Hidup memang tidak adil. Bayangkan. Pertanian itu merupakan sektor yang lebih padat karya. Mereka adalah bagian dari segmen rantai pasok pangan internasional yang memiliki nilai tambah rendah, sehingga petani memperoleh keuntungan yang sangat rendah. Seorang produsen kopi yang bekerja dari matahari terbit hingga terbenam mendapat kurang dari 3% dari harga yang Anda bayarkan untuk secangkir kopi di Starbucks. Secara keseluruhan, hal ini melanggengkan kesenjangan dan memperkuat persepsi bahwa ada ketidak adilan secara fundamental dalam sistem perdagangan internasional.
Padahal tidak ada satupun produksi dari industri modern yang tidak tergantung kepada komoditas primer yang bersumber dari SDA. Tanpa kapas, tidak akan ada industri tekstil. Tanpa Tambang nikel dan lithium, tidak akan ada industri smartphone. Tanpa minyak dan Gas, Industri otomotif tidak akan ada dan plastik, fiber dan lain lain tidak akan pernah di produksi. Tanpa silica kita tidak akan pernah mengenal kaca untuk cangkir minum dan interior atau eksterior rumah serta panel surya. Masih banyak lagi. Namun penghargaan pasar terhadap komoditas itu sangat rendah.
Ya benar, negara yang punya SDA besar mampu mendorong pertumbuhan ekonominya lewat ekspor. Namun ketergantungan pada komoditas primer seringkali berkorelasi dengan kerentanan dan kemiskinan. Segigih apapun negara mengexploitasi SDAnya, pada akhirnya tetap saja bukan masa depan yang baik. Karena adanya economy imbalance yang menempatkan komoditas primer sebagai produk bernilai rendah. Negara yang tidak mampu mengolah SDA lewat teknologi diperlakukan pasar sesukanya. Ketika harga-harga turun, lapangan kerja, ekspor, dan pendapatan pemerintah ikut terpuruk. Dengan kata lain, menaruh terlalu banyak telur dalam satu keranjang membuat negara menjadi rentan.
Kapitalisme memang menempatkan negara pemilik SDA sebagai bagian dari sistem kolonialisme, namun cara baru atau neokolonialisme. Lucunya, issue neokolonialisme yang diingatkan Soekarno pada awal kemerdekaan Indonesia, sampai kini tidak dianggap serius. Terbukti sejak Indonesia merdeka dan setelah 7 presiden berganti, tidak terjadi transformasi ekonomi dari komoditas primer yang bergantung kepada SDA ke industri. Padahal dampaknya mengkerdilkan makna kemerdekaan itu sendiri..Itu benar terjadi dan kita rasakan ketika mengharapkan kepada asing untuk berinvestasi memanfaatkan sumber daya alam. Walau outputnya adalah produk industri namun tetap saja nilai tambahnya ada pada asing sebagai pemilik modal.
Indonesia tidak sendiri yang mengalami neokolonialisme itu. sampai tahun 2019 sekitar 54% dari seluruh negara, atau 102 dari 189 negara, bergantung pada komoditas. Angka ini terus meningkat menjadi 64% di negara-negara berkembang, dan angka ini bahkan lebih tinggi lagi – yaitu 85% – di negara-negara kurang berkembang. Dengan kata lain, konsentrasi ekspor komoditas primer berkaitan dengan keterbelakangan; semakin tinggi ketergantungannya, semakin rendah pembangunan negara tersebut, yang diukur dengan PDB per kapita.
Dalam beberapa kasus, ketergantungannya sangat ekstrim. Terdapat 35 negara di dunia yang lebih dari 90% ekspornya berupa komoditas. Untuk Angola, Irak, Chad, Guinea-Bissau dan Nigeria, pangsa ini melampaui 98%, dan dalam beberapa kasus, satu produk menghasilkan lebih dari tiga perempat dari seluruh pendapatan ekspor. Masalahnya bukan pada ketergantungan itu sendiri, namun pada kerentanan yang ditimbulkannya. Penurunan harga komoditas yang terjadi baru-baru ini adalah salah satu contohnya.
Setelah mencapai puncaknya antara tahun 2008 dan 2010, harga komoditas turun secara signifikan antara tahun 2013 dan 2017. Saat Rusia menginvasi Ukraina harga komoditas naik. Kita dapat windfall. Namun setelah itu mulai turun lagi. Penurunan ini berkontribusi pada perlambatan ekonomi di 64 negara yang bergantung pada komoditas, dan beberapa di antaranya mengalami resesi. Dan ketika perekonomian mereka melambat, posisi fiskal memburuk dan utang pemerintah meningkat, sering kali mengakibatkan peningkatan utang luar negeri. Antara tahun 2008 dan 2017, utang luar negeri 17 negara berkembang yang bergantung pada komoditas meningkat lebih dari 25%.
