Friday, January 8, 2010

Bermitra denga China?



Kebanyakan investasi China di Indonesia lebih bersifat private atau B2B. Kalaupun ada kemitraan dengan pengusaha lokal, itu benar benar pengusaha yang punya track record yang bagus dan pasti berani sama sama keluar modal. Namun yang pasti untuk sampai mereka mau bermitra juga tidak mudah. Mereka sangat hati hati bersikap dalam membuat keputusan investasi. Umumnya kemitraan bisnis itu terjadi karena alasan personal. Artinya anda sudah menjalin hubungan baik cukup lama dengan mereka. Track record dianggap bersih dan dapat dipercaya. Kalau hanya sekedar kenal, sangat sulit menjadikan mereka sebagai mitra.

Ada pengusaha yang dekat dengan elite politik. Menawarkan kerjasama ke pengusaha China untuk bangun kawasan Industri di Indonesia. Tetapi pengusaha itu minta saham kosong. Investasi dari pengusaha CHina semua. Ketika saya tanyakan kepada pengusaha China apa alasanya mundur. “ Kenapa kami harus kerjasama dengan pengusaha yang modalnya cuma politik? Kalau pemerintah tidak bisa berlaku adil sesuai UU investasi, ya lebih baik kami investasi di negara lain saja”

Mengapa ?

Pertama, mereka itu cerdas. Kecerdasan itu belajar dari pengalaman pahit selama dijajah asing. Mereka tidak begitu mudah percaya dengan asing. Kedua, mereka punya pendidikan karakter hebat yaitu revolusi kebudayaan. Ini bukan training di ruang AC tetapi training berdarah darah dengan korban 25 juta orang mati. Ketiga, setiap gerak langkah pengusaha China diawasi ketat oleh pemeritah. Jadi kebijakan pengusaha harus bagian dari design pemerintah. Keempat, petugas anti korupsi China sangat kuat. 

Jadi dengan alasan tersebut diatas, kalau anda cuma modal ngomong dan kaya tanggung pastilah tidak diaggap mereka. Anda tidak perlu banggakan sumber daya alam. Mereka bukan bangsa yang mudah ngiler dengan SDA negara lain. Mereka punya sumber daya dalam negeri yang besar dan pemilik konsesi di banyak negara. Karena mereka bersahabat dengan negara manapun. Sehingga kalau Indoesia menolak investasi China, mereka bisa deal dengan negara lain. Dan ingat bahwa China datang ke Indonesia karena diundang pemerintah lewat UU. Makanya kalau ada pengusaha hanya modal akses politik pastilah mereka cuekin. China negara yang dibangun dengan anggaran riset yang besar.  Hampir semua tekhnologi maju mereka kuasai. Artinya mereka tidak perlu ngiler dengan negara lain yang mengandalkan tekhnologi untuk bermitra. Mereka inginkan kemitraan sejajar dan dibangun atas dasar hormat.

Untuk diketahui bahwa Undang Undang China melarang rakyatnya menetap tetap di negeri orang. Ingat ! bahwa China masih menerapkan UU mengenai Exit Permits bagi warganya untuk keluar negeri. Adapun tujuan kunjungan itu dibatasi di bidang pendidikan, kebudayaan dan wisata. Bagaimana dengan banyak pekerja china masuk dalam proyek di Indonesia ? Itu karena projek tersebut berkaitan dengan B2B di mana pihak china tidak mau rugi. Mereka harus memastikan proyek tersebut dapat selesai sesuai jadwal sehingga dapat menghasilkan revenue untuk mengembalikan investasi.  Atau proyek itu berkaitan dengan skema inkind loan atau pinjaman diberikan dalam bentuk barang. Pihak China terpaksa menggunakan pekerjanya agar standard kualitas dan waktu pengerjaan dapat selesai sesuai kontrak. Jadi ini murni karena komitmen bisnis yang harus mereka selamatkan.

Untuk diketahui bahwa kebijakan internasional China dilarang memberikan pinjaman langsung atau dalam kuridor G2G yang berhubungan dengan Politik. China memastikan dirinya sebagai Negara yang melarang melakukan agenda internasionalisasi seperti Amerika dengan jargon demokratisasi. Komunisme China adalah idiologi tertutup yang dilarang dijual kemanapun. Makanya komunisme china berbeda dengan Negara lain. Kalaupun ada perjanjian G2G itu lebih kepada saling memahami kebijakan masing masing Negara. Bahwa China masuk ke suatu Negara selalu dalam kuridor B2B. Sehingga apabila ada mitra lokal yang gagal commitment, mereka bisa ambil alih proyek itu dan mereka kelola dengan efisien sesuai dengan konsesi yang diberikan oleh pemerintah lokal. Setelah masa konsesi berakhir , mereka bisa keluar tanpa rugi. Namun mereka telah meninggalkan jejak yang baik kepada negara yang memberikan konsesi.

