“Andaikan tangannya masih kokoh, langkahnya masih kuat itu akan selalu digunakannya untuk membimbing anak-anaknya melangkah tegar dalam ketertatihan. Senandungnya akan terus terdengar mengantar anaknya tidur bahwa besok akan selalu baik-baik saja, dan bunda akan selalu ada di sampingmu, Nak…”
**
Tahun 2008. Malam telah larut dan sebentar lagi pagi akan datang. Aku masih larut melihat perkembangan bursa di New York. Dari tadi siang aku malas membuka email karena melihat perkembangan pasar yang semakin memburuk. Keliatannya hari-hari ke depan tak ada lagi yang bisa diharapkan kecuali bertahan dalam situasi buruk. Teman mengatakan dalam gurauan kepadaku bahwa ini saatnya kita surfing di atas gelombang ganas. Lihatlah tak banyak yang bisa selamat tapi ini tantangan untuk menguji siapa yang qualified melewati putaran waktu.
SMS datang.
“Sudah baca email dari Kedutaan? Anda diundang untuk datang menghadap Raja mereka.”
Saya terkejut. Bersegera saya membuka email. Benarlah , email ini datang dari tadi siang. Terbayang upaya hampir setengah tahun untuk mendapatkan klien potensial, kini peluang terbuka dengan adanya undangan untuk presentasi. Walau kemungkinan berhasil masih sangat jauh, namun setidaknya ini titik awal untuk sebuah harapan. Akupun bersegera membuka file presentasi untuk mempertajam materi dan menambah sedikit bahan sesuai hasil riset mutakhir.
Pagi-pagi aku bersama team sudah berada di bandara untuk terbang memenuhi undangan. Dijadwalkan, setiba di bandara aku akan dijemput oleh asisten kerajaan. Kemudian akan diantar ke tempat istirahat kerajaan sambil menunggu jadwal pertemuan khusus dengan Raja. Setelah pertemuan dengan Raja, maka keesokan harinya dijadwalkan untuk menghadiri presentasi dengan pejabat terkait.
Penerbangan first class itu sangat nyaman. Di dalam pesawat aku berusaha membaca indikator mutakhir ekonomi dan sosial negara yang akan aku kunjungi itu. Ketika mendarat, cuaca cukup cerah. Pejabat yang menjemput kami tampak tersenyum ramah membawa kami ke limosine untuk menuju hotel. Sesampai di Holel Kerajaan, pejabat itu memberikan kesempatan kami untuk istirahat dan dia langsung kembali ke kantornya. Pejabat itu berpesan bahwa besok jadwal pertemuanku dengan Raja. Hanya aku saja tanpa didampingi tim. Jam 7 malam jemputan akan sampai di hotel untuk acara makan malam jam 8 bersama Raja. Aku mengangguk.
Aku bekerja bersama tim sampai mendekati subuh untuk memantapkan segala persiapan. Setelah sholat subuh aku memilih untuk istirahat dan tidur. Begitu pula dengan anggota tim lainnya.
Sebelum berangkat tidur, telepon selularku berdering.
“ Pah,” suara isteriku di seberang.
“ Ya.” Aku menangkap ada sesuatu di rumah. Karena tidak seperti biasanya isteriku menelepon sepagi ini.
“Papa, tenang aja.”
“Ya tenang, ada apa?”
“Bunda kena serangan jantung ringan.”
“Sekarang Bunda ada dimana?”
“Di rumah sakit. Mama dampingi bunda terus. Kata dokter keadaannya sudah membaik. Papa tenang aja. Adik adik semua ada di sini kumpul. Bunda di bawah perawatan dokter terbaik. Kita berdoa aja semoga keadaan bunda semakin membaik.”
Terkesan bagiku, isteri berusaha menenangkan aku bahwa keadaan bunda baik baik saja tapi diapun tidak bisa menyembunyikan kekawatiran akan keadaan bunda. Seusai menerima telepone itu, batinku mendesakku untuk segera pulang. Tapi, bagaimana dengan rencana kunjungan ini? Bagaimana perasaan timku bila pertemuan ini gagal karena aku harus segera pulang. Apalagi perjuangan mendapatkan klien ini sudah berlangsung lebih dari setengah tahun.
Namun, hatiku tidak bisa tenang dengan segala pemikiran tentang masa depan usahaku. Aku hanya memikirkan tentang hari ini di mana bunda sedang sakit dan aku harus ada di sampingnya.
“Apakah itu tidak bisa ditunda lusa saja atau besok saja setelah kamu bertemu dengan raja,” kata salah satu anggota timku. Dia dapat memaklumi sikapku namun dia juga meminta kebijakanku soal kelangsungan bisnis kami.
“Ibu saya sakit dan ini tidak sederhana. Aku tidak bisa memaafkan diriku bila aku sampai menunda pulang,” kataku dengan wajah bingung. Aku terduduk sambil mengusap kepala. Bayanganku terus kepada bunda.
“Tapi bagaimana dengan rencana kita?”
“Maafkan aku…,” kataku menatapnya dengan wajah sesal, berharap timku dapat memaklumi. Semua anggota tim terdiam. Akhirnya salah satu dari mereka berkata “Kamu benar! Kalau begitu kita putuskan pulang hari ini,” kata mereka dengan tersenyum seakan berusaha menutupi keadaan posisiku agar tidak merasa bersalah karena keputusanku untuk pulang.
