Pemerintah melalui Menteri ESDM mengatakan bahwa program kompor listrik itu karena PLN oversupply. Diperkirakan hingga akhir tahun ini kelebihan pasokan listrik mencapai 6 Giga Watt (GW) atau 6 juta watt. Jadi program kompor listrik itu bukan untuk mengurangi subsidi Listrik tetapi semata mata cara untuk meningkatkan demand pasar, yang tentu mengamankan cash flow PLN agar bisnis PLN tetap sehat dan mendatangkan laba. Begitu prinsipnya. Mari kita bedah business PLN ini agar sedikit paham, apakah wajar PLN itu berbisnis secara fair.
PLN itu walau dia BUMN yang asetnya terpisah dari negara, namun bisnis process nya berkembang dan tumbuh berkat APBN. Saya katakan ini dengan indikasi tiga saja. Pertama. Pemerintah memberikan pinjaman lunak, memberikan jaminan penuh atas kewajiban pembayaran utang terutama kepada lembaga keuangan multilateral. Total utang PLN per juni 2022 mencapai Rp. 471 triliun. Kedua, pemerintah memberikan jaminan resiko atas skema KPBU ( Kerjasama Pemerintah Badan Usaha). Ketiga. Pemerintah memberikan jaminan margin, sehingga walau dijual dibawah harga pokok, selisih atas hak atas margin ditanggung negara.
Nah bayangkan secara sederhana kalau anda punya bisnis mendapatkan tiga fasilitas itu. Kira kira gimana? nyaman engga ? silahkan nilai sendiri. Sekarang mari kita masuk kepada pembahasan alasan pemerintah memberikan fasilitas itu. Oh ternyata fasilitas itu karena amanah UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkkan , Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Mari kita dalami secara sederhana. Apakah PLN sudah melaksanakan amanah UU tersebut. ? Berdasarkan Data Potensi Desa (PODes) tahun 2018, masih terdapat 2.275 desa dari 74.961 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Itu tidak termasuk 4.700 Desa di wilayah terluar. Sementara wilayah Indonesia Timur masih sebagian besar termasuk dalam wilayah dengan reliabilitas kelistrikan (jangka waktu suplai listrik) yang rendah atau di bawah 12 jam per hari.
Menurut Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyampaikan saat ini tercatat rasio desa berlistrik dari listrik PLN yakni sebesar 90,78%. Bahkan beberapa provinsi tercatat masih berada di bawah 80%, diantaranya yakni Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, sementara Papua dan Papua Barat masih di bawah 50% yang lokasinya sulit terjangkau.
Jadi kalau PLN bekerja seusai amanah UU, mengatakan oversupply, itu tidak benar. Demand tinnggi kok. Tetapi kalau PLN mengatakan oversupply karena alasan bisnih, nah itu benar. Mengapa? Karena untuk transmisi listrik dari gardu utama ke setiap rumah tangga, diperlukan investasi rata rata Rp. 25 juta. Nah bayangkan. Kalau pelanggan miskin dengan 450VA, itu setiap bulan hanya bayar Rp. 200 ribu. Kapan baliknya investasi? Hitung bunga aja udah rugi.
Artinya Oversupply itu bukan karena PLN tidak ada konsumen., Konsumen banyak. Tetapi engga semua qualified secara bisnis. Jadi sorry aja. PLN kan dibiayai dari utang. Mana mau kreditur memberi pinjaman kalau bisnis sosial. Itu sebabnya jangan kaget bila tanggal 13 september 2022, pemerintah hapus pelanggan 450 VA. Itu orang blangsat. Engga perlu listrik. Kalau mau, ya tambah daya jadi 900 VA. Ini bisnis kok.
“ Tapi kan PLN dapat fasilitas dari APBN. Seharusnya PLN lebih pentingkan melaksanakan amanah UU” Kata Istri saya.
“ Kan APBN juga dibiayai dari surat utang. Tentu salah satu syarat utang itu adalah mengurangi peran sosial negara kepada rakyat, terutama dalam hal tarif. Jadi UU itu hanya pemanis saja dan menjadi hambar ketika berhadapan dengan realitas. Bahwa uang berkuasa diatas segala galanya, termasuk terhadap negara.” Kata saya. Jadi kalau ada politisi bicara tentang Pancasila, keadilan sosial, pastikan anda engga bokek. Pahami itu biar engga kesel. Mengapa ? Kalau blangsat, engga ada ruang bagi anda mendapatkan keadilan sosial. Ini semua bisnis kok. Welcome to state capitalism.
