama tersebut, Inalum akan fokus di hulu untuk memasok bahan baku sementara PLN akan fokus di hilir sebagai distributor. Sementara Pertamina berada di tengah-tengah prosesnya. Ini memang visi Jokowi yang dicanangkanya tahun ini sebagaimana yang disampaikan oleh LBP, Menko Maritim. Kerjasama BUMN Jumbo dari segi asset ini menunjukkan keseriusan pemerintah memanfaatkan SDA Logam Tanah Jarang sebagai sumber bahan baku baterai. Agar kegagalan masa lalu menjadikan Migas sebagai industry tidak terulang lagi.

Menurut OPEC, pada akhir 2018 cadangan minyak mentah dunia di bawah 1.500 miliar barel. Menurut Statista.com, tingkat konsumsi minyak mentah dunia adalah 36.719 juta barel per tahun (proyeksi 2019). Ini setara dengan sekitar 40 tahun minyak mentah (minyak & gas hidrokarbon) yang tersisa di cadangan. Artinya BBM dari fusil hanya masalah waktu akan habis. Harus ada energi baru, yaitu baterai lithium. Menurut USGS , terdapat 13.919 juta metrik ton cadangan lithium pada akhir 2018. Pada tahun 2025, diperkirakan kita akan mengonsumsi 422.614 metrik ton setara lithium-karbonat per tahun (naik dari 212.719 ton di 2016.). Dengan data ini ketika EV menguasai jalanan, harga baterai akan melambung karena bahan terbatas namun permintaan tinggi. Secara bisnis lebih dahsat dari bisnis oil. Ini akan jadi sumber kemakmuran bagi generasi kita mendatang.

Kita memang kaya akan bahan material untuk baterai, yang terdiri dari nikel, kobalt, dan mangan. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus kuasai tekhnologi baterai. Saat sekarang tekhnologi teruji dan handal adalah CATL ( Jerman), Panasonic ( jepang), dan LG ( Korea). Sebelumnya China sudah produksi baterai. China NCM 622 , yang dapat menghasilkan 240 watt jam per kg. Namun China engga puas. Karena chargernya lama, jarak tempuh engga jauh. 

Sekarang berkat R&D sejak tahun 2014, memang China sudah berhasil memodifikasi tekhnologi baterai dari jerman , CATL, yang sekarang 60 % pasar baterai di China merek CATL. China sudah melangkah jauh berkat tekhnologi dari Jerman. Baterai NCM 811 terbaru dari CATL, yang mengandung 80 persen nikel, kobalt 10 persen, dan mangan 10 persen, dapat mencapai 340 watt jam per kilogram - ukuran utama untuk kepadatan energi.

Bagaimana agar kita dapat unggul dalam industri baterai ini? Saya punya usul tiga saja.

Pertama. Sebaiknya kita menggunakan tekhnologi dari China. Kini di dunia, China digaris depan dalam tekhonologi baterai dan jumlah kendaraan listrik (EV). Mereka lengkap sekali supply chain nya. Apalagi untuk wilayah seluas Indonesia, memang cocok belajar implementasi new energy dari China.

Kedua. Pemerintah harus menerapkan subsidi untuk mengubah minat masyarakat dari bahan bakar fusil ke EV. Seperti Konsumen dapat refund beli EV setelah sekian ribu kilometer. Bebas pajak penjualan. Bebas ongkos toll. Engga usah kawatir subsidi itu akan membuat tekor. Karena dampak subsidi itu akan menimbulkan pasar EV meluas dan otomatis menimbulkan supply chain tekhonologi baterai secara massive, melahirkan new business , sehingga ongkos produksi jadi murah.

Ketiga. PLN harus memperbesar dayanya agar bisa memasok listrik pada stasiun charging. Jadi jangan hanya targetnya listrik rumah dan pabrik tetapi juga energi terbarukan. Baterai bukan hanya untuk transportasi saja tapi juga bisa digunakan remote area untuk listrik rumah tangga. Ini penting. Karena semakin luas pengadaan stasiun Charging semakin mudah orang mengaksesnya, semakin nyaman orang menentukan pilihan EV. Setidaknya Pertamina yang sudah punya Stasiun Pengisian BBM ( SPBU), dapat beralih ke stasiun charging EV.

Hyundai Motor Group dan LG Chem Ltd bersama konsorsium CATL Volkswagen (VW), Mercedes, saat sekarang sedang mempertimbangkan membangun perusahaan patungan yang akan memproduksi baterai kendaraan listrik di Indonesia.  Kalau terlaksana, Usaha patungan pengembangan sel baterai akan menjadi yang pertama bagi Hyundai, dipandang sebagai latecomer relatif ke pasar EV. Ini menambah tantangan terhadap dominasi Toyota Motor Corp di Asia Tenggara, dengan pabrik baru di Indonesia yang dapat memproduksi kendaraan listrik. Total investasi diperkirakan mencapai USD 4 miliar atau Rp. 60 triliun.   Sementara China dan Jepang sudah bergerak lebih dulu di Morowali dengan Total investasi baterai litium  mencapai 7,8 miiar dolar AS atau lebih Rp. 100 Triliun. Jadi Pertamina, Inalum, PLN harus lebih hebat dari mereka. Jangan hanya jadi penonton dan retorika saja. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.