Sunday, January 8, 2023

Penambangan liar.



Kalaulah tidak ada penambangan liar, APBN akan sehat dan tidak perlu defisit. Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, total kerugian negara berpotensi mencapai Rp 200 triliun dari pertambangan ilegal yang terjadi di Indonesia. Selain itu kerugian ekonomi bisa mencapai 3% hingga 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini terhitung sekitar Rp 500 triliun hingga Rp 800 triliun. Saya tidak tahu cara ngitungnya. Sebaiknya anda bisa tanya langsung kepada PEPS.

Menurut Kementrian ESDM, ada 2600 tambang mineral dan 100 tambang batu bara yang ilegal. Bayangin. Kalau Data ilegal bisa tahu. Itu artinya pemerintah tahu dan memang terjadi pembiaran. Mengapa ? Dapatkan izin tambang itu tidak mudah. Prosesnya panjang dan rumit. Kalau anda tidak punya akses ke pejabat atau elite politik atau ketua ormas, jangan harap dapatkan  IUP.  IUP itu adalah sumber daya yang bernilai. Para elite dan aparat tahu bahwa IUP itu aset. Mana bisa hanya bilang thank you. Kalau engga ada uang untuk elus telor, mending cuci muka dan balik tidur lagi.

Bagimana modus penambangan ilegal itu? Nah lucunya modus itu datang dari aparat pemda dan pusat. Udah seperti mafia kerjanya. Nah dengan perubahan UU  Nomor 4/2009 yang desentralisasim menjadi sentralisasi pada  UU No 3/2020. Kini semua oleh pemerintah pusat. Pemerintah provinsi,  hanya wakil atau perpanjangan pemerintah pusat di daerah. Misal dengan alasan pembukaan lahan, atau  memberikan IUP tapi tidak sesuai prosedur, lahannya tumpang tindih. Akan sulit diaudit dan diawasi. Peran Pemda sudah tidak ada. Pembiaran tidak bisa dihindari. Memang semakin kemari semakin kebijakan minerba lebih kepada kepentingan dunia usaha, dan ini tentu berkaitan dengan ekonomi dan investasi.

Walau umumnya penambang ilegal di lapangan adalah pengusaha kecil namun cukong mereka adalah pengusaha besar yang punya stockpile. Cukong ini sudah kontrak dengan pemilik IUP besar. Perhatikan bisnis prosesnya. Hasil galian tambang ilegal itu dikirim  dari lokasi ke stockpile. Walau mereka tidak punya Surat Keterangan Asal Barang (SKAB), aparat pollisi bisa disuap untuk tutup mata. Kemudian pemilik stockpile menjual barang itu kepada pemilik IUP.   Barang ilegal itu sampai di tempat pemilik IUP, akan menjadi barang tambang legal.  Kenapa dibiarkan?  Alasannya, aparat kesulitan melakukan pengawasan karena apabila ditertibkan dapat menimbulkan Konflik antara Petugas dengan Masyarakat. Ini akan berdampak kepada politik. Umumnya bupati atau gubernur tidak suka aparat bertindak tegas. Itu akan merugikannya secara politik. 

Padahal faktanya, rakyat tidak mendapatkan keuntungan yang layak. Yang untung besar itu adalah cukong yang punya stockpile dan para aparat, pejabat. Mereka dapat fee dari setiap ton yang diangkut. Lebih besar lagi untung adalah Pemilik IUP sebagai penadah yang engga repot bayar biaya kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal itu. Engga percaya? Di Maluku utara, penyumbang angka kemiskina justru ada di wilayah penambangan seperti Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah 13 persen, Halmahera Selatan, dan Halmahera Utara. Sumsel yang juga penghasil batubara, masih masuk 10 provinsi termiskin. Aceh juga. 

Hasil studi Marthen B. Salinding, Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan. Tahun 2017 lebih dari 100 perusahaan Pertambangan Mineral dan batubara yang memiliki IUP di Kalimantan Utara dengan produksi 12 juta ton. Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Utara pada Maret 2018 sebanyak 50,35 ribu (7,09 persen). Pada September 2017 penduduk miskin berjumlah 48,56 ribu (6,96 persen), berarti jumlah penduduk miskin bertambah 1,8 ribu orang atau meningkat 1,83 persen, sebagian besar penduduk miskin ada di wilayah pertambangan mineral dan batubara.

Saat ini industri dan pertambangan nikel tersebar di berbagai pulau, seperti Sulawesi, Kepulauan Maluku, serta Papua. Kondisi tersebut bukan tanpa dampak. Masyarakat petani kehilangan ruang produksi karena adanya alih fungsi lahan baik secara prosedur legal maupun perampasan tanah. Saat ada yang menolak menjual tanahnya, petani mengalami intimidasi sehingga terpaksa melepas lahannya. Dampak Pertambangan  juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang cukup besar, baik itu air, tanah, Udara, dan hutan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat di sekitar Wilayah Pertambangan. Rakyat yang protes atas IUP yang diterbitkan pusat bisa dipidana ( pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020).

Sementara 11 orang terkaya di Indonesia adalah mereka pemilik konsesi tambang batubara, diantaranya adalah  Low Tuck Kwong, Garibaldi "Boy" Thohir, Theodore Rachmat,  Dewi Kam, Peter Sondakh, Edwin Soeryadjaya, Arini Subianto, Kiki Barki, Eddy Sugianto, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, Ghan Djoe Hiang. Di kabinet Jokowi, para Menteri yang punya bisnis batubara adalah Prabowo Subianto (NER). Luhut Binsar Panjaitan ( TS), Eric Thohir (TNT), Airlangga Hartanto (MHU), Johnni G Plate (MP), Pramono Anung, Wahyu Sakti Trenggono, Nadiem Makarim. Sandiaga Uno, Ketua Bendahara team sukses Jokowi, Samsudin Andi Arsyad juga punya konsesi di Kalsel.

Masalah ilegal mining? sulit untuk diberantas, Karena sudah terbentuk ekosistem kekuasaan dari pusat sampai ke daerah, yang menjadikan SDA itu sebagai sumber daya politik. Maklum politik itu butuh ongkos mahal. Untuk jadi Gubernur, bupati, walikota, anggota legislatif, bahkan presiden perlu ongkos. Perlu cukong. Karenanya jangan berharap ilegal mining ini akan hilang. Okelah. Bagaimanapun kita perlu Sumber daya mineral untuk pembangunan. Perlu perusahaan besar berinvestasi agar mendatangkan pajak. Kita juga berharap dengan hilirisasi bisa meningkatkan nilai tambah. 

Yang jadi masalah adalah bagaimana sumber daya alam itu bisa memakmurkan wilayah dimana tambang itu berada. Focus kesana  aja dulu. Kalau engga bisa, cobalah patuhi aturan menjaga lingkungan agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat dan tidak merampas lahan rakyat. Karena kalau tidak segera diperhatikan akan bedampak politik serius. Persatuan kesatuan kita akan terancam. SDA akan jadi kutukan, bukannya sumber perdamaian dan kemakmuran.

No comments: