Awalnya Evergrande gagal bayar utang. Kemudian menyusul Country Garden. Utang dua perusahaan ini saja mencapai Rp. 8.100 triliun. Terdiri dari Evergrande $340 miliar atau setara dengan Rp. 5.100 triliun dan Country Garden USD 200 miliar atau Rp 3000 triliun. Bandingkan dengan utang RI yang totalnya Rp 7.754,98 triliun. Masih lebih kecil dibandingkan utang dua korporat China. Memang raksasa kalau ukuran kita. Tapi bagi China itu ukuran itu tidak besar kalau dibandingkan dengan PDB China sebesar USD 18 trilion atau 12 kali dari PDB Indonesia.
Pihak Barat dan AS cenderung berpikiran negatif terhadap gagal bayar hutang dua korporate besar di China itu. Karena persepsi gagal bayar bagi AS dan Eropa seperti kasus subprime mortgage yang dipicu oleh jatuhnya Lehman. Jelas saja salah. Karena yang dihadapi Lehman adalah setiap malam ia berhutang miliaran dolar dan model bisnisnya adalah memperpanjang seluruh pinjaman. Saat orang berhenti meminjamkan, itu sudah selesai. Dalam kasus Evergrande dan Country Garden, pinjamannya tidak dilunasi setiap malam sehingga dia punya waktu untuk memikirkan apa yang harus dilakukan.
Nah mari kita lihat struktur hutang dari kedua korporat itu, yang merupakan utang yang dilegitimasi China sesuai UU pasar uang dan modal serta perbankan. Ada tiga jenis utang developer dan property.
Pertama. Hutang dalam bentuk REIT atau real estate investment trust. Semacam reksadana berbasis asset keras. Pendapatan atas surat berharga ini berasal dari deviden atas proyek. Bukan bunga. Jadi sebenarnya tidak ada istilah default. Karena sifatnya bukan utang tapi kerjasama investasi. Makanya aturan di China soal REIT ini, tidak bisa dijual kepada investor sebelum proyek selesai dibangun. Likuiditas surat berhaga ini dijamin oleh bursa. Surat berharga ini juga bisa digadaikan untuk dapat pinjaman bank.
Kedua. Ada juga dalam bentuk Real estate fund. Ini semacam Bond berbasis value. Surat berharga di create oleh pemain hedge fund atau Private equity, yang bertujuan untuk berinvestasi pada real estate yang sudah selesai dibangun, seperti Hotel, Perkantoran, Apartemen. Umumnya Surat berharga diperdagangkan secara OTC dan hanya kepada investor terakreditas saja.
Di China dari REIT dan Real estate fund besar sekali. Bayangkan. Salah satu perusahaan trust di China, Zhongrong International Trust punya dana kelola Real estate Fund mencapai $2,9 triliun atau setara Rp. 43.500 triliun. Belum lagi yang lain. Besar ? ya besar banget. Makanya jangan kaget bila dengan sumber daya keuangan yang begitu besar, goncangan yang ditimbulkan akibat gagal bayar utang Evergrande dan Country Garden tidak berdampak apapun terhadap ekonomi China.
Ketiga, A local government financing vehicle (LGFV) atau dikenal dengan local financing platform (LFP). Ini semacam municipal bond berbasis revenue (SUKUK) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Namun unsecure, Artinya bond itu tidak dijamin oleh aset PEMDA. Underlying nya adalah proyek. Pemda terbitkan bond ini untuk dijual kepada investor publik. Dananya untuk pembiayaan pengadaan tanah yang akan dijual kepada developer. 40% PAD pemda di China bersumber dari penjualan tanah kepada developer.
Skema ini menarik bagi ekosistem bisnis real estate. Mengapa ?. Developer akan bayar tanah setelah proyek selesai dibangun. Jagi mengurangi beban cash flow proyek. Untuk pembiayaan kontruksi mereka dapatkan pinjaman dari bank apabila 30% total unit terjual. Setelah proyek selesai, mereka refinancing hutang bank dan lunasi tanah kepada Pemda lewat skema REIT atau REF. Dari skema ini, sebenarnya tidak ada dampak kepada sistem perbankan China. Sangat kecil sekali pengaruhnya. 90% pembiayaan proyek real estate berasal dari publik dan itu bukan berbasis utang umum tapi berbasis revenue atau SUKUK.
Lantas apa penyebab begitu besarnya dana publik terserap di sektor property ? apakah karena kebutuhan rumah? tidak. 2/3 property dimilik orang China karena alasan investasi. Walau China menerapkan pajak progressive yang ekstrem terhadap aset property tetapi tetap jauh lebih menguntungkan investasi di property daripada simpan uang di bank. Itupun bank central China masih pusing. Karena total dana simpanan masih sangat tinggi yaitu $18,41 triliun atau lebih tinggi dari PDB. Bandingkan dengan Indonesia yang DPK dibawah 50% terhadap PDB.
Mengapa bisnis property di China menurun? karena skema investasi yang menarik telah membuat investasi di sektor property jadi booming dan hot. Dampaknya terjadi bubble harga. Dengan 1 juta RMB di Beijing, Anda mungkin bisa membeli apartemen seluas 20 meter persegi. Anda tidak dapat membeli apartemen atau rumah besar. Banyak yang merasa bahwa harga-harga telah meroket di Beijing. Akibatnya rumah bukan lagi sarana tempat tinggal tetapi sudah jadi ajang investasi bagi sikaya.
Bagi China yang beridiologi komunis, bubble harga ini ancaman serius terhadap sistem perekomian mereka. Ekonomi China tidak di design bubble value tapi ekonomi inklusif. Ya kinerja perekonomian dengan perluasan kesempatan dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh lapisan masyarakat. Bubble tidak memenuhi kriteria ekonomi inklusif. Itu sebabnya Pemerintah mengeluarkan aturan untuk mendingin mesin ekonomi terutama sektor property. Gimana caranya? LTV kredit kontruksi bersumber dari bank diperketat dengan memperbesar rasio modal sendiri terhadap total utang. Kemudian, kredit konsumsi real estate atau KPR juga diperketat. Maksimum angsuran 30% gaji bulanan. Dengan keadaan itu bank terpaksa rem pemberian KPR. Tentu dampaknya significant terhadap pasar property.
Nah, kalau ada developer yang default surat utang. Ya pemerintah biarkan saja. Setelah bangkrut tentu akan di baiout oleh negara dan dilepas lagi kepada publik dengan sistem sewa sampai mesin ekonomi mendingin. Ketika harga jatuh, barulah dijual lagi kepada rakyat sesuai kemampuan penghasilan mereka. Makanya selalu ketika default surat utang, ada saja investor yang menerima skema restruktur. Karena yakin negara pasti bailout..
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.