Thursday, October 17, 2024

Risiko Moneter Indonesia





“ Ale, mengapa dalam tulisan lue di blog terkesan lue terus kritik Jokowi. Ada apa ? Tanya Ira. Lewat tulisan di blog saya merasa sangat merdeka. Saya bebas menulis apa saja. Tanpa ada yang pesan. Tanpa ada motive financial dan ekonomi. Jadi kalau boleh dikatakan secara sederhnan. Sebenarnya itu  tulisan tidak ditujukan kepada siapapun kecuali kepada diri saya sendiri. Makanya saya tidak pernah baper begitu banyak hit dan comment lewat blog atau email. 


BI dan pemerintah selalu menepuk dada akan kehebatan mereka meningkatkan Cadangan devisa. Saya kritik. Mengapa?. Karena prestasi pemerintah selama 10 tahun meningkatkan Cadev hanya USD 37 miliar ( per oktober 2024) atau  peningkatan 34% terhadap tahun 2014 awal Jokowi berkuasa. Sementara peningkatan tahun 2004-2014 sebesar USD 76 miliar. Secara presentase peningkatan era SBY sebesar 3,7 kali. SBY jelas lebih hebat.


Pemerintah selalu membanggakan bahwa neraca perdagangan surplus. Orang ramai bertepuk sorak. Tapi surplus itu tidak berpengaruh kuat terhadap fundamental ekonomi. APa pasal?. Bayangkan aja. Kontribusi ekspor Indonesia terhadap PDB hanya 21,75%. Bandingkanlah dengan Thailand 66,45%. Malaysia 68,42%. Vietnam 89,5%. Jadi secara regional kinerja ekspor kita memang terbelakang. Apalagi NPI jasa tidak pernah surplus.


Pemerintah yakin Indonesia punya prospek masa depan yang cerah secara ekonomi. Jauh lebih hebat dibandingkan negara lain yang growth nya jauh dibawah Indonesia. Tapi kalau anda lihat data utang luar negeri Indonesia per oktober USD 425 miliar.  Retorika cerah itu onani.  Lihatlah data. Dari sejumlah utang luar negeri itu, sebesar USD 190,17 miliar dalam bentuk hot money (securities paper). Yang kapanpun bisa di call oleh lender. Coba kalau USD 50 miliar aja di call, kita buy back. Tumbang ekonomi kita. Rupiah bisa terjun bebas. 


Mengapa ? Walau Cadev sebesar USD 150 miliar, namun dalam bentuk cash hanya dibawah USD 50 miliar. Jadi sebenarnya kita duduk diatas bomb waktu. Yang kapanpun bisa meledak.Makanya kurs rupiah volatile. Itu bukan karena factor eksternal saja. Tetapi memang fundamental kita lemah. Nah apa jadinya dengan masa depan? 


Kedepan, kita menghadapi resiko ekternal akibat adanya konflik geopolitik regional. 2/3 ekonomi Dunia yang digerakan AS dan China, Jepang, Eropa slow down. Itu akan berdampak berkurangnya permintaan ekpor komoditas utama kita. Tentu akan memperbesar defisit NPI kita. PHK akan terus berlanjut. Daya beli domestic akan terus melemah. Kalau kebijakan lama terus berlanjut. Paling lama 7 bulan lagi ekonomi kita chaos. Recovery nya akan lama sekali. 


Kalau saya menulis tentang ekonomi yang terkesan tidak bertepuk sorak terhadap prestasi Jokowi, bukan berarti saya oposisi. Saya mendukung sepenuh hati. Hanya saja bedanya saya mendukung tidak selalu memuji tetapi juga lewat kritik. Karena yang lain sudah banyak memuji. Dari sana ada keseimbangan. 



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.