Sunday, September 8, 2024

Fakta, yang kaya semakin kaya..

 



Tidak ada masalah dengan likuiditas dan pasokan barang. Berapapun likuiditas tersedia. Mau pinjam berapapun ada uang. Mau barang apapun tersedia di pasar. Tapi masalahnya, berani bayar bunga tinggi engga? Berani bayar harga naik engga? Sementara pertumbuhan ekonomi masih positif, IDR menguat,  Angka indicator ekonomi makro ekonomi cerah. Kalau katanya ekonomi kita tidak baik baik saja, salahnya dimana ? tanya teman. 


Sebagai masyarakat kelas atas yang hidup dari rente, kamu tentu akan bingung dengan situasi ekonomi sekarang. Apalagi DPK perbankan diatas Rp. 5 miliar untuk nasabah seperti kamu jumlahnya terus bertambah. Makanya setiap kritik terkesan anomaly. Jarak kamu dengan kelas bawah semakin jauh. Karena kini DPK perbankan dari nasabah dibawah Rp 100 juta, jumlahnya  terus berkurang. Dan itu tentu  membuat semakin jauh empati kamu. 


Coba cerahkan saya. Tapi jangan opini sabun. Berusahalah objectif berdasarkan data. Pinta teman. 


Mesin ekonomi suatu negara itu terdiri dari Belanja domestic, produksi dan investasi.  Nah perhatikan fakta dan data. Lebih 50% PDB kita disumbang oleh belanja domestic. Daya beli melemah dengan ditandai oleh lebih banyak barang daripada uang di pasar, itu artinya deplasi. Dalam 38 tahun terakhir situasi deplasi hanya terjadi pada pada 1999 saat kita dilanda Krismon dan, 2020 saat ada pandemi COVID. Kalau kini terjadi deflasi 4 bulan beruntun, itu artinya kita sedang dalam pusaran krisis. Itu dirasakan kelas bawah. Bukan kamu.


Kemudian sector produksi drop. Itu ditandai dengan kontraksi nya index PMI Manufaktur. Kontraksi dua bulan beruntun yakni pada Juli (49,3) dan Agustus. Posisi PMI Manufaktur saat ini juga merupakan yang terendah sejak Agustus 2021. Padahal sector produksi penyumbang kedua terbesar terhadap PDB. Kamu tidak akan merasakan. Karena yang merasakan rakyat kecil dengan adanya gelombang PHK dan pengurangan kapasitas produksi sehingga banyak supplier UKM yang jatuh bangkrut.


Investasi lebih banyak ke sector moneter. BI rakus banget serap dana di pasar lewat kenaikan suku bunga. Makanya devisa kita meningkat. IDR menguat. Bukan karena surplus NPI tetapi karena hutang. Menkeu juga kerek bunga SBN. Rebutan likuiditas dengan BI dan perbankan. Makanya bunga perbankan juga naik. Memang tidak dirasakan oleh kamu yang kelas Atas. Kamu justru happy dengan suku bunga tinggi. Bisa dapat pasif income dari bunga SBN, SRBI, SVBI dan deposito. Tetapi tidak berlaku  bagi kelas menengah dan bawah, yang income nya terpenggal karena angsuran KPR naik, harga harga naik.


Ah apa iya begitu. Kan PDB kita positif. Kata teman. Ya jangan melihat PDB dari luar. Tetapi lihat ke dalam PDB. Mari kita lihat data. Ya data BPS aja. Biar tidak terkesan oposisi. Kelas menengah di Indonesia turun kasta sejak masa krisis Pandemi Covid-19. Pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas. 


Nah 9,48 juta itu menjadi aspiring middle class. Kelas yang mendekati miskin. Data membuktikan aspiring middle class bertambah, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22%. Sementara angka kelompok masyarakat rentan miskin ikut nambah juga. Dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23%. 


Artinya, PDB itu merugikan kelas menengah dan bawah. Sementara kelas atas bertambah. Bukan jumlahnya bertambah tetapi hartanya yang bertambah. Lihat data DPK perbankan. Nasabah  yang memiliki tabungan di atas Rp5 miliar justru cenderung mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat mengalami kenaikan sebesar 29,7% dan pada Juli 2021 hingga Juli 2024 kembali bertumbuh bahkan lebih tinggi yakni sebesar 33,9%.


Apakah Jokowi tahu soal ini? Tanya teman. Justru Jokowi sudah ingatkan sejak tahun 2023. Dia ingatkan kepada BI dan Menkeu soal kekawatirannya dengan pertumbuhan ekonomi 5% tetapi likuiditas terganggu. Karena dampaknya bisa menekan daya beli dan produksi yang pada gilirannya ekspansi sector real melambat. Tetapi tidak ada team relawan Jokowi yang bantu ingatkan ini dan ring 1 nya juga tidak peduli. Euforia engga jelas. Sementara pihak luar yang mengingatkan malah dituduh membenci dan nyinyir. Kan kasihan Jokowi jadi keliatan dungu dia.


