Istilah Neoliberalisme sudah ada sejak tahun 1930-an. Neoliberalisme paling sering dikaitkan dengan ekonomi laissez-faire. Meskipun istilah-istilahnya serupa, neoliberalisme berbeda dari liberalisme modern. Keduanya memiliki akar ideologis dalam liberalisme klasik abad ke-19, yang memperjuangkan laissez-faire ekonomi dan kebebasan individu terhadap kekuasaan pemerintah yang berlebihan. Varian liberalisme itu sering dikaitkan dengan ekonom Adam Smith, dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) bahwa pasar diatur oleh "invisible hand" dan dengan demikian harus tunduk pada campur tangan pemerintah yang minimal.
Apa sih neoliberal itu ? Sederhana aja cara berpikirnya. Pemerintah harus memberikan kebebasan berbisnis. Tidak ada bisnis bisa jalan tanpa sumber daya modal. Tidak ada modal tanpa ada pengakuan akan hak milik pribadi. Tidak ada hak pribadi tanpa ada kebebasan menentukan harga dan value atas dasar alokasi sumber daya yang efisien. Nah semua yang saling kait mengkait itu diperlukan kebebasan pasar dan peran negara yang minimal.
Bagaimana dengan mereka yang tidak mampu mengakses modal? Neoliberal punya prinsip sederhana. Bahwa dari kumpulan modal yang berputar dikalangan bisnis itu akan menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dampaknya akan melahirkan ekonomi tetesan ke bawah ( trickle down effect), yang pengaruhnya terhadap penyediaan lapangan kerja, perbaikan sosial, pengentasan kemiskinan. Masyarakat sejahtera bisa dicapai.
Namun pada 1970-an, terjadi stagnasi ekonomi dengan meningkatnya utang public. Ya seperti yang terjadi pada awal Jokowi berkuasa dan sekarang. Liberalisme klasik kembali dilirik oleh Friedrich Von Hayek, ekonom Inggris kelahiran Austria. Yang kemudian dikenal sebagai neoliberalisme. Hayek berpendapat bahwa tindakan intervensionis yang ditujukan pada redistribusi kekayaan pasti mengarah pada totalitarianis. Sementara ekonom AS, Milton Friedman dalam bukunya Free to Choose menolak kebijakan fiscal pemerintah sebagai sarana mempengaruhi siklus bisnis.
Pemikiran Friedman ini dikenal dengan istilah monetarisme. Apa itu monetarisme? Jumlah uang beredar merupakan penentu utama pada posisi permintaan aktivitas ekonomi jangka pendek. Kebijakan ekonomi makro Friedman berbeda secara significant dengan aliran Keyesian. Sampai tahun 2013 Indonesia masih menganut Keynesian.
Yang mendasari teori moneteris adalah persamaan pertukaran, yang dinyatakan sebagai MV = PQ. M= Jumlah yan beredar. V= kecepatan perputaran uang. P= tingkat harga rata rata dmana setiap barang dan jasa dijual. Q = jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Artinya ketika jumlah uang meningkat dengan V yang konstan dan dapat diprediksi ,seseorang dapat mengharapkan peningkatan baik dalam P maupun Q. Peningkatan dalam Q berarti bahwa P akan tetap relatif konstan, sementara peningkatan dalam P akan terjadi jika tidak ada peningkatan yang sesuai dalam jumlah barang dan jasa yang diproduksi.
Sederhananya begini, perubahan jumlah uang beredar secara langsung mempengaruhi dan menentukan produksi, lapangan kerja, dan tingkat harga. Namun, efek dari perubahan dalam jumlah uang menjadi nyata hanya setelah periode waktu yang signifikan. Artinya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi PDB sekian percen, pasokan uang harus ditingkatkan pada tingkat tahunan yang konstan. Hutang atau cetak uang menjadi keniscayaan. Maka Ekonomi akan stabil dan inflasi rendah.
Namun, keterkaitan moneterisme antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat peningkatan pasokan uang ternyata menyesatkan. Itu dibuktikan oleh perubahan dalam ekonomi AS selama tahun 1980-an. Perubahan-perubahan ini mengurangi kemampuan untuk memprediksi dampak pertumbuhan uang terhadap pertumbuhan PDB nominal. Sehingga sangat sulit menilai kualitas PDB terhadap kemakmuran. Mengapa ?
Pertama, pasokan uang yang mengalir ke bank tidak dalam bentuk tabungan tradisional tetapi motive investasi. Makanya uang orang kaya lebih banyak mengalir ke sector moneter daripada ke sector real. Tentu tidak terjadi trickle down effect. Kedua, penurunan tingkat inflasi menyebabkan orang membelanjakan lebih sedikit, yang dengan demikian menurunkan kecepatan ( V ) perputaran uang. Yang pertama dan kedua itu sudah terjadi di Indonesia.
