Masalah business nickel terkait dengan kebijakan hilirisasi mineral. Pemerintah focus kepada hilirisasi dan larangan ekspor mentah. Smelter punya hak menjual biji nikel ( konsentrat ) ke pasar ekspor dengan kondisi 1 : 1. Artinya kalau anda produksi turunan nikel 100 ton, anda punya hak mengekspor konsentrat 100 ton juga. Kalau tidak ada smelter, walau anda punya konsesi tambang, bisnisnya ya hanya jadi pemasok Smelter. Walau sudah ada aturan mengenai HPM dan HPA, harga tetap saja dipermainkan oleh trader yang punya stockfile dan punya kontrak dengan smelter. Tentu smelter juga bermain. Apalagi umumnya trader juga punya tongkang sendiri dan kadang ada juga yang punya truk sendiri. Nah disinilah dilema bagi penambang Nikel yang tidak ada smelter.
Jumlah penambang ada banyak. Dari kelas ilegal, 100 hektar sampai dengan yang ribuan hektar. Berdasarkan data resmi dari APNI, saat ini dari 328 IUP Nikel–di luar 2 KK, tidak sampai 100 perusahaan pertambangan di sektor hulu yang benar-benar aktif melakukan produksi bijih Nikel. Nah kalau anda punya tambang nickel di Sulawesi, maka yang jadi rumit adalah soal logistik. Karena medan yang jauh dari pelabuhan dan belum tersedianya infrastruktur yang luas khusus untuk tambang nikel. Jadi tidak mudah membawa nikel ke pelabuhan muat. Rantainya dari stockfile di lokasi tambang harus diangkut dengan truk ke stockfile ke pelabuhan antara. Kemudian menggunakan tongkang untuk dibawa ke pelabuhan laut. Dari pelabuhan laut diangkut ke smelter.
Mengapa tidak banyak smelter dibangun? Membangun smelter itu tidak mudah dan tidak murah. Tanpa jaminan market sangat beresiko. Ini padat modal. Misal untuk kapasitas 40.000 ton nickel matte per tahun, investasi mencapai USD 425 juta. Belum lagi anda harus bangun sendiri pembangkit listrik untuk kebutuhan energi yang besar. Saat sekarang smelter, baik pyrometalurgi maupun hydroperlurgi, menurut data APNI totalnya 81 industri, yang terdiri dari 71 perusahaan pyrometallurgy dan 10 perusahaan Hydrometallurgy, jumlahnya diperkirakan akan bertambah. Kondisi industri hilir tersebut saat ini ada beberapa badan usaha masih dalam proses perizinan, ada yang mangkrak.
Mari kita lihat gambaran senderhana bisnis process.
Contohnya untuk nikel kadar 1,8% dengan kadar air 35% harganya US 53 (HPM). Jika melalui trader, maka HPM-nya akan dikurangi antara US$ 1 - US$ 3. Misalnya dipotong US$ 3, harga HPM yang diterima penambang adalah US$ 50 per ton bijih nikel. Jika penambang melakukan kontrak trading dengan smelter, umumnya berbasis CIF. Pihak smelter hanya memberikan subsidi US$ 0 - US$ 3 per ton. Sementara biaya untuk tongkang antara US$ 4, 8, 10, sampai US$ 12 per ton bijih nikel.
Berapa harga di Shanghai sekarang? per ton USD 83. Jadi perbedaan harga dengan lokal USD 30. Beda harga 65% lebih mahal di Shanghai. Artinya dari disparitas harga saja smelter sudah untung 65%. Belum lagi smelter dapatkan insentif melimpah dari negara; bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Memang sudah ada rencana penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI) akan berlaku pada tahun 2022. Realisasi? masih tunggu. Mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (pph badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (ppn).
Dan karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun. Itulah harga dari kebijakan hilirisasi nikel. Sementara dari perspektif kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan, lebih terlihat sebagai kutukan bagi masyarakat setempat. Kutukan yang merusak ekosistem, yang kemudian berimbas pada penghidupan ekonomi masyarakat lokal. Celakanya, pemerintah bergeming. Yang tampak hanya pembiaran dan keinginan untuk menikmati keuntungan ekonomi sesaat semata.
Belum terdengar ada rencana intervensi besar-besaran untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat setempat dan kepentingan kelestarian lingkungan yang akan menjamin masa depan kehidupan generasi mendatang.