Emang salah? Kaya miskin itu kan soal pilihan dan lagi orang kaya emang mudah. Ada kerja keras, kerja kreatif, dan tentu struggle. Jangan salahkan pemerintah kalau ekonomi justru merugikan orang miskin. Kata teman. 


Saya katakan, setiap kebijakan ekonomi adalah juga kebijakan politik. Tentu tidak mungkin memuaskan semua orang. Tetapi tentu juga tidak boleh hanya memuaskan segelintir orang. Rakyat engga maksa keadilan ekonomi seperti paham komunisme. Rakyat hanya butuh keadilan sosial atau keadilan proporsional.  Nah kalau itu tidak bisa di delivery pemerintah, ya resikonya bukan ekonomi tetapi politik. Rakyat akan menggulungnya. Di mana mana ya begitu. Old story…


***

Dalam kendaraan di lampu merah dan dalam keadaan macet. Ada pedagang asongan. Saya panggil pedagang asongan itu. Saya beli kacang. Dia sempat bingung. Karena uang Rp 50.000 engga ada kembaliannya. “ Kamu ambil aja kembaliannya. “ Kata saya. “ Terimakasih pak” katanya dengan suara lambat. Masih kaget dan bengong dia.


“ Apa engga ada tempat lain ya dagang. Cara dagang seperti itu kan beresiko. “ kata Lina sambil nyetir..


“ Jangan bicara begitu. Kata saya menoleh kesamping “ Hidup seperti mereka itu tidak punya pilihan banyak. Beda dengan kamu. “ sambung saya.


“ Beda apanya ?


“ Kamu engga pernah mikir bayar angsuran KPR. Gaji dan bonus kamu setahun bisa beli rumah seharga Rp 3 miliar. Sementara mereka untuk rumah kelas RSS saja tidak sanggup. Kalaupun sanggup harus KPR. Itupun angsuran nya senen kemis. Terpaksa kurangi kebutuhan pokok. Bahkan tanah sereal untuk bertani pun digusur demi kebun besar dan real estate. “Kata saya.


“ Ya pak..”


“ Kamu engga pusing soal tempat usaha dan pabrik. Karena sumber daya perusahaan menjamin itu. Sementara mereka tidak punya tempat usaha yang established dan negara tidak menjamin mereka. Mereka tidak mengeluh. Apapun mereka kerjakan untuk survival. Tetapi udah kerjapun kena PHK. Kadang usaha kaki lima pun digusur pula. “ Kata saya.


“ Maafkan Lina pak” kata lina.


“ Saya hanya mengingatkan kamu. Keadaan sekarang tidak baik baik saja. Jurang sikaya dan si miskin semakin melebar. Kita tidak bisa menguranginya. Karena  begiitulah design politik dan ekonomi. Tetapi kita bisa membantu secara psikologis lewat empati. Dengan cara membeli dagangan mereka. Kalau belum bisa sejahterakan buruh diatas UMR, jangan beri upah di bawah UMR. Kurangi gaya hidup hedonis yang bisa memperuncing kecemburuan social. “ kata saya.


“ Lina akan ingat terus itu pak. Maafkan Lina.” Kata Lina. Saya belai kepalanya. “ kamu dirut, pada dirimu visi pemegang saham diamanahkan. Jaga itu. Paham ya sayang..” Kata saya. Lina berlinang airmata.

Sunday, September 1, 2024

Thematic Bond alternatif sumber pembiayaan

 



Dalam APBN ada yang disebut dengan mandatory spending.  Anggaran yang sudah ditetapkan oleh UU.  Siapapun presiden harus patuh. Engga bisa dikurangi sedikitpun. Engga bisa dialihkan sesukanya. Maklum, APBN itu milik rakyat,  bukan pemerintah. Apa saja anggaran itu ? alokasi belanja Pendidikan,  belanja Kesehatan,  dana desa; belanja pegawai, belanja infrastruktur, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada desa, pembayaran pinjaman  dan bunga, bantuan keuangan kepada partai politik. 


