Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengumumkan pelarangan ekspor mineral mentah berupa bijih bauksit pada Juni 2023 mendatang. Pelarangan ekspor dilakukan supaya perusahaan pertambangan bauksit mengembangkan hilirisasi di dalam negeri. Saya akan membahas secara sederhana peluang tumbuhnya hilirisasi bauksit ini. Tentu dengan solusi ala pedagang sempak.
Bijih bauksit merupakan batuan yang mengandung tiga mineral utama dan berkaitan dengan mineral silikat dan biasanya dijadikan bahan baku untuk membuat aluminium. Selain itu, bauksit dapat diolah untuk pemurnian air, kosmetika, farmasi, keramik dan plastik filler. Bauksit lebih utama untuk industri almunium. Sebagai logam tahan korosi dan logam konduktif elektrik, aluminium sangat ideal untuk berbagai aplikasi. Produk aluminium hilir sangat penting sebagai supply chain pada sejumlah industri, termasuk kedirgantaraan, pertahanan, kereta api berkecepatan tinggi, kendaraan listrik dan proyek infrastruktur, transmisi daya listrik, konstruksi, mesin.
Mengolah bauksit tidak sama seperti nikel, yang dibakar dalan tanur sembur. Tapi bauksit perlu dimurnikan menjadi alumina yang kemudian diubah menjadi logam melalui elektrolisis. Nah ini memerlukan energi yang sangat besar. Padat listrik, padat modal. Makanya kalau buat smelter alumina, yang pasti untung duluan adalah yang memasok listrik. Yang jualan fuel ( batubara atau gas ). Kalau harga fuel naik, ya listrik mahal. Engga efisien lagi harga hilir. Sulit kompit.
Makanya jangan kaget tahun 2008 bila negara timur tengah membangun Smelter aluminium. Bauksit didatangkan dari Afrika Barat. Dubai membangun pabrik peleburan aluminium terbesar di dunia. Ini adalah proyek senilai US$5 miliar dengan kapasitas 700.000 ton per tahun. Arab Saudi pabrik peleburan senilai US$3,8 miliar. Oman memiliki pabrik peleburan senilai $US2,2 miliar. Qatar juga punya. Andaikan harga crude dan gas jatuh di pasar dunia, mereka bisa dapat profit dari smelter aluminium. Setidaknya mereka bisa tetapkan harga jual fuel ke smelter diatas harga produksi. Pada tahun 2012, Timur Tengah menyumbang sekitar 10 persen dari produksi aluminium utama dunia.
Beled larangan ekspor sampai tahun depan sebenarnya adalah pancingan agar China merelokasi smelter nya ke Indonesia. China sejak tahun 2008 mulai membatasi produksi smelter aliminium dengan alasan mengurangi polusi udara akibat pembangkit listrik dengan fuel batubara. Pengurangan produksi alumnium China berdampak kepada kenaikan harga aluminium di pasar dunia. Maklum China merupakan produsen aluminium terbesar dunia yang menghasilkan 40,27 juta ton/tahun ( 2020). Kemudian berharap Eropa yang krisis energi agar memindahkan smelter aluminium ke Indonesia.
Namun tahun 2022 ini China mulai melakukan pelonggaran produksi smelter. Batubara boleh dipakai lagi sebagai fuel. Otomatis harga batubara naik lagi di pasar dunia. Nah saat mereka melonggarkan, Indonesia berencana melarang ekspor bauksit tahun depan. Jadi ada waktu sampai tahun depan agar China pindahkan smelter nya ke Indonesia. Mengapa ? " Karena kita tidak ada masalah soal listrik. Batubara masih melimpah untuk dikeruk. Polusipun tidak ada masalah. Boss tambang makin tajir dah." Kata teman satire atas adanya peluang larangan ekspor bauksit. Maklum pemilik konsesi tambang batubara, adalah oligarki yang dekat dengan istana. Saya senyum aja.
Harus dicatat. Kalau indonesia membuka peluang hilirisasi bauksit maka motive China berinvestasi ke Indonesia bukan sekedar bahan baku, tapi karena pelonggaran penggunaan fuel listrik yang tidak ramah lingkungan. Memilih Indonesia sebagai lokasi smelter karena dekat dengan Australia, yang merupakan produsen bauksit terbesar dunia. Jadi alasan mereka berinvestasi di Indonesia di samping alasan bahan baku dan juga karena faktor energi listrik. “ Batubara kita melimpah. Orang indonesia kebal dengan pencemaran udara. Apa takut?. Mati tanam. “ Kata teman. “ Ya janganlah begitu. Engga baek” kata saya terseyum.
Saran saya, program hilirisasi bauksit dan peluang relokasi industri alumnium ini harus dikerjakan dengan hati hati. Sebaiknya jadikan Kalimantan Utara, sebagai kawasan industri aluminium. Karena Sungai Kayan, mampu menghasilkan PTLA dengan kepasitas 9000 MW. Atau yang dekat Australia, bangun PTLA di Sungai Mamberamo, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Potensi energi yang dihasilkannya mencapai 24.000 MW. Nah kan bagus untuk pemerataan pembangunan. Papua dan Kaltara akan jadi pusat industri downstream almunium seperti Aluminium FRP, Ekstrusi Aluminium, Aluminium Foil dan Kemasan. Jangan sampai diolah hanya sebatas billet dan ingot untuk kepentingan Industri downstream negara lain. Soal karena itu pengusaha batubara gigit bakiak, biarin aja, toh mereka udah tajir.
No comments:
Post a Comment