Saya naik Gojek tadi siang. Supirnya mungkin usianya diatas 40 tahun. Dia ramah. Mungkin karena dia lihat saya orang tua. Punya mobil sendiri pak. Tanya saya. Dia menjawab bahwa ini bukan kendaraannya. Dia setor kepada pemilik kendaraan. Cerita berlanjut. Dia korban PHK pabrik Tekstil dan Produks Tekstil (TPT). Saya terenyuh. Memang berdasarkan data sejak sebelum COVID sampai April 2020 total PHK Industri TPT sudah mencapai 1,5 juta orang. Data sampai dengan kwartal pertama tahun 2023, sudah 163 Pabrik TPT bangkrut dan lebih seratus ribu kena PHK. Ini tentu menambah deretan angka kemiskinan baru. Mengapa? apa sebab?
Saya akan uraikan secara sederhana.
Pertama. Sejak era Soeharto sampai sekarang, industri TPT kita belum beranjak dari industri substitusi impor. Belum berada pada level industri value. Di tengah arus kompetisi yang keras dari otomatisasi TPT China, dan dengan bangkitnya Vietnam sebagai kekuatan TPT di ASEAN, daya saing TPT kita pastilah keok. Walau impor TPT dipajaki tinggi, kurs rupiah melemah, tetap saja jauh lebih murah impor daripada produksi dalam negeri.
Kedua. Sejak Era Soeharto, kita tidak membangun industri TPT berbasis riset. Pertumbuhan supply chain dalam negeri tidak berkembang. Jangankan supply chain untuk produk branded berkelas dunia seperti bulu angsa, kancing kerang, untuk yang tradisional saja seperti Kapas, benang, dan serat alami, serat sintetik kita masih impor. Makanya jangan kaget bila ekspor TPT meningkat, tapi impor juga mingkat. Nilai tambahnya hanya pada daya serap angkatan kerja, itupun upah murah. Sedikit saja terjadi goncangan supply chain global, oleng. Sedikit saja pasar menyusut, nyungsep. PHK rame rame.
Dengan dua hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sejak era Soeharto sampai kini kita tidak membangun dengan visi industri. Jangankan bicara hitech, TPT aja yang industrinya midletech, kita engga mampu mengembangkannya. Padahal kita sudah menerapkan kebijakan industri substitusi impor sejak tahun 80an dengan beragam proteksi agar TPT bisa mandiri dan berkembang. Ternyata malah makin berganti presiden semakin terpuruk. Kalau mau jujur kita berhitung. Industri downstream mineral yang kita banggakan itu nilai tradable jauh lebih kecil dibandingkan dengan industri TPT yang padat karya. Apalagi kalau dibandingkan nilai investasi terhadap daya serap tenaga kerja. Pastilah timpang sekali. Tapi mengapa industri padat karya itu sampai jadi terabaikan?. Mind corruption, penyebabnya.
Jadi apa yang dapat disimpulkan? Kejatuhan TPT sudah alamiah efek dari globalisasi. Secara struktural Industri TPT kita memang tidak punya daya saing apapun terhadap produk impor. Kebijakan tarif tidak efektif lagi meningkatkan daya saing produksi dalam negeri. Udah terlalu jauh ketinggalan dibandingkan Vietnam, apalagi China. Ini dosa kolektif kita semua yang pernah dipimpin 7 presiden.
Tapi karena ini tahun politik. Ya ditengah ketidak berdayaan pemerintah merestruktur Industri TPT, memang lebih mudah salahkan rakyat yang impor pakaian bekas. Padahal impor pakaian bekas tahun 2022 hanya Rp 4,2 miliar. China jual secara daring ke konsumen indonesia, door to door mencapai Rp 6,2 triliun. Pedagang kecil dilarang. Sementara business Unicorn tidak dilarang, malah dibanggakan. Padahal mereka penyedia market place pakaian impor dengan harga lebih murah dari produk pakaian dalam negeri.
