SWFs ( sovereign Wealth Funds) bagi pemain pasar uang bukanlah hal yang baru. Walau istilah SWFs baru belakangan ini terdengar. AS sendiri adalah negara pertama yang menggunakan SWFs untuk alat intervensi negara lain lewat OPIC ( Overseas Private Investement Corporation). OPIC didirikan tahun 70an. Hanya saja kini OPIC tidak sehebat tahun 1980an karena sudah dimerger kedalam IDFC ( international Development Finance Corporation). Kini justru AS merupakan negara yang menyerap dana SWFs terbesar di dunia. Pemilik dana SWFs terbesar dunia sekarang adalah China. Namun Emirat Arab ( AIC) termasuk yang terbesar dengan menguasai saham Alibaba, dan Grab secara international dan CITIBank.
“ Apa itu SWFs atau Sovereign Wealth Fund? Tanya teman.
“ Apa itu SWFs atau Sovereign Wealth Fund? Tanya teman.
“ Itu adalah sebuah institusi yang diciptakan untuk mengelola kelebihan uang yang didapat negara dari eksport. Keberadaan SWFs terpisah dengan cadangan devisa, walau keduanya dikumpulkan dari kelebihan devisa yang dimiliki negara. Hanya perbedaannya, kalau cadangan devisa itu dana disimpan di rekening bank central, dan digunakan sebagai alat pembayaran belanja impor dan stabilitas mata uang. Sementara SWFs disimpan di rekening institusi yang bertugas mengembangkan nilai devisa itu lewat kegiatan investasi." Kata saya mencoba menjelaskan secara sederhana.
“ Darimana sumber dananya ? tanyanya lagi.
“ SWFs terdiri dua kategori berdasarkan sumber aset devisa, yaitu: commodity funds yang dihasilkan oleh komoditas ekspor atau pajak pemerintah, dan non-commodity funds yang dihasilkan dari transfer cadangan devisa negara.”
“ Kemana dana SWFs itu diinvestasikan?
“ SWFs diivestasikan dalam investasi jangka panjang.”
“ Mengapa?
“ Ya untuk mendapatkan dividend agar ketika sumber daya alam yang merupakan sumber devisa utama habis, maka negara masih memiliki tabungan dana yang dapat digunakan dan menjadi sumber pendapatan lainnya.
“ Bisakah setiap negara membentuk SWFs?
“ Tentu bisa. Asalkan syaratnya negara tersebut punya kelebihan devisa lebih dari cukup. Setidaknya devisanya bisa memenuhi belanja impor diatas 8 bulan. Menurut Santiago Principles membagi SWFs menjadi tiga tipe berdasarkan kerangka hukumnya, yaitu: (1) SWFs yang didirikan sebagai identitas resmi yang terpisah dengan kapasitas penuh untuk bertindak dan diatur oleh constitutive law spesifik dan merupakan identitas sah di bawah hukum publik, misalnya: Kuwait, Korea, Qatar, dan Uni Emirat Arab (Abu Dhabi Investment Authority); (2) SWFs yang berupa perusahaan milik negara, seperti: Singapore’s Temasek dan Government of Singapore Investment Corporation (GIC), atau China’s China Investment Corporation (CIC), yang meskipun secara tipikal diatur oleh hukum perusahaan umum, namun hukum spesifik SWFs mungkin juga dipakai; (3) SWFs yang dibentuk oleh sekumpulan aset tanpa identitas resmi yang terpisah, di mana aset tersebut dimiliki oleh negara atau bank sentral, seperti misalnya SWFs yang dimiliki oleh Botswana, Kanada (Alberta), Chilli, dan Norwegia.
Contoh lain dari SWFs yang dicreate oleh Arab Saudi. Walau dana SWFs tidak begitu besar namun itu jadikan link note oleh Arab Saudi untuk menerbitkan surat utang dengan skema back to back terhadap transfer cadangan devisa ke SWFs setiap tahun. Rasio utang harus lebih kecil dari dana SWFs yang ada. Sementara dana SWFs itu sendiri digunakan oleh Saudi untuk melakukan diversifikasi pendapatan selain migas. Namun ini beresiko bila portfolio SWFs mengalami penyusutan akibat krisis. Dampaknya bisa menimbulkan default surat utang yang diterbitkan dengan jaminan SWFs. Dan itu pernah terjadi tahun lalu dimana Saudi terpaksa minta tolong ke IMF agar terhindar dari default.