***
Ternyata Iran mengandung deposit Logam Tanah jarang sangat raksasa. Eksplorasi pertama kali mengidentifikasi Zona Mineral Sangan yang terletak di barat laut Provinsi Khorasan Razavi. Cadangan substansial unsur tanah jarang, ditemukan di zona 12.000 kilometer persegi. "Mereka adalah negara yang sangat kaya akan mineral. Ini jauh lebih besar dari sumber daya Migas” kata teman saya.
Tahun 2013 walau Iran di Embargo ekonominya, namun Jerman, Denmark, Italia, Australia, dan Jepang bersedia sebagai investor untuk membeli mineral logam tanah Jarang itu dan sekaligus membangun smelter disana. Ratusan miliaran dolar mereka tawarkan untuk industri pengolahan Logam Tanah Jarang. Tapi Iran menolak. Iran lebih memilih membiarkan sumber daya mewah Logam tanah Jarang itu di dalam bumi.
Para insinyur hebat Iran ditugaskan melakukan riset untuk bisa mengurai unsur logam tanah jarang. Tahun 2016 Iran sudah menemukan serium, lantanum, neodimium, dan itrium, yang semuanya diekstraksi dari tambang di Iran Tengah. Tiga unsur itu adalah Mischmetal, yang sangat dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan tabung hampa udara, baterai yang mengandalkan teknologi hidrida logam.
Dalam industri logam, Mischmetal sebagai sumber pemicu terjadinya percikan api untuk memulai pembakaran dan nyala api, serta untuk meningkatkan kemampuan cetakan dan sifat-sifat mekanis pada campuran metal. Apakah Iran langsung mengundang investor membangun industri downstream? Tidak. Para insinyur Iran terus berjuang untuk bisa mengurai unsur logam tanah jarang itu sampai 12 unsur. Kini mereka terus berjuang.
Tahun 2016 saya ikut seminar di Teheran. Saat itu saya tanya kepada sahabat saya, mengapa kalian tidak segera bangun smelter dan industri downstream logam tanah jarang. Bukankah bisa jadi alat politik untuk keluar dari embargo ekonomi dan sekaligus mengatasi beban hutang. Apa kata mereka?. Embargo itu masalah pada generasi kami sekarang. Tapi tidak bisa menggorbankan sumber daya yang sangat penting bagi generasi berikutnya. Sebelum kami kuasai riset logam tanah jarang, biarkan saja itu di dalam bumi. China perlu 10 tahun riset logam tanah jarang dan sukses sebagai magnit revolusi industri high tech. China bisa melakukan lompatan jauh kedepan. Sehingga hanya perlu 20 tahun setelah itu, China bisa lead dalam segala hal mengalahkan Eropa dan AS yang sudah lebih dulu maju.
Di Indonesia pemimpin dan elite politik kita tidak punya visi membangun SDA. Tahun 1978 sampai tahun 2000 kita salah satu negara pengekspor minyak mentah terbesar dunia. Tidak ada niat kuasai tekhnologi mengolah Minyak mentah menjadi industri kimia berserta downstreamnya. Dan kini kita jadi salah satu negara pengimpor BBM terbesar di dunia. Karena SDA Migas kita sudah lama berkurang dan tidak cukup untuk kebutuhan sendiri. Kelak kisah kegagalan Orba itu akan terulang lagi pada nikel, batubara dan bauksit…
Sangat menyedihkan. Dari sejak era Orba kita tidak pernah membangun secara modern. Tidak berbasis riset yang kuat. SDA habis, kita malah terjebak hutang. Jangankan mewariskan SDA kepada anak cucu, malah kita mewariskan hutang gigantik akibat bego dan rakus.
Saran dan solusi.
Sebaiknya pemerintah membuat kawasan ekonomi khusus smelter. Dan menyediakan infrastruktur khusus seperti stockfile, jalan darat dan pelabuhan khusus untuk logistik nikel. Sehingga rantai logistik dari lokasi tambang ke kawasan tambang bisa efisien. Dengan adanya kawasan ekonomi khusus itu, maka bisa pula dibangun pusat pengolahan limbah dan residu, sebagai nilai tambah mineral. Harga ekspor FOB dari kawasan ekonomi khusus sama dengan harga di Shanghai. Tidak mungkin ada disparitas lagi harga lokal dan luar negeri. Dan yang penting kita lakukan itu setelah kita kuasai tekhnologinya.
Apa artinya ? kalau kita hanya focus kepada hilirisasi tampa ada perbaikan infrastruktur dan tata niaga, maka nasip tambang nikel akan sama dengan hutan kalimantan era pak Harto. Hutan tenggelam, terbitlah hutang dan kerusakan lingkungan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.