Jam delapan pagi aku menelepon pejabat penghubung kami dengan kerajaan dan menyampaikan alasan kami untuk pulang.
“Yang harus Anda ketahui bahwa tidak pernah satu kalipun Raja kami dibatalkan pertemuannya oleh orang lain. Ini penghinaan. Sikap protokoler istana akan sangat keras.”
“Mengapa?”
“Kamu sudah setuju untuk datang dan kini mendadak kamu batalkan sepihak karena alasan yang tidak masuk akal.”
“Ini soal ibu saya.”
Pejabat itu hanya terdiam dengan wajah terkesan marah.
“Maafkan kami. Semua akomodasi dan tiket yang sudah kerajaan keluarkan akan kami ganti. Ini kesalahan kami dan kami akan membayar kesalahan itu,” kataku.
“Reputasi Anda juga akan hancur,” kata pejabat itu dengan nada mengancam.
“Kami sadar akan itu. Sekali lagi maafkan kami.”
Tampak pejabat itu berbicara melalui telepon dengan nada penuh hormat.
“Tadi berusan saja pangeran berbicara dengan saya dan ia sangat marah karena pembatalan pertemuan ini,” kata pejabat itu lagi.
“Apakah saya bisa bicara dengan beliau?”
“Tidak perlu,” katanya tegas dan kesal.
Aku bersama tim berangkat menuju bandara. Rencananya, aku langsung pulang ke Jakarta. Sementara timku kembali ke Hongkong. Sesampai di bandara, tampak sekuriti sangat ketat. Supir taksi yang kami tumpangi mengatakan bahwa Raja datang ke Bandara. Kami terpaksa turun agak jauh dari gate keberangkatan. Ketika aku bersama tim melangkah menuju bandara keberangkatan, salah satu pejabat yang mengenal kami bersegera berlari ke arah kami. Dengan ramah pejabat itu berkata, “Raja ingin bertemu dengan Anda.” Aku mengangguk dengan melangkah agak ragu mengikuti pejabat itu keruang VVIP.
Ketika melewati koridor bandara seorang petugas mengambil pasporku dengan ramah. Aku terus melangkah dalam perasaan penuh tanya. Ada apa gerangan ini? Ketika pintu ruangan VVIP terbuka, tampak sang Raja di dampingi putra mahkota tersenyum ramah ke arahku. Tanpa sungkan dia memelukku sambil mencium pipiku.
“Saya mendengar kabar bahwa ibunda Anda sakit dan Anda harus segera pulang. Benarkah itu?”
“Maafkan saya, Yang Mulia. Bukan bermaksud tidak menghormati undangan Yang Mulia, tapi keadaan ibu saya memang memerlukan kehadiran saya di sampingnya.”
“Pulanglah. Urusan dunia ini tidak penting. Memuliakan ibu adalah memuliakan Allah. Tak ada ibadah terbaik di dunia ini selain berbakti kepada ibu. Sampaikan salam saya kepada ibu Anda. Doa saya akan menyertainya.” Kata kata itu meluncur begitu sejuknya. Aku sampai terharu. Di hadapanku ada seorang raja yang kaya raya dan di hormati, namun tetap lebih menghormati seorang ibu.”
“Terimakasih, Yang Mulia”
“Saya yang harus berterimakasih kepadamu. Karena lewat peristiwa ini, saya bisa memberikan pelajaran berharga kepada putra saya. Bahwa tak penting berapa peluang bisnis yang akan diraih namun bila saatnya datang untuk memuliakan orang tua maka itulah yang lebih diutamakan,” kata Raja sambil menatap ke arah putra mahkotanya.
Usai pertemuan itu, aku bersama pejabat penghubung kerajaan keluar ruangan VVIP menuju bandara keberangkatan. Pejabat itu berkata, “Yang Mulia Raja meminta Anda pulang dengan jet pribadinya. Sementara tim anda tetap di sini untuk melanjutkan pertemuan dengan pejabat terkait. Raja juga telah memutuskan untuk memilih perusahaan Anda sebagai mitra kami. Selamat.”
Anggota tim saya tampak berlinang air mata ketika mendengar kata-kata itu. “Bila kita muliankan ibu maka Allah akan memuliakan kita. Tentu yang sulit menjadi mudah, yang sempit menjadi lapang. Anda benar dan kami percaya sikap Anda,” kata salah satu anggota tim saya sambil memeluk saya.
Ketika sampai di bandara, aku langsung ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit, isteriku sudah menunggu dan membawaku ke ruangan bunda dirawat. Kucium kening bunda dan nampak matanya terbuka, Bunda tersenyum, “Kaukah itu nak?”
“ Ya, Bunda.”
“Siapa yang bilang bunda sakit. Bunda engga apa apa.” Bunda menoleh ke arah isteriku. “Jangan kau ganggu anakku bekerja. Soal begini tak perlulah dikabarkan. Kau pikir mudah untuk kembali dari luar negeri ke sini. Lagian di sana dia tidak main-main. Inyo bakureh. ( dia cari duit) ” Bunda mengomeli isteriku. Itulah bunda, dalam keadaan apapun beliau tetap tidak ingin membuat anaknya repot. Andaikan tangannya masih kokoh, langkahnya masih kuat itu akan selalu digunakannya untuk membimbing anak anaknya melangkah tegar dalam ketertatihan. Senandungnya akan terus terdengar mengantar anaknya tidur bahwa besok akan selalu baik baik saja, dan “Bunda akan selalu ada di sampingmu, Nak….”