Contoh bila China memberikan pinjaman maka yang melaksanakan itu adalah BUMN yang bekerja sesuai dengan SOP bisnis. Kalaupun mereka memberi pinjaman kepada Amerika maka itu yang melakukan adalah BUMN sepeti China Investment Corporation (CIC) untuk membeli surat utang ( Tbill ) Amerika melalui pasar uang terbuka. Menurut teman yang bekerja di bidang Private equity di Hong Kong , bahwa mengapa terjadi kampanye antipati terhadap China di Indonesia karena Indonesia terbiasa bekerja sama lewat skema hutang politik lewat G2G dengan Jepang, Amerika , Eropa dan ini berlangsung bertahun tahun sehingga menimbulkan hutang diatas Rp.3000 triliun tanpa menghasilkan hal yang signifikan terhadap pembangunan nasional karena budaya korup pejabat Negara serta elite politik yang bekerjasama dengan pengusaha culas.

Kita sudah menjalin kerjasama dengan Amerika sejak era Soeharto dan hasilnya 90% sumber Migas dikuasai Amerika. Kita sudah kerjasama dengan Jepang sejak era Soeharto dan kini 90% kendaraan yang ada dijalanan buatan jepang dan kita belum juga mandiri. Kenapa ? karena kita terjebak dengan budaya berhutang dan terima jadi tanpa mau bekerja keras menjadi bangsa produsen. Jadi daripada kita mengutuki sesuatu karena dasar paranoid mengapa kita tidak meniru budaya kerja keras dan disiplin bangsa china lewat kemitraan atas dasar B2B..Agar kelak kita bisa menjadi tuan dinegeri ini.Yakinlah bangsa ini tidak akan besar karena retorika dan sikap paranoid. Bangsa ini besar karena sikap terbuka melihat kebenaran darimanapun sumbernya dan mendapatkan hikmat atas setiap peluang kemitraan global untuk menjadi lebih baik..

Saturday, January 2, 2010

Portfolio Collateralization




Summary
The portfolio collateralization product is one of a class of mechanisms, which may be used to reduce or mitigate credit risk. The major advantage of the collateralization method is that it may be applied to a wide range of products in a portfolio where legal certainty of close out netting exists . It requires one or both parties to pledge or deliver assets as collateral, and the perfection of a security interest in such collateral, pursuant to applicable laws.

Description
Two parties enter into a variety of derivative transactions, which together constitute the portfolio. All of the transactions must be documented under a 1992 ISDA Master Agreement between the parties

The range of products covered by an ISDA Master Agreement is broad, and may include interest rate swaps, currency swaps, interest rate caps and floors, floating rate agreements, foreign exchange, foreign exchange options, commodity swaps, commodity options, equity swaps, equity options, bond index swaps, bullion forwards, bullion swaps, bullion options, hybrids, and options on any of the above asset classes.

The Credit Support Annex to the Master Agreement defines the requirement for one or both parties to deliver eligible collateral equal to the market value of the portfolio. Generally this involves the "out-of-the- money" party delivering collateral to the "in-the-money" party. Delivery of collateral may be contingent upon a certain threshold value which the portfolio breaches, a rating change, or a predetermined review date. Variations on these themes are possible, such as only providing collateral to the extent that the market value of the transactions exceed a certain threshold.

Collateral is held in a segregated custody account. Under a pledge agreement, ownership is maintained by the pledgor 4, and there is a requirement to register or perfect a security interest in the collateral, such that it may be seized and liquidated in the event of default.

To illustrate the mechanism, consider a diversified portfolio containing an interest rate swap, an FX option and a hybrid swap. Each individual deal can be valued to determine its current mark-to-market value.

The market values are expressed from the perspective of Party A and net, Party A is in-the-money by USD 4M. Therefore, Party B will pledge or deliver to Party A eligible collateral, which has a current market value of at least USD 4M. There is no change in title of the collateral. Likewise, there is no adjustment to the terms or value of any of the three individual deals within the portfolio.

Legal Issues
There are key legal issues that should be addressed before entering into a portfolio collateralization agreement. Bankruptcy law is complex and hence advice should be sought from a lawyer on the specifics of each case before entering into any agreement. Relevant questions to ask from the outset are: Is the pledge or delivery of collateral by each party intra vires or does it breach existing negative pledge conditions or regulatory restrictions?

Is close out netting in bankruptcy recognized and enforceable in the jurisdiction concerned? · Are there potential difficulties surrounding the registration or perfection of security interest in the collateral in the jurisdiction concerned? Are there any statutory or other judicial limitations on the secured party’s ability to enforce collateral agreements in bankruptcy (e.g. stay periods, preference periods)?

Morgan Support
Full calculation and administrative support for this structure is provided by Morgan, who acts as principal in the transactions within the portfolio. Support as a third party agency is not available at this time.

Suitability

The portfolio collateralization method of credit enhancement is particularly suited to large and diversified portfolios where close out netting certainty reaches a reasonably high confidence level and the key legal questions have been answered satisfactorily.