Thursday, March 16, 2023

Asal usul 300 T.?

 



Mungkin anda jarang mendengar istilah illicit financial flows (IFFs) atau dalam bahasa indonesia artinya aliran uang gelap ( ilegal). Tentu ini akan mudah dipahami kalau dikaitkan dengan isu penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion) dan pencucian uang dari aktivitas kriminal. Untuk lebih detail baca dech buku “Capitalism’s Achilles Heel: Dirty Money and How to Renew the Free Market System” Itu yang nulis adalah Raymond Baker. Dia juga pendiri Global Financial Integrity (GFI), lembaga think-tank yang bertujuan untuk mengkuantifikasi aliran keuangan gelap.



Saya tidak tahu pasti darimana angka Rp. 300 T itu, yang katanya dari PPATK.  Bahkan SMI sendiri berkata “ Mengenai Rp 300 triliun terus terang saya tidak lihat dalam surat itu tidak ada angkanya. Jadi saya engga tahu juga Rp 300 triliun darimana. Nanti saya akan kembali lagi ke Jakarta. Saya akan bicara lagi dengan Mahfud dan juga Ivan angkanya dari mana. Dengan ini saya juga punya informasi yang sama dengan anda semuanya, media, dan masyarakat," jelasnya. Sebenarnya tidak sulit melacak angka itu. Karena dengan UU TPPU, relatif tidak akan ada resistensi dari pelaku karena penelusuran menggunakan metode follow the money, bukan follow the suspect.


Baiklah saya coba uraikan sebagian data saja, yang tentu tidak pasti terkait dengan dana Rp. 300 T temuan PPATK


Batubara.

Laporan dari lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, “think and do tank”, berbasis organisasi masyarakat sipil, The PRAKARSA., memperkirakan total penerimaan negara yang hilang akibat praktik misinvoicing pada sektor batu bara mancapai Rp71,4 triliun. Angka tersebut diperoleh pada rentang 2012 hingga 2021. Perlu dicatat bahwa atas ekspor batu bara, Indonesia mengenakan PPh sebesar 1,5% dan royalti sebasar 5%. Akibat under-invoicing, terdapat kehilangan penerimaan dari ekspor batu bara senilai Rp6,7 triliun per tahun.


Ekspor ore Nikel. 

Dalam temuan yang diolah oleh Direktorat DNA KPK, terdapat temuan dugaan ekspor nikel di luar ketentuan. Dengan asumsi bahwa nikel yang diekspor merupakan low grade (kadar <1,7 persen), terdapat selisih atau kelebihan ekspor pada 2017 dan 2019, dengan nilai total 358 ribu WMT. Sehingga dimungkinkan tidak hanya nikel kadar rendah, namun terdapat nikel kadar tinggi yang diekspor pada periode relaksasi 2017-2019.


Dalam hasil analisis Direktorat DNA KPK lainnya, ditemukan bahwa dari sampling 400 vessel di pelabuhan bongkar China pada 2017-2019, hasil surveyor SGS menyimpulkan 62 persen dari 248 vessel memuat nikel dengan kadar nikel di atas 1,7 persen, sementara 25 persen dari 100 vessel memuat nikel dengan kadar di atas 1,8 persen. Dari jumlah tersebut terdapat 18 vessel dari Indonesia yang mengangkut kurang lebih 31 juta ton nikel dengan kadar di atas 1,7 persen.


Dalam temuan lainnya terdapat perbandingan data HS Code 2604, antara impor yang dirilis oleh Tiongkok dan data ekspor Indonesia yang menunjukkan masih terdapat nikel dalam bentuk ore yang diterima oleh Tiongkok pada periode 1 Januari 2020 hingga laporan ini dirilis. Sehingga ekspor ilegal bijih nikel sampai saat ini diduga masih terjadi meskipun larangan mutlak ekspor bijih nikel telah ditetapkan.


Sejak Januari 2020, sejumlah sekitar 4 juta WMT nikel dengan HS Code 2604 dilaporkan diterima oleh Bea Cukai Tiongkok dari Indonesia, dengan nilai USD229,8 juta--sekitar Rp3,2 triliun. Dari angka tersebut, negara kehilangan potensi penerimaan dari sisi royalti, bea keluar, dan penerimaan negara lain akibat bijih nikel yang seharusnya dapat dilakukan proses pemurnian namun diekspor secara ilegal. Berdasarkan berbagai temuan tersebut, dengan skema Peningkatan Nilai Tambah (PNT) untuk nikel kadar 1,7 persen maka negara kehilangan potensi royalti dan bea keluar sebesar Rp996 miliar pada 2019.


Cukai Rokok.

Sebagaimana hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021, dimana dinyatakan bahwa peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp 53,18 triliun/tahun. Kalau pihak riset mengetahui, kan lucu kepada aparat Beacukai tidak tahu. Entahlah. Atau mungkin mereka terlalu sibuk kejar target pajak yang ditetapkan menteri keuangan.


Investasi bodong.

Laporan Satgas Waspada Investasi (SWI), total kerugian akibat praktek investasi ilegal mencapai Rp109 triliun sepanjang tahun 2022 atau meningkat 44 kali lipat dari tahun 2021. Walau bisnis bersinggungan dengan OJK seperti, Kegiatan Equity Crowdfunding atau Securities Crowdfunding tanpa izin, Penawaran saham dengan skema money game, Duplikasi website atau nama perusahaan berizin, Kegiatan penasihat investasi tanpa izin. Namun hampir semua pelaku adalah perusahaan yang punya NPWP. Nah kalau sampai  ada korban senilai Rp 109 triliun/tahun, itu artinya patut dipertanyakan mengapa sampai terjadi kelalaian dan cenderung pembiaran oleh aparat Pajak. Dan sebagian besar korban tidak pernah dapatkan uang mereka kembali

 

Disclaimer : This article has nothing to do with the origin of the 300 Trillion that is considered a suspicious transaction. It is also not considered corruption and neither  TPPU.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.