Proyek kereta cepat digagas oleh SBY namun dieksekusi oleh Jokowi. Alasan SBY waktu itu APBN tidak mendukung untuk pembiayaan proyek yang rencana akan dibangun oleh Jepang. Bahkan studi kelayakan dilakukan oleh pihak Jepang. Era Jokowi, skema pembiayaan dikeluarkan dari APBN. Jokowi memerintahkan menteri terkait untuk melakukan investor biding. Artinya siapapun yang punya uang silakan ikut tender. Skema pembiayaan yang ditetapkan pemerintah adalah B2B sesuai Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, dalam Pasal 4 Ayat (2) bahwa proyek tidak dibiayai atau dijamin oleh APBN. Konsesi 50 tahun. Setelah habis konsesi harus diserahkan kepada negara dalam kondisi clean ( tampa hutang).
Yang menang tender adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), merupakan kerjasama antara konsorsium China dengan konsorsium BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Komposisi saham PT. KCIC adalah PT. PSBI 60%, Konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd. dengan kepemilikan sebesar 40%. Pemegang saham PSBI adalah Wijaya Karya menguasai 38%, KAI dan PTPN VIII masing-masing 25%, dan Jasa Marga sebesar 12%. Konsorsium China terdiri atas lima perusahaan, yakni CRIC dengan saham 5%, CREC sebanyak 42,88%, Sinohydro 30%, CRCC 12, dan CRSC 10,12%.
Pembiayaan proyek, 25% dari equity dan 75% dari pinjaman yang berasal dari China Development Bank ( CDB). Ini skema non recourse loan. Artinya proyek sebagai Collateral.Kalau total pembiayaan proyek sebesar USD 6,07 miliar atau Rp. 85 triliun maka equity sebesar Rp.21,25 Triliun. Artinya 60% harus disediakan oleh PSBI, atau sebesar Rp. 12,75 triliun. Dalam prosesnya ternyata studi kelayakan proyek tidak memperhitungkan kemampuan penyediaan 60% equity oleh PSBI. Padahal sudah ditegaskan oleh DPR bahwa tidak ada PMN atas proyek kereta cepat. Modal harus disediakan sendiri oleh BUMN.
BUMN ada yang setor modal dalam bentuk tanah seperti PTPN. PT KAI memanfaatkan lahannya seluas 32 juta M2 untuk dapatkan uang. Yang lain harus setor uang. WIKA sebagai pemegang saham terpaksa pinjam ke Bank untuk setor modal Rp. 4,6 triliun. Tapi yang lain tidak ada. Kemudian April 2017 Jokowi minta agar diadakan perhitungan detail untung rugi atas mayoritas saham itu. Alasannya proyek ini diluar APBN dan atas dasar konsesi. Jadi harus nol resiko. Apalagi Kereta cepat bukan jalan utama, tetapi jalan alternatif. Makanya Jokowi sarankan 10% saja saham PSBI dalam KCIC. Ternyata keputusan menteri BUMN tetap tidak berubah yaitu 60%. Akhirnya terpenuhi juga modal disetor.
Namun dalam proses pembangunan terjadi kenaikan biaya..Budget awalnya yakni senilai 6,07 miliar dollar AS. Rinciannya, sekitar 4,8 miliar dollar AS adalah biaya konstruksi atau EPC. Sementara itu, 1,3 miliar dollar As adalah biaya non-EPC. Namun, estimasi yang di buat pada November 2020 ternyata biaya tersebut meningkat menjadi 8,6 miliar dollar AS. Selanjutnya, berdasarkan kajian yang melibatkan konsultan pun memperkirakan biaya proyek itu akan kembali naik mencapai 11 miliar dollar AS. Hal itu lantaran adanya perubahan biaya dan harga, serta adanya penundaan lantaran pembebasan lahan. Upaya efisiensi dilakukan, pemangkasan biaya, hingga efisiensi pengelolaan TPOD hingga pengelolaan stasiun. Total biaya proyek kereta cepat ini bisa di press dari range total biaya 9 miliar dollar AS sampai 11 miliar dollar AS itu bisa di press menjadi 8 miliar dollar AS. Otomatis pemegang saham harus keluar uang untuk tambahan biaya itu. Kalau harus pinjam lagi dari CDB, maka harus tambah modal disetor sebesar 25% lagi. Sebesar itu, PSBI harus setor lagi modal Rp. 4,3 triliun dan China sebesar Rp. 3 triliun. Sekarang pemegan saham PSBI terpaksa cari utang lagi.
Kalau dilihat dari proses pembangunan kereta cepat. Terjadi kesalahan para menteri dalam menterjemahkan Perpres Nomor 107 Tahun 2015 atas pembiayaan proyek KCIC. Seharusnya tidak perlu BUMN sampai pusing cari pinjaman segala untuk dapatkan saham mayoritas. Apalagi dengan mayoritas saham itu, artinya tanggung jawab lebih besar atas hutang kepada CDB. Jumlahnya mencapai Rp. 85 triliun. Porsi tanggung jawab BUMN sebesar 60% atau Rp. 51 triliun. Toh setelah 50 tahun kembali ke negara. Selama masa konsesi negara tetap dapat pajak 25%/tahun. Ngapain repot. ambil resiko segala. Apalagi walau sudah paham detail business model kereta cepat lengkap dengan TOD, mengelolanya jadi untung perlu knowhow. Apa BUMN punya pengalaman kelola TOD terintegrasi ? Engga dech.
Sementara China sudah untung jual bantalan kereta, rel dan gerbong, mesin bor, serta sistem elektronik untuk kontrol traffic. Diperkirakan 70% kembali ke CHina lagi tuh uang. China untung lagi dapat bunga pinjaman. Lantas mengapa BUMN dan menteri ngotot mau mayoritas saham ? Ya mau gampang kontrol pengeluaran pembiayaan, sehingga gampang di-mark up biaya kontruksi dan tanah. Karena kalau China mayoritas mereka cuman dapat tusuk gigi doang. Mental korup. Nanti kalau engga bisa bayar, China sita dengan nilai 75% doang ( non recourse loan). Pasti China minta tambahan waktu konsesi, seperti kasus di Malaysia dan Pakistan. Modal yang sudah disetor BUMN hilang begitu saja. Akhirnya China kuasai 100%. Saya kecewa karena Menteri dan direksi BUMNnya “ngerjain” presiden yang saya pilih dan cintai. Tega sekali mereka.
Saran saya, serahkan saja 90% saham kepada China Railway International dan uang PSBI yang sudah masuk bisa ditarik kembali. Atau lakukan divestasi saham BUMN di PSBI. BUMN cukup sebagai kotraktor profesional. Dapat jasa kotruksi. PTPN kerjasama optimalkan lahan yang mereka punya di Walini untuk dapat rente tanah. PT. KAI sebagai mitra operator. Dapat management fee kan. Jasa Marga focus urus jalan toll. Cepatlah lakukan restruktur saham guna me-minimize resiko negara. Be smart...bantu niat baik Jokowi.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.