Total mandatory spending sangat besar. Sehingga praktis presiden tidak berdaya atau tidak leluasa kelola anggaran. Bayangkan saja. Dengan total R-APBN 2025 sebesar Rp. 3613,1 triliun, harus dikurangi Rp. 803,1 triliun untuk membayar utang dan Bunga sebesar Rp. 552,8 T. Dikurangi lagi untuk sektor pendidikan Rp. 723 triliun (20%), sektor kesehatan Rp. 197,8 triliun, dan dana desa sekitar Rp. 71 triliun. Sisanya tinggal Rp. 1.266,2 trilun atau 35% dari APBN. Itu belum termasuk mandatory spending lainnya. Makanya APBN defisit. Kalau tidak ada utang, ya pemerintah tidak bisa kerja.


Selama ini kita sering dengar bahwa pemerintah menarik utang itu untuk tujuan produktif, bukan konsumsi. Tetapi tidak jelas apa yang dimaksud dengan produktif. Karena nyatanya walau PDB meningkat, namun utang juga bertambah. Sementara tax ratio sebagai ujud produktifitas tidak meningkat. Kan semakin kabur retorika utang untuk produksi.  Jangan jangan itu hanya retorika politik sebagai alasan pemerintah menerbitkan SBN dan utang ke Lembaga multilateral. Mau bantah gimanapun, faktanya memang begitu.


Lantas bagaimana memastikan utang itu benar benar untuk produktif. Sebenarnya ada cara yang sudah lazim dalam skema investasi. Yaitu lewat penerbitan Thematic Bond  atau surat utang tematik. Apa sih bedanya dengan Bond atau SBN pada umumnya?  Sebelum saya jelaskan, ada baiknya kita pahami struktur APBN. Pada APBN itu ada pos pendapatan dan belanja.  Kita menganut cash basic atau program follow money. Artinya kita focus kepada pengeluaran aja. Sementara pendapatan menyesuaikan. Kalau ternyata pendapatan tidak tercapai, yang terjadi automatic adjustment dengan memperhatikan ambang batas defisit 3% terhadap PDB.


Defisit anggaran itu masuk dalam pos pembiayaan untuk berhutang. Nah, SBN dan utang di create untuk anggaran pembiayaan. Kita engga tahu pasti kemana utang itu disalurkan. Yang pasti uang hasil penjualan SBN dan utang itu dikelola langsung oleh Menteri keuangan dalam system perbendaharaan negara. Tentu sangat rumit dan politis untuk transfarance, apalagi mengetahui nya secara dedicated terhadap project yang katanya sector produktif.


Nah bagaimana dengan Thematic bond? Apa itu thematic bond? adalah surat berharga berpendapatan tetap yang diterbitkan untuk membiayai tema investasi tertentu, seperti proyek Pengembangan dan kemandirian Pangan, infrastruktur, renewel energy, fasilitas kredit UKM dan lain lain. Skema thematic bond ada dua jenis yaitu Use of Proceeds (UoP) dan  Key Performance Indicators (KPI) bonds. 


Skema UoP untuk proyek yang punya dampak langsung terhadap target yang diinginkan. Tentu banyak jenis program itu. Misal, kita ingin membangun daya tahan pangan lewat kemandirian. UoP Bond dipakai untuk membiayai pengadaan Warehousing ecommerce marke place di seluruh provinsi agar petani mendapat jaminan pasar dan likuiditas. Memperbaiki tata niaga dan supply chain pertanian dengan membangun agro industry, fertilizer dan alat mesin pertanian.  


Skema  KPI untuk proyek yang sudah established namun perlu berkelanjutan untuk tujuan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Banyak program untuk skema ini. Misal, mengembangkan program hilirisasi berskala industry dengan downstream yang luas. Potensi SDA mineral tambang kita sangat besar. Misal lagi, meningkatkan kualitas infrastruktur logistic berskala industry dan berkelas dunia. Potensi Indonesia sebagai hub logistic sangat besar. Maklum geopolitik kita bersinggungan dengan geostrategis asia pacific yang tumbuh pesat.


Thematic bond, ini bisa saja diterbitkan oleh Menkeu atau Badan pemerintah seperit INA, atau Pemda sendiri. Namun proses penerbitanya tidak lewat makanisme politik dengan DPR, sebagaimana SBN. Thematic bond harus diterbitkan lewat mekanisme pasar modal. Uji public sangat menentukan apakah bond itu marketable atau tidak. Setelah diterbitkan, masyarakat punya saluran untuk mengawasi langsung lewat system transparansi bursa. Dan tentu thematic bond akan jadi alternatif investasi yang secure..


Semakin baik kinerja bond, semakin punya nilai di market. High trust. Menjadi financial resource non budgeter. Tapi kalau kinerja Bond buruk, tentu akan di hukum oleh pasar itu sendiri. Value bond akan jatuh dan bisa jadi sampah di market. Jadi thematic bond itu sekaligus menguji sejauh mana pemerintah dikelola oleh orang  yang kompeten dan kredibel.