Minggu lalu Adaro dibanggakan Jokowi akan membangun Smelter Aluminium dengan nilai invstasi puluhan triliu dan turunanya bisa mencapai ribuan triliun. Tapi minggu ini ada yang membuat saya miris. Jokowi minta agar Bank BUMN terlibat membiayai program hilirisasi mineral. Itu kalau sekedar himbauan engga ada masalah. Ternyata disikapi oleh Mentersi ESDM dengan berusaha melobi bank dalam negeri agar ikut membantu memberikan kredit kepada Adaro.
Memang saya tahu dari News Bloomberg dan FT, Memang PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI) anak usaha dari PT Adaro Minerals Indonesia Tbk mengalami kesulitan mendapatkan dana dari banking Global. Semua perbankan international menolak. Apa pasal? karena Adaro termasuk perusahaan yang melanggar ESG ( environmental, social and governance ). Padahal KAI ditargetkan akhir semester pertama tahun ini harus financial closing. Sementara mereka sudah ke luar pre financing untuk persiapan pembangunan di lokasi.
Kemarin ketemu teman. Dia mengatakan, “ Saya tahu pengusaha yang dekat dengan presiden berusaha membisikan bahwa terhambatnya hilirisasi mineral karena faktor modal. Sementara modal itu sebagian besar dari Eropa dan China. Mereka mengatakan akibat kebijakan hilirisasi itu, investor dari Eropa dan China menghambat sumber daya keuangan masuk ke Indonesia. Bisikan ini memang efektif memancing emosi Jokowi untuk melawan. Ya salah satu caranya mendorong Bank BUMN menggantikan posisi investor asing. Ini berbahaya.”
Masalah program hlirisasi itu, memang sudah berlangsung sejak era SBY. Tahun 2009 dikeluarkan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Sejak itu terjadi beragam aturan yang tidak konsisten ditingkat kementrian dan Pemda. Engga percaya? Data analisis Direktorat DNA KPK, ditemukan bahwa dari sampling 400 vessel di pelabuhan bongkar China pada 2017-2019, hasil surveyor SGS menyimpulkan 62 persen dari 248 vessel memuat nikel dengan kadar nikel di atas 1,7 persen, sementara 25 persen dari 100 vessel memuat nikel dengan kadar di atas 1,8 persen. Dari jumlah tersebut terdapat 18 vessel dari Indonesia yang mengangkut kurang lebih 31 juta ton nikel dengan kadar di atas 1,7 persen.
Akhirnya tahun 2020, UU minerba 4/2009 itu direvisi oleh Jokowi menjadi UU Minerba Nomor 3/2020. Tetap saja tidak dilaksanakan secara konsisten. Pada periode 1 Januari 2020 hingga tahun 2022, data impor HS Code 2604 yang dirilis oleh Tiongkok menunjukkan masih terdapat nikel dalam bentuk ore yang diterima oleh Tiongkok. Konyolkan. Dampaknya tidak sedikit negara dirugikan akibat kehilangan royalti dan bea keluar dari ekspor ilegal bijih nikel. Jadi boleh dikatakan program hilirisai itu hanya dimanfaatkannya fasilitas dan insentif perpajakan oleh oknum. Dunia international sangat paham soal ini. Makanya kalau jokowi membanggakan hilirisasi SDA, bagi mereka itu tidak sepenuhnya benar. Faktanya jutaan ton nikel ore di ekspor.
Mengapa ?
Hampir semua smelter di Indonesia butuh kadar nikel di atas 1,8 persen. Padahal, sumber daya dan cadangan nikel di Indonesia didominasi oleh nikel dengan kadar rendah. Makanya dari 328 pemegang IUP yang tersebar di Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat. Baru 27 smelter yang telah beroperasi. Beberapa smelter juga merupakan pemegang izin smelter stand-alone yang tidak memiliki perusahaan pertambangan. Padahal, untuk dapat melakukan ekspor, IUP tambang harus memiliki afiliasi dengan smelter. Namun, dalam praktiknya terdapat banyak IUP tambang yang tidak memiliki afiliasi, sehingga agar hasil produksinya dapat terserap maka beberapa di antaranya melakukan ekspor ilegal tapi permissive
Saya ingin menyampaikan usulan kritis kepada pak Jokowi.
Pertama. Pemerintah sudah benar mendorong Perbankan dalam negeri terutama Bank BUMN memperbesar eksposor kredit nya ke sektor hilirisasi Mineral. Tapi tidak elok bila pemerintah terkesan intervensi sektor perbankan. Karena disamping melanggar prinsip perbankan yang prudential juga bisa berdampak moral hazard. Apalagi investasi di sektor hilirisasi itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Risk management nya sangat rumit. Apalagi saat sekarang eksposure pembiayaan bank BUMN di industri smelter juga sudah cukup besar, baik itu smelter gold, copper, alumina maupun nikel. Ini bahaya. Kawatir nanti terjebak NPL.
Kedua, negara yang bisa diharapkan menjadi sumber pembiayaan Smelter adalah China. Karena China tidak begitu mengikuti prinsip ESG seperti negara Eropa dan AS. Alasan Elon sulit berinvestasi di Indonesia juga karena Indonesia dianggap negara yang tidak sepenuhnya komit melaksanakan prinsip ESG. Tapi China tidak akan bergitu saja mengikuti program hilirisasi seperti standar kita. Mengapa? kehadiran investor China di hilirisasi mineral lebih karena faktor relokasi industri yang tidak ramah lingkungan dan khusus Aluminium, China tidak mungkin memindahkan pabrik nya ke Indonesia atas dasar larangan ekspor Bauksit. Investasi China sudah terlalu besar di industri aluminium.
Ketiga, Industri smelter mineral khususnya Aluminium itu ditentukan oleh faktor tekhnologi dan Energi. Sumber energi untuk Smelter bauksit yang efisien hanyalah bersumber dari PLTA, bukan dari batubara atau gas. Daripada desak perbankan membiayai hilirisasi, lebih baik perketat saja aturan investasi hilirisasi yang berbasis ESG. Dengan demikian program hilirisasi ini akan menghasikan bisnis process yang mengikuti standar moral pengelolaan berdampak luas terhadap sosial dan lingkungan. Tentu akan memudahkan dukungan investor intitusi kelas dunia, tanpa harus menempatkan perbankan dalam negeri menghadapi resiko.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.