Itulah mind corruption. Yang lemah ditindas, yang kuat dipuja, dan kebodohan tidak diakui.
***
Dulu awal tahun 90 saya punya pabrik garment kerjasama dengan Korea. Pasar ekspor bagus. Karena AS memberi indonesia fasilitas GSP, insentif tarif impor rendah. Jadi banyak relokasi pabrik garment dari negara maju ke Indonesia. Mereka manfaatkan fasiltas GSP itu. Kita hanya tukang jahit doang. Tidak lama, saya tutup pabrik itu. Mengapa? repot amat. Semua bahan kita impor dari luar negeri. Telat masuk bahan produksi, ekspor bisa telat, dan kita kena finalty buyer. Permintaan tinggi, tapi kapasitas rendah. Karena birokrasi impor dan logistik yang brengsek. Ini bukan kerja tapi dikerjain.
Tahun 2004 saya hijrah ke China. Modal saya hanya network buyer eksport garment. Saya tidak ada Modal untuk bangun pabrik. Mau jadi trader sulit karena engga ada uang untuk membeli garment dari pabrikan. Saat itu di China. Memang banyak orang korea, jepang, bahkan eropa melakukan bisnis di shenzhen. Umumnya usia mereka dibawah 40 tahun. Jadi bagaimana merealisasikan peluang menjadi uang tanpa modal besar? Apalagi di negeri orang.
Teman di China menyarankan saya untuk mendatangi Export National Agency yang bertugas memberikan solusi pembiayaan ekspor. Dari Agency saya diberi skema pembiayaan supply chain yang terhubung dengan perbankan dan lembaga pembiayaan lain. Saratnya sederhana saja. LC dari buyer harus menyebut dokumen sertifikat Credit Export available. Aha ini dia jalan ke sorga. Saya bisa lakukan business makelon. Produsen tanpa pabrikan.
Atas rekomendasi Export national agency maka saya yakinkan buyer saya di eropa untuk menandatangani long term contract dengan saya. Mereka setuju dengan syarat pembayaran 6 bulan dalam bentuk usance LC. Atas dasar LC tersebut saya dapat cheque kosong untuk jaminan pembayaran kepada supply chain, yang terdiri dari : Kapas, serat, bahan kimia pewarna, kancing, Dari sana saya kontrak maklon kepada pabrik Tenun, Pabrik Tektil dan Pabrik garmen.
Saya memberikan Planning production , lengkap dengan timeline kepada masing masing supply chain. Mereka pelajari standard qualitas yang saya mau dan juga planning production dan delivery. Memang hebat sistem supply chain China. Semua on time sampai pakaian bisa di kirim ke buyer di Eropa. Untuk business process tersebut, saya hanya butuh satu orang karyawan. Hanya mengandalkan management supply chain dan fasilitas financial support. Setiap bulan saya bisa ekspor 20 kontainer. Bayangkan. Di Indonesia saya punya pabrik, engga bisa ekspor lebih dari 4 container sebulan. Di Indonesia, 3 tahun pabrik berdiri, saya bangkrut. Di China tanpa pabrik, dalam 3 tahun saya dapat untung dari ekspor TPT lebih besar daripada punya pabrik di Indonesia
Yang membuat ekonomi china tumbuh karena china memiliki supply chain yang terstruktur dan canggih serta lentur. Hampir 100% supply chain industry di China adalah usaha dalam negeri china sendiri. Akibatnya untuk menghasilkan produk eksport , belanja import china sangat rendah. Pertumbuhan ekonomi melahirkan ketahanan ekonomi nasional karena cadangan devisa yang terus meningkat.
Berbeda dengan Indonesia, dimana peningkatan eksport diiringi oleh meningkatnya import. Akibatnya sedikit saja ada goncangan ekonomi maka langsung nyungsep. Hal ini karena negara engga punya visi membangun industri. Visinya rente dan feodalisme. Merasa pintar tapi sempak longgar. Ngomong aja yang pintar. Disuruh kerja benar, tepar.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.