Dalam upaya untuk mencegah penularan yang lebih luas akibat jatuhnya Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank, The Fed mengumumkan program pinjaman darurat baru dalam bentuk the Bank Term Funding Program (BTFP). Tennor BTFP ini 1 tahun. Skema ini semacam SWAP debt. Bank yang terkena krisis tidak perlu menjual aset sekuritas nya ke market. Mereka bisa berhutang dengan skema SWAP ke Fed, menukar aset nya dengan US Treasuries. Sehingga bank punya akses ke likuiditas tanpa harus menjual aset dengan kerugian. Tapi upaya ini dianggap belum efektif. Dikawatirkan masih banyak yang akan terjadi ke depan.
Lembaga pemeringkat Moody's telah menurunkan prospek seluruh sistem perbankan AS dari stabil menjadi negatif, mengutip "lingkungan operasi yang memburuk dengan cepat" setelah runtuhnya SVB. Pada saat yang sama, ketakutan akan resesi tumbuh di Wall Street. Ekonom di Goldman Sachs meningkatkan probabilitas mereka untuk resesi AS dalam 12 bulan ke depan menjadi 35 persen, naik dari 25 persen, sebagai tanggapan atas ketidakpastian yang meningkat atas dampak ekonomi dari tekanan bank. Krisis sudah menjalar ke Eropa dengan olengnya Credit Suisse.
Lantas apa pengaruh krisis Bank di AS dan Eropa terhadap perbankan di Indonesia. Mungkinkah kita bisa bertahan dan aman atau terkena imbas ? Saya akan uraikan secara sederhana.
Pertama. Perbankan di Indonesia tidak terhubung dengan sistem pasar uang yang ada di luar negeri. Contoh, bank di Indonesia dilarang memberikan kredit atas resiko yang ditanggung bank di luar negri. Instrument bank seperti Bank Guarantee atau payment guarantee bank luar negeri tidak bisa dijadikan collateral utama untuk kredit dalam negeri. Sistem instrument perbankan kita mengenal cash basic, bukan base accruals. Jadi engga mungkin ada skema cross settlement di luar cash basic. Artinya kalau bank di AS atau di Eropa collapse tidak akan ada dampaknya dengan perbankan Indonesia.
Kedua. Likuiditas perbankan dalam negeri sangat likuid. Pada Februari 2023, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tercatat tinggi mencapai 29,09%. BI dan OJK kawal ketat rasio likuiditas ini sejak terjadi krisis perbankan di Eropa dan AS. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Ketiga. Bank yang jatuh di AS itu karena bank beroperasi atas dasar business model. Misal SVB, itu terkait dengan business model pembiayaan untuk start up IT. Jatuhnya karena negatif spread , sebagian besar pembiayaan dalam bentuk skema venture. Baik Signature dan Silvergate adalah dua bank utama untuk perusahaan kripto. Sehingga Silvergate ikut jatuh setelah terjadinya ketidakstabilan di pasar stablecoin. Credit Suisse bank yang menjalankan business model pembiayaan tambang. Ketidak stabilitan bisnis tambang ikut mempengaruhi resiko kreditnya.
Bank di Indonesia beroperasi secara umum. Kita menerapakan sistem perbankan dua kamar. Satu bank komersial dan satu lagi bank Syariah. Namun secara business model kedua jenis bank itu masuk ke semua sektor. Tidak ada yang khusus. Jadi sulit akan jatuh seperti kasus bank di AS dan Eropa. Kecuali jatuh karena skandal orang dalam atau pemegang saham sendiri. Nah itu tugas OJK untuk semakin ketat mengawasi perbankan. Jangan sampai kasih kendor sehingga kasus krismon 98 terulang lagi.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.