Meskipun Cina secara resmi mengumumkan bahwa CIC merupakan lembaga pengelola SWFs, namun bila ditelusuri dalam pengertian yang lebih luas, maka CIC bukanlah satu-satunya lembaga SWFs yang dimiliki oleh Cina. Selain CIC, Cina juga memiliki State Administration of Foreign Exchange (SAFE) Investment Company yang berada di bawah bank sentral, China-National Social Security Fund, dan China-Africa Development (CAD) Fund yang sengaja dibentuk oleh Bank Pembangunan Cina (China Development Bank) sebagai sarana investasi di Afrika. SWFs Cina adalah SWFs dengan aset terbesar saat ini. Contoh di Indonesia, Newmont itu secara tidak langsung dikuasai oleh CIC melalui SWAP settlement oleh BRI. Walau secara legal diambil alih oleh Medco namun sejatinya pengendali utama adalah CIC. Termasuk beberapa portfolio Bakrie yang bersinar sudah pidah ke CIC lewat jebakan hutang.
Saat sekarang hampir semua negara berburu dana SWFs untuk pembiayaan investasi dalam negerinya. Tahun 2012 saja jumlah dana SWFs sudah mencapai USD 5 triliun. Entah berapa sekararang. Mungkin lebih besar lagi. Bagaimanapun keberadaan SWFs adalah bagian dari neocolonialisme negara kepada negara lain lewat hutang dan penguasaan saham. Yang hebatnya keberadaan SWFs tidak berbendera negara tapi korporat, pemain hedge Fund namun mereka bekerja untuk negara. Hukum yang menakutkan dari pengelola SWFs adalah mempengaruhi pasar uang dengan cepat untuk menghukum negara yang bandel. Saat sekarang pengelola SWFs terbesar didunia adalah CHINA.***
Sisi lain dari SWF.
Sisi lain dari SWF.
Namun perkembangan belakangan ini , ada kekawatiran dari financial player. Bahwa penyebab sulitnya AS dan zona Eropa , dunia keluar dari krisis karena terjebak dengan utang melalui SWFs milik China. Mengapa sampai ada kekawatiran tersebut ? Karena SWFs walau dimiliki negara namun operasionalnya menggunakan badan hukum private, yang memungkinkan bisa dilakukan secara non disclosed. Disamping itu SWFs, umumnya menerapkan tekhnis operasi seperti pemain Hedge Fund dengan aksi non arbitrase dalam pengambil alihan proyek berskala raksasa disuatu negara, seperti yang terjadi di Malaysia, Bangladesh, dan Afrika.
Beberapa BUMN Malaysia terjebak hutang proyek infastruktur dengan China. Ini awalnya proyek G2G semasa Najib. Namun karena perubahan politik, Mahathir ingin removed proyek itu tapi teracam kerugian gigantik kalau dihentikan. Mau diteruskan, teracam hutang menganga mengancam Debt to GNP rasio Malaysia. Disituasi yang sulit itu, China menawarkan bailout utang itu melalui BUMN nya. Selanjutnya proyek itu di bawah kendali BUMN China. Keliatannya suatu solusi hebat. Tetapi justru memperkuat hegemoni private dalam proyek strategis. Kalau ada sengketa akan menyulitkan Malaysia. Karena ini akan jadi kasus international yang bisa mengancam trust Malaysia dan dampaknya bisa sistemik.
Mengapa ? SWFs itu walau sebetulnya berasal dari dana kelebihan devisa ( Commoditiy fund), namun dalam prakteknya dapat dilakukan melalui non commodity fund, yaitu melalui create produk sintetik investasi untuk menarik dana private di pasar uang. Maklum dengan portfolio besar, tidak sulit bagi SWFs masuk ke pasar melalui penerbitan Global Bond, dan menyerap dana private global dengan cepat. Ini otomatis semakin mempersempit likuiditas pasar uang global untuk proses recovery ekonomi negara. Pada waktu bersamaan terjadi penumpukan uang dalam skema SWFs, di tangan pengelola SWFs.
Mengapa ? SWFs itu walau sebetulnya berasal dari dana kelebihan devisa ( Commoditiy fund), namun dalam prakteknya dapat dilakukan melalui non commodity fund, yaitu melalui create produk sintetik investasi untuk menarik dana private di pasar uang. Maklum dengan portfolio besar, tidak sulit bagi SWFs masuk ke pasar melalui penerbitan Global Bond, dan menyerap dana private global dengan cepat. Ini otomatis semakin mempersempit likuiditas pasar uang global untuk proses recovery ekonomi negara. Pada waktu bersamaan terjadi penumpukan uang dalam skema SWFs, di tangan pengelola SWFs.