Jadi patut ditinjau ulang kebijakan ekonomi kita yang neoliberat dan monetarism. Ada baiknya kita belajar dari China yang sosialis komunis. Yes ! China mengintegrasi ekonominya ke dalam neoliberalisme global. But, tanpa menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal secara utuh. Why? China ogah menjalankan kebijakan inti dari liberalisasi dan privatisasi harga, perdagangan, dan keuangan secara penuh.
China lebih utamakan peran negara dalam redisitribusi kemakmuran, dan itu tidak diserahkan kepada pasar sepenuhnya. Misal setiap Bank Central intervensi moneter, itu bertujuan untuk creating job. Makanya setiap krisis ekonomi terjadi, China mampu melakukan economic adjustment. Ya smart lah. Karena esensi dari kapitalisme atau sosialisme atau sistem politk apapun itu adalah moral dan tentu sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi.
***
Di China banyak merek Hape. 80% market Hape China adalah petani dan nelayan. Ongkos produksi hape smartphone di China hanya Rp 450.000. Harga eceran hape itu di pasar sekitar Rp. 650.000. Murah ? memang murah. Tapi kenapa merek Hwawei dan Xiaomi, Oppo, dan lain lain, harga ecerahnya mahal? Oh itu merek market international. Kok beda? Itulah China. Mereka menganut ekonomi dua kamar. Pasar bebas dan pasar terkendali.
Mari kita telisik lebih jauh. Satu unit Oral-b ( sikat gigi) diproduksi di China dengan harga export ke AS USD 3 per unit. Ketika sampai di AS, maka harga ini dibergerak naik untuk memberikan stimulus ekonomi dalam negeri AS kepada perusahaan expedisi, distributor, agent, biro iklan, dan WallMart. Hingga harga mencapai USD 30 per unit.
Siapakah yang mendapatkan manfaat lebih?. Dari harga konsumen, Pemerintah Amerika senang karena efisiensi terjadi daya beli meningkat. Para pedagang dan usaha jasa kreatif dapat cuan besar. Keuntungan mereka memenuhi brangkas system perbankan. Tapi, akibat china menjual harga murah, setiap hari ada saja pabrik sikat gigi di Amerika yang bankrut karena para pabrikan lebih memilih impor daripada produksi. Bagi mereka lebih untung impor. Dan lagi untuk apa berproduksi tapi kalah bersaing dengan China.
Lambat laut banyak Pabrik di Amerika tutup relokasi ke China dan sementara Pabrik di China tumbuh pesat. Ratusan juta angkatan kerja china terserap dan kemakmuran ditapaki. Sementara di Amerika ribuan pabrik tutup dan jutaan orang kehilangan pekerjaan, ribuan perusahaan ter-jerat hutang tak terbayar, puluhan juta orang tak mampu bayar tagihan credit card dan angsuran rumah,prahara pun terjadi.
Apa bedanya Amerika dan China. Bukankah dua duanya menggunakan kapitalisme? Amerika memberikan subsidi konsumsi lewat pelonggaran kredit. Ekspansi APBN untuk sosial. Sementara China memberikan subsidi ke sektor produksi dengan mensubsidi industri hulu. Semua industri hulu China adalah BUMN, yang memang bertugas sebagai agent of development. Ke BUMN inilah dana negara disalurkan untuk berbagai subsidi seperti bahan bakar, bunga bank, R&D dan lain lain.
Perhatikan view strategi ini. Ambil contoh bahan baku berupa PPC berasal dari Industri hulu petrokimia milik BUMN. Karena disubsidi, harganya murah. Tentu sikat gigi oral-B bisa diproduksi oleh industri hilir dengan murah. Dan itu juga termasuk seluruh industri hilir berbahan baku petrokimia seperti tektil, rubber sintetik, kaos kaki, sandal/sepatu, dashboard kendaraan dll menjadi murah. Walau di hulu pemerintah rugi namun di hilir pemerintah untung dalam bentuk penerimaan pajak melimpah dari jutaan industri hilir dan serapan Angkatan kerja.
Jadi subsidi konsumsi hanya menciptakan kelas dan menghasilkan ekonomi rente yang korup. Sementara subsidi produksi menciptakan peluang usaha untuk tumbuh berkembangnya dunia yang mampu bersaing di pasar. Jadi paham ya beda system ekonomi walau sama sama kapitalisme. Perang dagang China-AS adalah paradox kapitalisme AS sendiri yang terlalu percaya dengan Milton Friedman dan kaum monetarism.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.