Growth diagnostics pertama kali diperkenalkan oleh tiga pakar ekonomi, yaitu Ricardo Hausmann, Dani Rodrik, dan Andres Velasco, melalui artikel mereka berjudul ”Growth Diagnostics”. Melalui tulisan tersebut, ketiganya memperkenalkan pendekatan baru untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi sebuah negara hingga mengerucut pada beberapa isu yang dianggap sebagai penghambat utama dari lambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Nah Bappens pernah membuat kajian mengenai kendala paling mengikat (most binding constraint) bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Study ini digunakan untuk penyusunan RPJMN 2020-2024 dengan menggunakan pendekatan Growth diagnostics. Hasil study menemukan bahwa regulasi dan institusi merupakan penghambat utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Regulasi yang tidak efisien menciptakan biaya tetap (fixed cost) yang tinggi. Begitu pula dalam hal institusi penyusun regulasi dan pengawasan yang sangat lemah serta praktik moral hazard.
Jokowi ketika kampanye menjanjikan pertumbuhan ekonomi rata rata 7%. Namun itu bukan tanpa syarat. Syarat yang ditentukan Jokowi bukan hal teknis tetapi berkaitan dengan “ revolusi mental”. Karena dia sangat paham sumber masalah negeri ini bukan tekhnis tetapi berkaitan dengan moral hazard akibat lemahnya institusi demokrasi yang tidak bisa melaksanakan law enforcement dan, itu karena UU dan aturan di create dengan pendekatan mind corruption. Ternyata revolusi mental jalan staknan. Makanya hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang juga staknan. Rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir adalah 4,23 persen.
Para menteri penikmat rente dan elite politik serta supporter Jokowi yang euforia karena kekuasaan selalu membela diri dengan argumen pandemi dan krisis global. Pada waktu bersamaan mereka membandingkan dengan negara lain yang jauh lebih buruk dari Indonesia. Padahal itu bukan perbandingan Apple to apple. Negara indonesia yang ekonominya SDA resource dintungkan karena naiknya harga komoditas, dan negara maju ekonominya Industry basic yang justru terpukul karena naiknya harga komoditas. Tapi itu situasional, bukan karena kita hebat kelola ekonomi dan transformatif. Engga percaya?
Fakta, selama pendemi dan krisis global justru orang kaya Indonesia ( 0,1% dari populasi) kekayaannya semakin bertambah. Mengutip laporan Credit Suisse, jumlah orang dengan kekayaan di atas US$ 1 juta (Rp 14,49 miliar dengan asumsi US$ 1 setara Rp 14.486 sesuai kurs tengah Bank Indonesia 12 Juli 2021) di Indonesia adalah 172.000 orang, Bertambah kekayaannya 62,3% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Artinya moral hazard semakin menjadi jadi terutama karena adanya PERPU UU No. 2 tahun 2020 ( UU No.2/2020). Jadi memang yang membuat prestasi Jokowi loyo karena gagalnya revolusi mental. Kini pesta windfall sudah berlalu. Kita masuk jebakan turunnya penerimaan devisa karena jatuhnya harga komoditas, tingginya angka impor karena barang industri naik termasuk pangan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.