So, kalau state capitalism murni engga ada masalah. Tetapi state capitalism memanfaatkan subsidi APBN untuk mengamankan kepentingan pengusaha lewat skema KPBU. Nah itu rente namanya. Siapa saja yang dapatkan keuntungan itu ? Sebanyak 20 proyek PLTU dari seluruh Indonesia telah ditelusuri oleh ICW. Sedikitnya 10 orang terkaya se-Indonesia berada di balik proyek pembangkit listrik. 12 orang di balik pembangkit juga terafiliasi dengan perusahaan di negara Tax Haven. Selain itu terdapat 3 orang pejabat publik aktif yang terafiliasi dengan proyek PLTU.
Di antara orang-orang dengan kekayaan luar biasa, terdapat nama Sandiaga Uno, Boy Thohir, dan Arini Subianto yang berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan Selatan. Mereka merupakan pengurus dan pemegang saham dari PT Adaro Energy Tbk. Selain itu terdapat juga nama Prajogo Pangestu di balik PLTU Jawa 9 & 10 sebagai pemegang saham mayoritas PT Barito Pacific Tbk. Prajogo merupakan orang terkaya ketiga versi majalah Forbes tahun 2019 dengan total kekayaan US$ 7,6 miliar.
Kita juga masih mengingat geger Paradise Papers & Panama Papers yang memunculkan dugaan adanya modus penghindaran pajak (tax avoidance) melalui negara surga pajak. Individu di balik PLTU turut ditemukan dalam database International Consortium & Investigative Journalists (ICIJ) yang memuat nama-nama orang di negara surga pajak. Di antara nama-nama tersebut terdapat Luhut Binsar Pandjaitan, Djamal Nasser Attamimi, Dewi Kam, dan Edwin Suryadjaya. Luhut misalnya, berada di balik PLTU Sulbagut 1 & PLTU Sulut 3.
Adapun tiga orang pejabat publik yaitu Luhur Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi berada di balik PLTU Sulbagut 1 & PLTU Sulut 3 sebagai pemegang saham dan pengurus di salah satu perusahaan Grup Toba. Erick Thohir juga berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan selatan melalui afiliasi dengan saudara kandungnya Garibaldi Thohir. JK melalui Kalla group juga punya 1500 MW.
Solusi.
Saat sekarang PLN itu tidak jelas fungsi dan misinya. Walau secara UU untuk kesejahteraan rakyat namun pada waktu bersamaan melaksanakan fungsi bisnis. Jadi sebaiknya UU direvisi , khususnya dalam hal pemisahaan secara tegas fungsi komersial dan fungsi sosial. Sehingga PLN bisa direstruktur. Bila perlu buat dua PLN aja. Satu khusus komersial disebut PT. Indonesia Listrik ( persero) dan satu lagi sosial, disebut Perum PLN
PT. Indonesia Listrik ( persero) dapat focus melaksanakan praktek bisnis secara business as usual. Pasarnya ditujukan untuk konsumen rumah tangga kelas menengah dan atas, sektor industri dan manufaktur. Sehingga skema pembiayaan pembangunan Pembangkit listrik tidak harus lewat skema KPBU. bisa juga lewat financial engineering, bisa hybrid ( money market dan capital market). Tapi harus fair. Misal kalau lewat KPBU, ya kontrak PPA nya diubah. Harga sesuai pasar fuel. Kalau turun ya turun tarif. Kalau harga fuel naik ya naik tarifnya. Dan tidak ada kewajiban take and pay tapi proporsional sesuai demand pasar.
Perum PLN, lebih focus kepada energi terbarukan seperti Pembangkit Tenaga Air, Sampah, angin, energy surya. Karenanya infrastruktur harus disediakan pemerintah sebagai perwujudan pelaksanaan UUD 45. Ya Sumber pembiayaan berasal dari APBN. Pasarnya untuk konsumen rumah tangga kelas menengah dan UKM, dan daerah terpencil, pedesaan.
Saya yakin dengan dua model PLN ini, bisa cross subsidi. Keuntungan dari PLN komersial akan bisa mensubsidi PLN Sosial. Dan audit juga lebih jelas, karena kebijkan jelas. Mungkinkah?
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.