Neokolonialisme merupakan inti dari banyak masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang dihadapi Indonesia, juga negara berkembang lainnya. Memang PBB punya program pembangunan berkelanjutan. Tapi PBB bersikap double standar. Maklum PBB bagian dari mesin neokolonialisme. Buktinya kesepakatan WTO banyak merugikan negara yang bersandar kepada komoditas primer. Seperti halnya, WTO mengharuskan negara penghasil komoditas primer untuk membuka harga pokoknya dan mengurangi proteksi. Sementara negara maju tidak dipaksa membuka ongkos Industrinya. Alasannya Property Right dan hak intelektual harus dilindungi. Sehingga mereka bebas menentukan nilai tambah. Sementara negara berkembang nilai tambahnya dibandrol dan dibebani ongkos kerusakan lingkungan.
Setelah harga komoditas jatuh, berikutnya AS sebagai jantung kapitalisme melakukan shock moneter global lewat Taper tantrum. Suku bunga the fed dikerek. Likuiditas berkurang meredam inflasi namun dampaknya index USD semakin menguat membuat kurs mata uang negara berkembang melemah. Sebab? Apresiasi USD membuat harga komoditas jadi mahal dan menurunkan permintaan. Pada gilirannya harga jatuh. Anda dapat membayangkan hal-hal berikut ini yang akan terjadi: berkurangnya investasi pada infrastruktur, perlindungan sosial, dan belanja pendidikan. Investasi yang diperlukan untuk mendiversifikasi perekonomian menjadi terbatas, dan upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada komoditas juga terhambat. Ini adalah lingkaran setan yang menjebak banyak negara.
Situasi yang kita alami berkali kali akibat jatuhnya harga komoditas dunia, seharusnya menjadi pelajaran pahit untuk kita berubah. Kalau ingin belajar maka belajarlah kepada pemenang. Misal, 13% negara maju yang punya SDA seperti China, Rusia, AS, Australia, Selandia Baru dan Norwegia menikmati nilai tambah dan kemakmuran terhadap SDA mereka. Itu karena mereka punya teknologi untuk mengolah SDA menjadi beragam produk industri lewat research and development.
Sebagai renungan. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua dengan hancurnya Nagasaki dan Hiroshima oleh Bom Atom, Kaisar Hirohito tidak pesimis akan masa depan negaranya. Karena masih ada guru. Ya Jepang walau militernya kuat dan penuh disiplin tinggi namun mereka tidak punya pengetahuan membuat bom Atom. sehingga mudah ditaklukan. Guru adalah icon pendidikan. Ya hanya dengan pendidikan kita bisa menjadi pemenang. Walau Jepang membangun dari reruntuhan perang namun berkat reformasi pendidikan yang radikal, tetap saja pada akhirnya mereka menjadi negara maju berkat IPTEK walau SDA kurang. Ini seharusnya menjadi sumber inspirasi.
Negara maju karena mereka focus sejak awal pentingnya pendidikan dan sains. Visi itu tidak sekedar jargon politik hilirisasi komoditas tetapi diaktualkan dengan reformasi pendidikan yang berorientasi kepada nilai nilai kemandirian berkembang lewat inovasi dan kreatifitas. Visi pendidikan itu membuat mereka tidak ragu berinvestasi dalam skala besar untuk R& D. Hanya dengan cara itu kita bisa menjadi pemenang atau penakluk neokolonialisme. Kita harus berubah, now or never.!
***
Sampai dengan tahun 1971 kelas menengah AS lebih dari separuh populasi atau menurut Pew Research Center mencapai 61%. Namun telah menyusut secara bertahap dalam lima dekade terakhir. Tahun 2022 tinggal 50%. Yang 11% jadi miskin bahkan ada yang jadi homeless dan gembel tinggal di jalanan seperti China tahun 80an.
Bagaimana dengan kelas super kaya atau kelas atas?. Pada kurun waktu yang sama, jumlah orang super kaya di AS bertambah. Tahun 1971 ada 14%, Kemudian tahun 2021 menjadi 21%. Pada waktu bersamaan juga orang yang tadinya miskin ada sebanyak 25%, tahun 2021, jatuh miskin blangsat menjadi 29%.
Apa yang terjadi pada AS juga terjadi pada Indonesia. Menurut data Bank Dunia pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk. Tahun 2019 menyusut jadi 21%. Penurunan itu menambah populasi kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%. Kelas menengah turun kelas. Sampai tahun 2024 tentu jumlah nya lebih banyak karena PHK terus terjadi sejak adanya pandemi.
Sementara jumlah orang superkaya berdasarkan Wealth Report 2022 oleh Knight Frank, sejak era Jokowi, dari tahun 2016 Jumlah orang super kaya di Indonesia ini telah meningkat 68%. Tahun 2020-2022 terjadi pandemi memang rendah peningkatan orang super kaya, hanya 1%. Setelah itu gas lagi. Makanya wajar saja kalau Pemerintah berbangga kalau PDB Jakarta pusat melebihi negara maju yaitu USD 50,000 per kapita. Ya jelas tinggi. Karena di jakarta pusat itu ada kawasan Menteng tempat tinggalnya para komprador dan oligarki.
Apa yang terjadi pada AS dan juga Indonesia itu adalah proses slow motion. Artinya sudah bisa ditebak sebelum terjadi. Itulah buah kapitalisme yang kehilangan spirit berbagi dan utamakan ketamakan. Padahal bapak kapitalisme, Adam Smith, dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiment, juga berbicara tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat kebersamaan.