Saturday, October 26, 2024

Team ekonomi Jokowi dipertahankan. Mengapa?

 




Tahun 2017 terbitlah tulisan Prabowo yang berjudul "Paradox Indonesia". Dalam tulisannya dia mengatakan bahwa dua tantangan besar yang harus kita hadapi dan atasi sebagai bangsa Indonesia, kekayaan kita yang terus mengalir ke luar, dan demokrasi kita yang dikuasai pemodal besar. Pada tahun 2023 dia mengatakan bahwa ada menteri-menteri neoliberal di Kabinet Indonesia Maju. Kemudian tahun 2024, ketika jadi capres, dia menilai kapitalisme neoliberal tidak cocok menjadi sistem ekonomi Indonesia. Cocoknya Pancasila. Tetapi setelah jadi Presiden. Menteri yang dianggapnya Neoliberal era Jokowi dia pertahankan. Pertanyaannya mengapa ? saya akan jelaskan secara sederhana.


Membahas ini kita kembali kepada teori. Sampai hari ini belum ada literatur ilmiah yang bisa menjelaskan teori ekonomi Pancasila, yang secara tekhnis bisa di-implementasikan. Yang ada hanya pemikiran pilosofis saja dari Bung Hatta. Bahwa Pancasila pada dasarnya menolak teori ekonomi klasik terkait dengan kapitalisme,  dimana pasar dan dunia usaha bisa berjalan sendiri sendiri tanpa campur tangan negara. Pancasila justru mengharuskan kehadiran negara untuk membuat pasar dan dunia usaha beres. 


Lantas teori apa yang dipakai? Ya teori Ekonomi Keyness atau Keynesianisme. Era Soeharto sampai era SBY Indonesia menerapkan keyenesian. Misal, Bank Indonesia bertugas mengendalikan inflasi lewat SBI. Kalau uang beredar berlebih, ya BI menaikan suku bunga SBI. Kalau berkurang, ya BI pompa uang dengan menurunkan suku bunga dan menyalurkan kembali lewat SPBU. Dari metode itu, negara lead terhadap pertumbuhan sector real lewat ekspansi kredit perbankan. 


Yang jadi masalah adalah moral hazard tercipta. Kredit disalurkan pada konglomerat yang juga kroni Soeharto. Makanya engga aneh kalau Kredit disalurkan bank dengan mark up dan pengawasan legal lending limit sangat lemah. Akibatnya terjadi krisis moneter tahun 1998. Penyebabnya bukan teori yang salah. Yang salah peran BI tidak independent atau dibawah otoritas pemerintah. Makanya setelah tahun 1998 dibuatlah UU independensi BI.


Timbul lagi masalah. Era SBY, Orang kaya baru (OKB) bertambah karena maraknya bisnis batubara dan sawit. PDB meningkat 3 kali lipat. Banyak uang parkir di luar negeri. Apa pasal? Para OKB justru menggunakan kelebihan uang itu lewat instrument investasi asing. Karena SBI tidak menarik. SBI itu bukan alat investasi. Hanya sebagai alat pengendali inflasi. Dampaknya kepada kurs rupiah secara berlahan lahan terus melemah. Keseimbangan primer negatif. Artinya pendapatan setelah dipotong belanja, engga ada lagi uang untuk bayar bunga dan cicilan utang.


Era Jokowi pada periode pertama. Pemerintah menarik investasi swasta yang ada diluar negeri itu lewat instrument SUN. Caranya? suku bunga harus lebih tinggi dari surat berharga asing. Ya kalau air mengalir ke bawah. Uang mengalir keatas bukan ke bawah. Kemana bunga tinggi kesanalah uang mengalir. Kemudian diadakan tax amnesty agar uang parkir milik WNI di luar mudah mengalir masuk. Tetapi ternyata upaya itu tidak efektif. Mengapa? Pertimbangan orang bukan hanya suku bunga tetapi juga volatile kurs rupiah terhadap valas. Makanya pada waktu bersamaan agar kurs bisa dikendalikan, BI mengeluarkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). 


Maka sejak itu terciptalah surat utang negara sebagai alat investasi. Bukan lagi alat pengedali inflasi. Moneter kita sudah dikudeta oleh pasar. Nah ini udah nyimpang dari Keyness. Tapi masuk ke neoliberal, dari Milton Friedman. Yaitu memanjakan orang kaya lewat instrument investasi. Sejak itu SBN dan SUN jadi solusi pemerintah untuk ongkosi APBN yang defisit. Semakin besar defisit semakin besar ketergantungan pemerintah kepada utang dan semakin besar hegemoni pasar.


Walau SBN itu lebih banyak di beli oleh investor local. Namun struktur kepemilikan tetap aja asing di belakang sebagai penggerak likuiditas SBN. Apalagi dengan adanya kebijakan QE The Fed membuat likuiditas banjir. Likuiditas SBN juga meningkat.  Kerjasama BI dan Pemerintah terjalin apik. Namun sejak adanya kebijakan taper tantrum the fed tahun 2022,  suku bunga the Fed terkerek naik. BI kedodoran dapatkan dana lewat pasar uang untuk menjaga volatile kurs IDR. 


Maka tahun 2023, BI keluarkan instrument SBRI. Bunganya lebih tinggi dari bunga the fed. Berharap capital outflow tidak terjadi. Kurs bisa dikendalikan. Namun itupun engga efektif. Apa pasal? Pemerintah juga keluarkan SBN menarik uang di pasar dengan bunga tinggi. Nah desember 2023, BI mengganti BI7DRR menjadi BI-Rate. Maka kita masuk debt trap pasar bebas. Main di pasar lah. Kalau bunga fed tinggi, ya BI-Rate harus lebih tinggi. Kalau engga, capital out flow terjadi. Rupiah bisa tumbang.


Apa yang terjadi sekarang? Surat utang negara maupun BI, sudah berperan sebagai alat investasi dan yang menyedihkan bagi negara itu hanya sebagai alat menjaga stabilitas kurs bukan sebagai alat pengendali inflasi dan ekspansi sektor real. Praktis peran negara lumpuh dan dirantai tangannya. Siapa yang diuntungkan? Ya orang kaya yang jumlahnya sangat sedikit, mungkin tidak lebih 1000 orang, yang uang mereka dikelola oleh fund manager kelas dunia. Kalau kebijakan diubah dan anti pasar, ya dalam semalam uang bisa eksodus, yang bisa berdampak sistemik.


Makanya Prabowo setelah jadi presiden, dia tetap pertahankan team ekonomi Jokowi. Dia harus menghadapi realita bahwa kedaulatan negara sudah dikuasai pasar. Yang jadi pertanyaan adalah sampai berapa lama bertahan? Karena semakin hari semakin kering likuiditas. Tentu bunga semakin tinggi. Menciptakan crowding out effect. Dampaknya sector real stuck, bahkan falling down. Daya beli melemah. Kurs terus melemah. Kalau akhirnya tumbang juga. Resiko politik dan ekonomi sangat besar daya rusaknya.  Kecepatan bertindak akan meminimize resiko. Segera lakukan perubahan, sebelum terlambat. YMP tolong selamatkan negeri kita, pak.



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.