Skema SWF ibukota Baru.
Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) menyepakati puluhan kerja sama strategis untuk meningkatkan hubungan bilateral antar kedua negara. Jokowi juga mengusulkan agar Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ), CEO SoftBank Masayoshi Son, Perdana Menteri Inggris periode 1997-2007 Tony Blair sebagai Dewan Pengarah Pembangunan Ibukota Baru. Soal penunjukan mereka sebagai dewan pengarah proyek Ibukota Baru itu tidak ada masalah. Itu hanya penghargaan, dan bukan posisi yang mengikat dan ikut menentukan. Itu hal biasa untuk proyek raksasa. Saya ingin membahas skema pembiayaan dibalik kerjasama Ekonomi tersebut.
Pada Bulan Januari 2020, Jokowi ke Abu Dhabi, UEA, Putra Mahkota UEA, MBZ mengusulkan pembentukan Indonesia Sovereign Wealth Fund. Bukan hanya sebuah proposal tetapi MBZ minta agar program SWF antara Indonesia dan UEA dibahas secara serius dan intensif. Jokowi menyambut dengan baik. Di balik deal itu ada dua raksasa pemain hedge fund kelas dunia yang membayangi, yaitu Masayoshi Son, Boss SoftBank dan Adam Boehler, sang boss dari International Development Finance Corporation (IDFC). Disamping tentunya adalah Mohammed bin Zayed (MBZ). Mereka inilah otak dibalik skema pembiayaan kerjasama antara UEA dan Indonesia.
Kerja sama ekonomi antara Indonesia-UEA mencakup lima bidang kerja sama antar pemerintah di bidang agama, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan kontra-terorisme. Selain itu, ada juga 11 perjanjian bisnis termasuk di bidang energi, minyak dan gas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan penelitian dengan total nilai investasi diperkirakan $ 22,89 miliar atau lebih dari Rp. 300 Triliun. Dari mana sumber dananya? Ya keliatannya itu bagian dari strategi global dari IDFC menggunakan Softbank Vision Fund dalam menjalin aliansi dunia dalam satu gengaman financial power.
Agar Indonesia menjadi bagian dari sumber pembiayaan raksasa tersebut maka Indonesia disarankan untuk membentuk dana abadi ( Sovereign Wealth Funds). Jokowi sudah menyanggupi. Bulan depan Pangeran Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ), Masayoshi Son dari Softbank dan Adam Bohler dari IDFC akan bertemu lagi untuk pembicaraan finalisasi SWF dengan menteri BUMN dan Menteri keuangan. Apabila SWF ini lolos di DPR maka Skema SWF akan berfungsi sebagai ekuitas swasta milik pemerintah yang dapat digunakan sebagai investasi, terutama untuk pembangunan infrastruktur, termasuk juga bisa digunakan untuk membangun ibu kota baru.
Saran saya kepada DPR dan Presiden. Apapun kebijakan soal SWFs dalam konteks kerjasama antara UEA dan IDFC harus tetap berdasarkan UUD 45 dan UU mengenai Perbendaharaan Negara. Bahwa “apapun” yang menyangkut resiko atas aset negara harus melalui APBN dan disetujui oleh DPR. Yang dimaksud dengan “ apapun “ itu adalah resiko langsung maupun tidak langsung. Ini demi transfaransi APBN. Mengapa ? skema pembiayaan SWFs sangat sulit diketahui secara cepat bila terjadi kejahatan korporasi. Itu baru disadari setelah proyek atau portfolio SWFs menyusut akibat value investasi jatuh di pasar. Ingat kasus tahun lalu. Masayosi Son yang gagal mencetak laba Uber dan WeWork. Itu berdampak merosotnya nilai saham Softbank mencapai 30% di Bursa. Padahal dana Softbank itu berasal dari dana Abadi milik Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Kan konyol. Bagaimanapun itu uang rakyat. Padahal sebelum nya Masayosi Son menjadi kebanggaan UEA dalam mengelola dana abadi. Kami akan kawal aturan mengenai Dana Abadi ( Sovereign Wealth Funds ). Saya akan suarakan paling kencang kalau ada indikasi merugikan negara dalam jangka panjang
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.